IslamToday ID — Mengulas perkembangan dakwah Islam di Nusantara, sangat menarik untuk menelaah bagaimana Islam mampu hadir dan meresap serta melembaga menjadi sistem kehidupan yang harmonis di tengah masyarakat. Salah satu wilayah yang berhasil melakukan hal tersebut adalah negeri Minangkabau.
Mengenai arus Islamisasi di Minangkabau, Soedarso Salih dalam buku Mengenal Sejarah Perkembangan Ketatanegaraan Kerajaan Pagarruyung di Ranah Minangkabau, mengungkapkan bahwa hadirnya Islam dimualai dari dipeluknya agama ini oleh masyarakat biasa atas interaksi mereka dengan para juru dakwah. Setelah proses tersebut berjalan dengan baik, tahap selanjutnya adalah para pemeluk agama Islam mulai mensinergikan dirinya dengan berbagai adat istiadat masyarakat setempat yang sebelumnya masih memegang prinsip adat mereka.
Kiranya pada awal abad 16 Masehi, ajaran Islam sudah tersebar luas di masyarakat Minangkabau, dimana masyarakat minang dibangun atas dua asas yang seimbang, asas matrilineal dan asas patrilineal. Pada tingkat perkampungan, organisasi klan, hukum perkawinan, pemilikan tanah dan harta kekayaan dinyatakan dalam term matrilineal.
Sementara, Komunitas kampung disebut nagari, merupakan penggolongan sejumlah klan yang dikelola oleh kepala kampung yang bergelar penghulu. Islam membawa asas maskulin (laki-laki). Pada beberapa kampung asas maskulin tersebut terlembagakan di dalam surau, tempat tinggal laki-laki muda, yang juga berfungsi sebagai sekolah dan untuk kegiatan thoriqat.
Sekalipun demikian, pada kenyataannya di Minangkabau terdapat keserasian antara bentuk organisasi matrilineal dan bentuk organisasi patrilineal. Praktik perkawinan dan hukum kewarisan merupakan campuran antara norma Islam dan norma tradisional Minangkabau. Kedua bentuk hukum dan struktur sosial tersebut menyatu di dalam sebuah masyarakat yang tunggal.
Islamisasi Istana Pagaruyung
Seiring berjalannya waktu, secara perlahan agama Islam kemudian juga memasuki kehidupan kaum bangsawan di Istana Pagarruyung. Raja-raja yang sebelumnya beragama Buddha beralih memeluk Islam. Beberapa sejarawan memperkirakan raja yang pertama memeluk Islam adalah Sultan Alif yang berkuasa sekitar tahun 1560 M. Sebelumnya, walaupun Kerajaan Pagarruyung masih merupakan kerajaan Buddha/Bhairawa sejak abad ke-15 M, sebagian penduduk Minangkabau sudah memeluk agama Islam.
Baru setelah Sultan Alif dan keluarga raja beragama Islam, seluruh Alam Minangkabau dapat dipandang menjadi daerah Islam. Sultan Alif Khalifatullah berasal dari keluarga raja Pagarruyung, bukan datang dari luar. Dia diangkat sebagai raja oleh Basa Ampek Balai dan Rajo-rajo Selo. Sesuai dengan ajaran Islam, hampir semua nama generasi masa itu disesuaikan dengan nama-nama yang berbau Islami.
Perlu diketahui sebelumnya, bahwa kerajaan Pagaruyung adalah sebuah kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Sumatera Barat. Sebelum berubah menjadi kesultanan, kerajaan ini adalah bagian dari kerajaan Malayapura yang dipimpin seorang tokoh terkenal bernama Adityawarman. Tidak diketahui sejak kapan kerajaan Pagarruyung berdiri. Satu-satunya sumber sejarah adalah adanya prasasti Batusangkar yang menerangkan bahwa Adityawarman pernah menjadi penguasa di kerajaan tersebut.
Sistem Tata Negara
Jika melihat secara seksama sistem pemerintahan yang ada, akan nampak keunikan disana. Kerajaan Pagarruyung Islam tidak mempunyai angkatan perang seperti Aceh, Banten, Demak, dan Kerajaan Islam lainnya, yang setelah masuk Islam segera membentuk angkatan perang yang kuat. Nagari diperintah dan diatur oleh penghulu-penghulu yang juga mengatur hubungan dengan sesama nagari. Hukum tertulis tidak ada, yang ada hanyalah hukum tak tertulis, yang diwariskan secara lisan secara turun temurun berupa pepatah-petitih.
Setelah Sultan Alif wafat, beliau digantikan oleh Yang Dipertuan Raja Bagewang II. Raja ini adalah kemenakan dari Raja Bakilek Alam (Bagewang I) yang sebelumnya menjadi raja ketika kerajaan masih bercorak Buddha Bhairawa. Raja Bagewang II berbeda dengan mamaknya, semasa pemerintahan Sultan Alif, dia telah memeluk agama Islam.
Raja selanjutnya adalah Sultan Abdul Jalil. Dalam masa pemerintahan raja inilah surat-menyurat sudah mempergunakan cap/stempel yang bertuliskan huruf Arab. Dia adalah kemenakan Raja Jambi yang menerima waris untuk menduduki jabatan Raja Alam di Kerajaan Pagarruyung. Sebelumnya seseorang yang bernama Abdul Jalil memangku jabatan sebagai “Raja Adat” di Buo. Setelah menjadi raja dia diberi gelar “Yang Dipertuan Raja Alam Muningsyah I”. Pada masa kekuasaannya, Sultan Abdul Jalil berhubungan dengan kerajaan Negeri Sembilan di Malaysia dan dialah yang mengangkat raja di sana.
Pengganti Sultan Abdul Jalil adalah Yang Dipertuan Rajo Basusu Ampek bergelar Raja Alam Muningsyah II (1615 M). Dalam masa pemerintahannya, raja tidak banyak berbuat, akan tetapi keadaan kerajaan dan daerah rantau senantiasa aman. Raja selanjutnya adalah Sultan Ahmad Syah (1650-1680 M). Pemerintahannya bercorak desentralistis, berdasarkan hukum Islam dan hukum adat, lazim disebut “Tungku nan Tigo Sajarangan”, atau “Tali Tigo Sapilin”. Ada tiga orang raja yang berkuasa, yaitu Raja Adat di Buo, Raja Ibadat di Sumpurkudus, dan Raja Alam di Pagarruyung. Ketiganya disebut juga “Rajo Nan Tigo Selo”.
Raja Adat adalah pemegang Adat dan Limbago. Keturunannya sampai sekarang masih disebut “Orang Istana”, keturunan raja-raja di Pagarruyung. Raja Ibadat adalah pemegang Hukum Titah Allah, penegak imam di Alam yang memegang tinggi titah Allah, dan mengerjakan suruhan Nabi. Raja Alam merupakan koordinator dari adat dan ibadat.
Di bawah kedudukan raja terdapat “Basa Ampek Balai” (Dewan Empat Menteri), yang terdiri dari Datuk Bendaharo di Sungaitarab, Tuan Kadhi di Padanggantiang, Tuan Indomo di Saruaso, dan Tuan Makhudum di Sumanik. Datuk Bendaharo yang mengetuai Basa Ampek Balai, bertugas menjalankan pemerintahan seperti yang digariskan oleh Rajo Nan Tigo Selo. Di bawah Basa Ampek Balai terdapat pejabat yang bernama manti dengan jumlah lebih banyak. Di bawah manti terdapat “dubalang” (hulubalang) yang jumlahnya lebih besar daripada penghulu. Penghulu dan hulubalanglah yang berhubungan langsung dengan rakyat. Hulubalang bertugas mengamankan anak nagari. Sebagai “pagar kampung”, ia menjaga ketertiban dan keamanan dalam nagari.
Kerajaan Pagarruyung diperintah berdasarkan Adat dan Syarak seperti dirumuskan dalam pepatah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”, sampai saat datangnya pemurnian agama Islam di Minangkabau yang dilakukan oleh Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Setelah tiga orang haji tersebut pulang ke Minangkabau (1803) dimulailah usaha pemurnian ajaran agama melalui “Gerakan Paderi” yang berhadapan dengan Nan Dipatuan Rajo Alam Pagarruyung yang terakhir, Arifin Muning Syah Alam, bertempat tinggal di Gudam (sebuah jorong di Pagarruyung).
Penulis: Muh Sidiq HM
Redaktur: Tori Nuariza