ISLAMTODAY ID — Kota Solo memiliki riwayat penting bagi perkembangan dunia pers modern. Pada masa pergerakan nasional Indonesia, Solo merupakan kota pertama yang mencetuskan berdirinya surat kabar Islam. Umat Islam di Solo-lah yang pertama kali memiliki bahkan mendirikan perusahaan surat kabar di tengah-tengah dominasi surat kabar asing milik Tionghoa dan Belanda.
Sejarawan muda, Adhytiawan Suharto mengungkapkan fakta menarik dibalik perkembangan pers modern. Ia mengatakan peran serta umat Islam ini tidak lepas dari berdirinya Sarekat Islam (SI) di bawah Haji Samanhudi. Mereka mendirikan sebuah perusahaan surat kabar pertama di Hindia Belanda yang bernama Sarotomo.
“(Surat kabar) benar-benar pure dipegang umat Islam ya Sarotomo itu pertama kali itu. Munculnya bulan April 1912, benar-benar pada saat itu kayak memantik orang-orang (untuk mendirikan surat kabar Islam),” kata Adhyt saat diwawancara IslamToday ID (10/2/2021).
Adhyt mengatakan bahwa momentum berdirinya Sarotomo sangat berdampak bagi industri pers saat itu. SI Solo berhasil memantik cabang-cabang SI di kota lain untuk melakukan gerakan serupa yakni mendirikan surat kabar atau melakukan pembelian surat kabar. Salah satunya dilakukan oleh Goenawan, seorang pendiri SI Batavia, ia mendirikan koran SI pada 1 Januari 1913.
Ia menjelaskan bahwa perusahaan yang didirikan oleh Goenawan di Batavia adalah bentuk pengambilalihan dari kepemilikan Tionghoa. Nama dari koran yang diterbitkan oleh SI Batavia dibawah kepemimpinan langsung Goenawan bernama Pantjaran Warta. Masih menggunakan yang sama hanya saja terjadi pada perubahan rubrik serta konten produksi.
“Ketika SI berdiri di Batavia itu, SI Goenawan itu membeli koran Pantjaran Warta. Itu dulu punya orang Tionghoa, cuman dibeli sama dia (Goenawan), namanya tetap Pantjaran Warta tapi kontennya berubah,” tutur Adhyt.
Pembaca Sarotomo, Bangsawan dan Terdidik
Adhyt lebih lanjut menjelaskan tentang surat kabar Sarotomo di Solo. Koran ini rupanya memiliki sasaran pembaca bukan dari kalangan biasa-biasa saja. Kalangan terdidik dan bangsawan di Solo adalah sasaran utama dari Sarotomo.
“Kalau saya perhatiin itu misalkan di Solo sendiri sebenarnya memang konten-kontennya itu memang sasaran orang-orangnya itu adalah orang-orang yang memang mengerti (terdidik-RED). Misalkan para pegawai Kasunanan, para Haji yang bisa baca tulis, para guru pesantren memang target-targetnya orang-orang seperti itu,” ungkap Adhyt.
Ia menambahkan dengan begitu propaganda gerakan SI akhirnya bisa menyasar semua kalangan masyarakat Solo. Sebab kalangan-kalangan yang mereka pengaruhi ialah mereka yang memiliki kedudukan penting di masyarakat. Apalagi bagian dari tim redaksi Sarotomo adalah “orang dalam” Kasunanan Solo.
“Kalau secara umum kan memang masyarakat belum bisa baca dan lain-lain begitu, tetapi dari koran-koran itu mereka mempengaruhi orang-orang yang punya kedudukan misalkan kayak Sarotomo” ucap Adhyt.
“Itu kan yang menginisiasi (Sarotomo) pegawai Kasunanan juga namanya Marthodarsono, dia itu muridnya Tirto Adi Suryo (di Medan Priyayi),” imbuhnya.
Adhyt mengungkapkan lahirnya Sarotomo di Solo menjadi penanda bangkitnya pribumi muslim. Bahkan, dari segi pembiayaan benar-benar dari SI, terutama dari Haji Samanhudi. Sarotomo menjadi koran yang modalnya berasal dari intern SI karena dibiayai penuh oleh Haji Samanhudi.
“Tidak ada yang penopang lain, murni dari umat Islam sendiri. Itu benar-benar murni itu Sarotomo” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa sebenarnya di Solo sebelum muncul Sarotomo telah ada koran lain yang juga dimiliki pribumi yakni Darmo Kondo. Sebuah koran pertama yang dimiliki oleh kalangan pribumi. Sebuah perusahaan surat kabar yang berhasil diambil alih oleh para aktivis Boedi Oetomo cabang Solo, namun keberadaannya tidak sebombastis Sarotomo.
“Darmo Kondo dibawahnya Boedi Oetomo bukan seseuatu yang booming ketika dia muncul. Boomingnya justru ketika 1912 ketika Darmo Kondo memihak Sarotomo,” ujar Adhyt.
Adhyt pun menjelaskan tentang konten apa yang dimuat oleh Sarotomo. Koran pertama yang lahir dari rahim SI ini adalah koran yang sangat mewakili kepentingan umat Islam. Sarotomo tidak hanya memuat berita-berita penting tentang tokoh-tokoh pembesar di Solo namun juga disertai dengan gagasan intelektual umat Islam di Solo.
“Sarotomo isinya bukan kayak ayat Al-Qur’an (saja), isinya perkembangan Islam bagaimana caranya agama Islam ini berkembang di Surakarta. Bentuknya opini-opini mereka atau berita-berita yang berkaitan dengan orang-orang besar di Solo, (dan) memang target pembacanya begitu,” pungkas Adhyt.
Reporter: Kukuh Subekti / Redaktur: Tori Nuariza