IslamToday ID — 3 April 1950 merupakan momen yang sangat penting bagi bangsa Indonesia. Saat itu, Muhammad Natsir, Ketua Fraksi Masyumi ‘membidani’ lahirnya Negara Kesatuan dengan menyodorkan ‘Mosi Integral’ di hadapan Parlemen RIS (Republik Indonesia Serikat).
Gagasan besar Natsir ini disampaikan natsir sebagai solusi atas krisis akibat Konferensi Meja Bundar (KMB). Hasil-hasil KMB dinilai merugikan Indonesia.
Gagasan cemerlang Natsir ini tidak berjalan mulus. Perdebatan yang sengit mewarnai persidagangan. Dalam beberapa kesempatan lobi-lobi yang dilakukan oleh Natsir juga berjalan sangat alot.
“Ketika pak Natsir menyampaiakn Mosi Integral itu tinggal tiga negara bagian. Indonesia Timur, Sumatera Timur dan Republik Indonesia, tiga-tiganya keras,” kata Lukman Hakiem Penulis Buku Biografi Mohammad Natsir, pada Webinar yang diadakan oleh FISIP, Universitas Muhammadiyah Prof. Hamka (UHAMKA) dan MPR RI pada Kamis (1/4/2021).
Indonesia Timur, Sumatera Timur merasa wilayahnya luas. Mereka mempertannyakan mengapa harus bergabung ke RI yang wilayahnya dinilai hanya sebesar Jogja.
Sebaliknya, RI yang menolak bergabung ke Sumatera Timur. Sebab dalam pandangan RI negara Sumatera Timur dan Indonesia Timur ialah negara bagian yang dibentuk oleh Van Mook.
“Jadi sama-sama keras” imbuh Lukman.
Solusi Bermartabat
Sikap keras kepala para pemimpin negara tersebut membuat Natsir harus melakukan ikhtiar-ikhtiar politik. politisi Partai Masyumi ini berkunjung ke Jogja untuk membangun dialog dan berdiskusi dengan penuh kesabaran.
Pada kesempatan tersebut Natsir menyampaikan sejumlah opsi. Pertama, dengan berperang, Kedua, menempuh jalur politik di parlemen, agar setiap negara bagian membubarkan diri.
Opsi yang disodorkan Natsir menggugah kesadaran. Bahwa, ada jalan yang dapat ditempuh untuk menggalang persatuan tanpa pertumpahan darah.
“Kita ambil jalan parlementer jadi kita nggak perlu angkat senjata, jadi kita sama-sama membubarkan diri. Nah itulah dari kita untuk kami itu. Sama-sama kita membubarkan diri, lalu bersama-sama juga kita membentuk negara baru,” tutur Lukman.
Pada akhirnya semua negara bagian bersedia bergabung ke dalam NKRI. Lukman menilai, tidak berlebihan jika Mosi Integral menjadi solusi bermartabat yang pernah dihasilkan oleh bangsa Indonesia.
“Jadi Mosi Integral itu penyelesaian yang sangat-sangat bermartabat, tidak ada negara besar mencaplok negara kecil. Tidak ada saling mengadu fisik tetapi semua sama-sama membubarkan diri,” ujar Lukman.
Dari Kita untuk Kami
Lukman mengungkapkan Natsir memiliki kata kunci dibalik tercapainya gagasan Mosi Integral.
“Kata kunci dari keberhasilan pak Natsir itu ialah Dari Kita untuk Kami. Itu yang berulang-ulang Pak Natsir menceritakan itu,” kata Lukman
Lukman menjelaskan bahwa semangat ‘Dari Kita untuk Kami’ inilah yang membuat Natsir sangat gigih menolak hasil perundingan di KMB pada 27 Desember 1949.
Natsir bahkan memiliki perhatian khusus terhadap Irian Barat atau Papua. Ia menilai hasil KMB yang tidak memasukan Irian Barat ke dalam wilayah Indonesia akan sangat berbahaya.
“Pak Natsir itu nggak mau, nggak setuju. Kata Pak Natsir ini akan jadi masalah kalau Irian Barat itu ditunda,” tutur Lukman.
Sikap kecewa Natsir juga ditunjukan ketika ia menolak bergabung dalam kabinet pemerintahan RIS. Ia bersama Haji Agus Salim menolak hasil KMB yang dengan jelas telah menghilangkan kedaulatan Indonesia.
Mohammad Hatta selaku Perdana Menteri RIS memahami kekecewaan Natsir. Hatta mengobati kekecewaan Natsir dengan mengutusnya untuk melakukan kunjungan ke-16 negara bagian RIS. Tujuannya untuk melakukan komunikasi dengan negara-negara bagian.
“Jadi karena pak Natsir tidak bersedia menjadi menteri walaupun dibujuk sedemikian rupa oleh Bung Karno, maka kemudian Bung Hatta meminta pada Pak Natsir dan Sultan Hemengku Buwono ke IX untuk keliling daerah,” ungkap Lukman.
Penulis Kukuh Subekti
Editor: Arief Setiyanto