ISLAMTODAY ID — Kitab Tafsir Faidh ar-Rahman menjadi salah satu kitab yang tafsir Al-Quran paling melegenda bagi umat Islam di Indonesia, khususnya Jawa. Kitab berbahasa Jawa dan ditulis Arab pegon tersebut menjadi pembaharu bagi dakwah Kiai Haji Sholeh Darat.
Kitab Tafsir Faidh ar-Rahman merupakan kitab yang mampu membuka mata Kartini akan indahnya Islam. Menjadi pintu bagi Kartini dalam memahami ajaran-ajaran Islam sebab masa itu belum tersedia kitab yang diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa di Nusantara.
Kiai Sholeh memang belum tuntas dalam membuat kitab tafsir dan terjemahan tersebut. Sebab hingga hari wafatnya pada 28 Ramadhan 1321/18 Desember 1903 ia baru bisa menyelesaikan 6 jus saja.
Enam jus tafsiran dalam Kitab Faidh ar-Rahman ini terdiri atas tafsir Surat Al-Fatihah sampai dengan an-Nisa. Meskipun belum selesai rupanya kitab ini memberikan kesan mendalam bagi Kartini.
Kartini begitu tersentuh dengan satu ayat dalam Al-Baqarah yakni ayat 257. Sebuah ayat yang kemudian banyak dikutip sebagai quote ‘habis gelap terbitlah terang’.
Bunyi ayat yang dimaksud adalah, ‘…Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (iman)…’, Al-Baqarah: 257.
Dilansir dari blokbojonegorocom (18/4/2017), Khozanah Hidayati salah seorang anggota DPRD dari Fraksi PKB menuliskan bahwa pemahaman yang baru inilah yang kemudian membuat Kartini tergerak untuk memperbaiki ke-Islamannya. Bahkan ia pun dengan tegas akan melakukan pembelaan terhadap Islam dari berbagai fitnah yang selama ini ada.
Kisah ini terdapat dalam kutipan surat Kartini edisi 21 Juli 1902, “Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.”
Tidak hanya memberikan spirit bagi Kartini untuk membela agamanya, namun kitab tersebut juga membuatnya berubah dalam memandang Barat (Eropa). Perubahan ini terlihat dalam surat Kartini edisi 27 Oktober 1902 yang ditujukan kepada sahabatnya Ny Abendanon.
“Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban. Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan.”
Sejarawan, Dr Tiar Anwar Bachtiar saat memberikan paparan pada 21 April 2018 di Masjid Agung Karanganyar, membeberkan sejumlah pandangan terkait perubahan pemikiran RA Kartini di akhir Hayat dan kedekatannya dengan Islam.
“Di akhir hayatnya dalam cerita salah seorang teman kartini, cucunya Kyai Sholeh Daart diceritakan bahwa Kartini itu ketika sudah menikah dengan Bupati Rembang itu karena Kyai Sholeh Darat sering datang ke Pengajian, saat itu Kartini mulai dekat dengan Kyai Sholeh Darat atau dengan Pesantren, dia mulai belajar ngaji, padahal sebelumnya ga bisa ngaji, dia belajar ngaji pengen dengarkan Tafsir Quran dan sebagainya,” jelas Tiar Anwar.
“Ini konon, riwayatnya belum diverifikasi, Kyai Sholeh Darat itu atas permintaan dari Kartini diminta untuk menuliskan Tafsir tapi menggunakan Bahasa Melayu dan Bahasa Arab, nanti ada Tafsir beliau KH Sholeh Darat judulnya ‘Faidlhur-Rahman fi Tafsir Ayat minal Quran”, pungkasnya.
Ia mengatakan pasca menikah, RA Kartini kerap hadir dalam pengajian dan berguru pada Kyai Sholeh Darat. Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa jika dilihat secara utuh, Kartini di akhir hayat telah meninggalkan gagasan Baratnya dan secara khidmat mengkaji ajaran-ajaran Islam.
” Jadi Kyai Sholeh Darat menulis Tafsir dalam bahasa Jawa dan itu mungkin benar atas permintaan Kartini, tetapi belum selesai baru Surat Al-Fatihah dan Al Baqarah saja, sisanya belum selesai karena Kyai Sholeh Darat meninggal dunia, artinya apa?, di akhir hayatnya Kartini ini, dia ada perubahan pemikiran, . . .sehingga kalau kita melihat Kartini secara utuh sebetulnya Kartini itu dia kembali lagi menjadi Muslimah yang baik dan dia meninggalkan gagasan-gagasan Baratnya, karena di dalam surat-surat Kartini saja ketika terakhir waktu sudah menikah, ditanya tentang keadaanya Kartini tak terlalu bersemangat menjawab surat-surat Zeehandelar”
Terjemahan Al-Qur’an dan Luasnya Gagasan Kartini
Melihat sosok Kartini sebagai seorang pejuang emansipasi dinilai sebagai pandangan sempit. Sebab mengkerdilkan ide, gagasan Kartini tentang pentingnya kitab yang diterjemahkan sebagai sarana dakwah.
Kartini pada masanya telah menunjukan bahwa ia sosok perempuan pribumi yang cerdas dan berwawasan luas. Hal ini ditunjukan dengan berbagai keresahan dan kegelisahannya terhadap fenomena yang terjadi di sekitarnya.
Hal inilah yang diungkapkan oleh, Eko Sulistyo dalam artikelnya yang diterbitkan portal beritasatucom (21/4/2020). Ia memberikan pandangannya terkait kegelisahan Kartini yang mengatakan agama sebagai penghambat kemajuan.
“Misalnya, pandangannya awal tentang Islam, ada kesan Kartini kurang bisa menerima karena tidak adanya pengetahuan untuk mengetahui makna Alquran,” tutur Eko dalam artikel opininya.
Eko juga mengutip sebuah pernyataan Kartini yang dituliskannya dalam surat kepada sahabatnya bernama Stela pada 6 November 1899. Kartini menulis, ‘Quran terlalu suci, tiada boleh diterjemahkan ke dalam bahasa mana pun jua. Di sini tiada orang yang tahu bahasa Arab. Orang diajar di sini membaca Quran, tetapi yang dibacanya tiada ia mengerti. Pikiranku, pekerjaan gilakah semacam itu. Orang diajar di sini membaca, tetapi tidak diajarkan makna yang dibacanya itu.’
Eko mengisahkan bagaimana sosok Kartini berusaha mengungkapkan pemikirannya tentang perlunya penerjemahan. Kartini membandingkan situasi tersebut dengan membandingkan seseorang yang dipaksa belajar bahasa Inggris tanpa tahun artinya.
“Di sini kegelisahan eksistensialismenya sekaligus menjadi sikap kritisnya terhadap sistem pendidikan agama Islam di zamannya,” ujar Eko.
“Kegelisahan dan sikap kritisnya ini sebenarnya menunjukkan dirinya sebagai muslimah yang memiliki minat besar untuk memahami agama Islam melalui Al-Qur’an,” jelasnya.
Eko mengungkapkan bagaimana arti penting pertemuan Kartini dan Kiai Sholeh Darat pada sebuah momen pengajian di rumah pamannya, Bupati Demak. Saat itu ulama kelahiran Jepara tahun 1820 /1235 H itu menerangkan tentang tafsir Al-Fatihah dalam bahasa Jawa.
Pada saat itulah Kartini mengajukan permintaan tentang Al-Qur’an terjemahan. Kitab yang kemudian diberi nama Kitab Faidh ar-Rahman inilah yang menjadi tanda betapa Kartini menentang kebijakan Belanda.
“Dalam konteks ini, pandangan Kartini terhadap Islam dan Alquran agar lebih dipahami masyarakat awam telah menabrak kebijakan kolonial yang melarang penerjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Jawa dan Latin,” ujar Eko.
Ide dan gagasan Kartini ini pun membuat orientalis Belanda, Snouck Hugrogonje merasa khawatir terhadap dampak dari pemikiran Kartini.
“Maka tidak heran jika seorang Snouck Hugrogonje memandang pemikiran Kartini perlu didekati karena bisa berbahaya bagi sistem kolonial Belanda,” pungkas Eko.
Epilog
Episode akhir kehidupan RA Kartini tak banyak disampaikan. Padahal ada babak yang sangat penting dalam kehidupan Kartini, Romantisme Kartini dengan Islam.
Perubahan pemikiran Kartini dari feminisme Barat ke rahim Islam nampak dari kutipan Surat Kartini, Betapa hanya ada satu gelar yang ia pakai hingga penghujung hayatnya, “Hamba Allah”
“Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama yang disukai.”
(Surat Kartini ke Ny. Van Kol, 21 Juli 1902)
“Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.”
(Surat Kartini ke Ny.Abendanon, 1 Agustus 1903)
Penulis: Kukuh Subekti / Redaktur: Tori Nuariza