ISLAMTODAY ID — Salah satu dari empat Kesultanan besar di tanah Melayu adalah Kesultanan Serdang. Kesultanan ini berdiri pada tahun 1723 dan bergabung dengan Republik Indonesia tahun 1946. Kesultanan ini berpisah dari Deli setelah sengketa tahta kerajaan pada tahun 1720.
Seperti kerajaan-kerajaan lain di pantai timur Sumatra, Serdang menjadi makmur karena dibukanya perkebunan tembakau, karet, dan kelapa sawit.
Pada masa pemerintahan Sultan Serdang yang pertama ini, yaitu Tuanku Umar Johan Alamshah Gelar Kejeruan Junjongan (1723−1767), pemerintahan Kesultanan Serdang masih dilanda berbagai konflik yang membuat pemerintahan tidak stabil.
Konsep Pemerintahan
Kesultanan Serdang mulai stabil pada masa kepemimpinan Sultan yang kedua Sultan Ainan Johan Alamshah (1767-1817. Di zaman inilah konsep pemerintahan mulai terbentuk dengan institusi atau Lembaga Orang Besar Berempat atau Datuk Empat Suku di Serdang, yaitu:
- Pangeran Muda, berwilayah di Sungai Tuan
- Datok Maha Menteri, berwilayah di Araskabu
- Datok Paduka Raja, berwilayah di Batangkuis
- Sri Maharaja, berwilayah di Ramunia
Empat orang yang disebutkan tadi adalah perwakilan pembesar dari wilayah-wilayah Kesultanan Serdang. Selain sebagai perwakilan Sultan, mereka juga berperan sebagai penasihat utama Sultan dalam berbagai urusan. Sehingga orang-orang menyamakan kedudukan empat orang tadi selayaknya menteri atau dalam istilah Islam disebut wazir.
Selain para pemimpin wilayah atau para wazir (menteri) tersebut, di tingkat pemerintahan pusat Sultan Serdang dibantu oleh Syahbandar (kepala keamanan) terutama untuk wilayah bandar-bandar pelabuhan yang menjadi urat nadi perokonomian Serdang.
Kemudian pembantu Sultan berikutnya adalah Temenggong (panglima besar). Posisi tersebut memiliki tanggung jawab dalam kontrol pemerintahan dan militer Kesultanan Serdang.
Praktik Syariat Islam
Sebagai sebuah negara Islam, Kesultanan Serdang juga memiliki kebijakan khusus terkait dengan pelaksanaan hukum-hukum Islam.
Adapun, kebijakan yang paling menonjol tentu saja adalah sebuah kebijakan memadukan Hukum Syariat Islam dengan Hukum Adat yang mengacu pada filosofi pepatah‚ Adat Melayu Bersendikan Hukum Syara’ dan Syara’ Bersendikan Kitabullah.
Dalam struktur pemerintahan yang baru tersebut, fungsi Sultan di kesultanan Serdang adalah sebagai kepala adat, kepala pemerintahan, dan ulil amri (penguasa agama).
Pada kedudukannya sebagai ulil amri, Sultan mengangkat para qadhi yang bertugas untuk menjalankan syariat Islam di tengah masyarakat.
Selain mengangkat qadhi, Sultan juga mengangkat imam dan nazir mesjid kesultanan. Imam seperti halnya di tempat lain, bertugas sebagai pemimpin sholat jamaah dan beberapa acara keagamaan lain seperti pengajian Al Quran, Majelis Dzikir dan lain sebagainya.
Sedangkan untuk nazir berperan sebagai penanggungjawab bidang sarana dan prasarana masjid Kesultanan atau masjid-masjid kampung.
Oleh karena itu, kedudukan qadhi dipandang lebih tinggi dari kedudukan imam dan nazir. Pada tingkat desa, qadhi adalah aparat resmi kerajaan yang menangani masalah agama, sedang pada tingkat kesultanan, qadhi bergelar imam paduka tuan atau mufti.
Pergeseran di Abad 20
Konsep pemerintahan Islam seperti yang disebutkan diatas, terus terjaga sejak tahun 1700an akhir hingga memasuki abad ke-20 M.
Namun dengan seiring berjalannya waktu, serta adanya faktor penjajahan VOC, maka sedikit banyak hal tersebut sedikit mengubah tata kelola pemerintahan Kesultanan Serdang.
Tepatnya pada tahun 1932, kedudukan pejabat-pejabat agama ini dilembagakan ke dalam Majelis Syar’i. Majelis ini dibentuk di tingkat kesultanan saja.
Sejak berdirinya Majelis Syar’i, maka peran Sultan sebagai ulil amri sepenuhnya diserahkan kepada majelis ini, walaupun gelar ulil amri masih tetap dijabat oleh Sultan. Sebagai ulil amri, Sultan disumpah untuk memerintah dengan hukum Islam dan memutuskan sesuatu berpedoman kepada al-Qur’an dan hadis. Setelah terbentuknya Majelis Syar’i, maka kewajiban tersebut dilaksanakan oleh majelis yang dipimpin oleh seorang yang bergelar Syaikhul Islam.
Kedudukan dan fungsi Syaikul Islam sebagai ketua Majelis Syar’i ternyata lebih luas dari mufti atau imam paduka tuan.
Kedudukan mufti adalah kedudukan pribadi sebagai penasehat Sultan dalam masalah agama dan tidak dilembagakan, sedangkan Majelis Syar’i sebagai organ resmi kerajaan mempunyai garis vertikal ke bawah, ke kampung/desa keSultanan. Adapun fungsi dari adanya majelis tersebut adalah:
- Mengkoordinir dakwah Islamiyah, termasuk masalah pengislaman.
- Menetapkan awal puasa Ramadhan, hari raya Idul Fitri, dan jadwal puasa/imsakiyah.
- Mengatur pengumpulan dan pembagian zakat fitrah.
- Mengurus masalah nikah, talak, dan rujuk.
- Mengangkat dan memberhentikan para qadhi.
- Bertanggungjawab terhadap kehidupan mesjid-mesjid kerajaan, menetapkan dan memberhentikan nazir dan imam-imam mesjid. Mengatur perayaan-perayaan agama dan keSultanan.
- Mengkoordinir pendidikan dan pengajaran agama, termasuk menguji guru-guru, mengeluarkan beslit pengangkatan dan pemberhentiannya.
- Membawahi Mahkamah Syariah
Kedudukan mufti atau imam paduka tuan dalam struktur Kesultanan Serdang setingkat dengan kedudukan Tumenggong, dan lebih rendah setingkat daripada kedudukan menteri.
Tetapi dengan dibentuknya Majelis Syar’i, menyebabkan ketua majelis tersebut setingkat dengan menteri. Dengan demikian kedudukannya lebih tinggi daripada mufti atau imam paduka tuan, dan dia menjadi ‛kawan raja bermusyawarah‛, karena ketua Mejelis Syar’i langsung berada di bawah Sultan.
Ketua Majelis Syar’i di KeSultanan Serdang pertama kali dijabat oleh Tengku Fachruddin. Jabatan tersebut diembannya selama sepuluh tahun, mulai tahun 1927-1937. Ketika beliau meninggal, maka jabatan tersebut dipercayakan kepada saudaranya Tengku Jafizham.
Dalam praktik berjalannya syara’ atau syariat, di Kesultanan Serdang terdapat dua jenis pengadilan, yaitu (a) Kerapatan atau Pengadilan Landraad, dan (b) Mahkamah Syariah (Pengadilan Agama).
Kerapatan diketuai oleh Sultan, sedang pelaksanaan Mahkamah Syariah dipimpin oleh Syaikhul Islam atau ketua Majelis Syar’i. Jabatannya di sini adalah sebagai wakil ketua, karena Sultan adalah ulil amri.
Dengan demikian segala keputusan yang diambil majelis adalah atas nama Sultan. Beberapa permasalahan yang menjadi tanggung jawab Mahkamah Syariah diantaranya masalah pernikahan, perceraian, hukum waris, hukum hak asuh anak dan lain sebaginya.
Penulis: Muh Sidiq HM / Redaktur: Tori Nuariza
Sumber:
Ichwan Azhari. 2013. Kesultanan Serdang; Perkembangan Islam pada Masa Pemerintahan Sulaiman Shariful Alamsyah. Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI
Tuanku Luckman Basarshah II. 2007. Sejarah Medan Tempo Doeloe, Medan: Yayasan Kesultanan Serdang.