ISLAMTODAY ID — Dalam kudeta tahun 1948, PKI juga menyerang sejumlah pesantren. Diantaranya Pesantren Takeran dan Pesantren Tegalrejo di Magetan.
Ketika menyerang pesantren PKI menerikan yel yel yang mengekspresikan kebencian terhadap Islam, pesantren dan kaum santri”
“Pondok bobrok, santri mati, langgar bubar!’” ungkap sejarawan Agus Sunyoto dalam “Lubang-lubang Pembantaian: Petualangan PKI di Madiun (1990).
Serangan ini bukan tanpa alasan, sebab pesantren-pesantren tersebut pernah menjadi basis perjuangan sejak Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin Pangeran Diponegoro.
Pesantren Takeran
Pesantren Takeran atau Pesantren Sabilil Mutaqien (PSM) dibangun oleh Kiai Hasan Ulama. Kiai Hasan Ulama ini memiliki pertalian erat dengan pengikut Pangeran Diponegoro, yakni Kiai Abdurahman dan Kiai Khalifah.
Pesantren ini memiliki memiliki jaringan intelektual ulama yang sangat luas. Para santri dan ulamanya datang dari berbagai penjuru Nusantara hingga Mesir.
Selain itu, Pesantren Takeran juga berkembang menjadi basis pergerakan Islam. Pesantren ini menjadi tempat penggodogan partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Saat meletus pemberontakan PKI, Pesantren Takeran dipimpin Kiai Imam Mursyid. Ia adalah seorang ulama paling berpengaruh di Magetan.
Serangan PKI ditahun 1948 membakar salah satu cabang Pesantren Takeran. Sebanyak 14 Kyai juga menjadi korban pembantaian PKI. Bahkan jenazah Kiai Imam Mursyid hilang entah dimana.
Pembantaian keji ini didahului siasat dengan licik. PKI menjebak Kyai Imam Mursid dengan alasan berunding. Kiai Imam Mursyid dan ulama-ulama lainnya di Pesantren Takeran kemudian diculik dan dibantai.
Pesantren Tegalrejo
Selain Pesantren Takeran, Pesantren Tegalrejo terletak di Dusun Tegalrejo, Desa Semen, Kec. Nguntoronadi, Kab. Magetan juga menjadi korban kebiadaban PKI. Pesantren ini didirikan Kiai Abdurrahman, sahabat dari Kiai Khalifah di Takeran.
Pada masa pemberontakan PKI di Madiun, Pesantren Tegalrejo dipimpin oleh Kiai Imam Mulyo. Beliau adalah seorang kiai sepuh yang dihormati.
18 September tahun 1948, menjadi malam mencekam bagi Pesantren Tegalrejo. PKI telah mengepung pesantren ini.
Dalam kondisi genting ini, Kiai Imam Mulyo masih bersikap tenang. Ia meminta para santri tetap bertahan tidak melukai pasukan PKI. Perintah yang dianggap aneh oleh para santri. Namun mereka tetap taat pada perintah tersebut.
Siapa sangka, ke-tawakal-an Kyai Imam Mulyo dan ketaatan para santri pada Sang Kyai menjadi kunci keselamatan.
Tembakan dan lemparan 85 buah granat ke pesantren tidak membuat gentar kyai Imam Mulyo dan para santri. Sebaliknya, aktivis-aktivis PKI dibuat gentar dan lari ketakutan hanya dengan pekikan takbir.
“Pesantren ditembaki bahkan dilempari puluhan granat, anehnya tidak ada tembakan yang mengenai sasaran, bahkan tidak satupun granat yang sudah dilepas picunya bisa Meletus,” ujar Agus Sunyoto dalam “Lubang-lubang Pembantaian: Petualangan PKI di Madiun (1990).
“Dengan kekuatan kerohanian disertai pekikan ‘Allahu Akbar’ semua kelompok yang hendak menyerbu pesantrennya itu bisa dilumpuhkan semuanya roboh dan kemudian melarikan diri,” imbuhnya.
Agus juga mengisahkan tentang kesaksian dari Khodim (65), santri Tegalrejo. Menurut keterangannya pada waktu pengepungan terjadi seluruh penghuni pesantren tidak ada yang tahu kecuali Kiai Imam Mulyo.
Bahkan, pada saat kejadian dirinya sedang di luar pondok, ia mendapat tugas untuk membeli lampu. Namun, ketika perjalanan pulang keadaan di Magetan sudah sangat mencekam.
“Orang FDR/PKI terlihat di mana-mana membawa senjata, berpakaian hitam, dan berikat kepala merah. Khodim temyata sudah dikuntit oleh FDI/PKI, dan di Desa Sukowidi dia ditangkap FDR/PKI. Setelah ditanya bermacam-macam dia digiring ke loji pabrik gula Rejosari di Gorang Gareng,” ujar Agus Sunyoto.
Pada saat itulah Khodim mengaku melihat Kiai Imam Mursyid (Pondok Takeran) yang telah ditangkap sehari sebelumnya. Khodim yang saat itu masih santri dianggap tidak penting itu akhirnya dibebaskan PKI.
“Khodim memang tidak sampai dijebloskan ke ruangan loji pabrik gula Rejosari. Sebab, dia hanya dianggap seorang santri biasa, dan bukan tokoh pesantren,” tutur Agus Sunyoto.
Aksi penyerangan yang berujung gagal itu dilakukan oleh PKI hingga hari Ahad Malam, 19 September 1948. Kegagalan mereka menggunakan berbagai senjata api membuat mereka menyerah dan hanya bisa berkeliaran di sekitar pesantren.
Esok harinya, Senin 20 September 1948 PKI memanfaatkan Ilyas alias Sipit mantan santri Takeran. Ia datang bersama dengan Bukhori yang juga santri dari Takeran.
“…kedatangan Sipit dan Bukhori ke Tegalrejo rupanya sengaja untuk meruntuhkan moral warga pesantren yang sudah nekad mempertahankan pesantren mereka. Ketika itu Sipit dan Bukhori menyarankan agar Pesantren Tegalrejo menyerah saja,” kata Agus.
Sipit pun mengatakan kepada Kiai Imam Mulyo untuk bersedia melakukan perundingan dengan pihak PKI. Seperti yang dilakukannya ketika menangkap Kiai Imam Mursyid, gurunya di Takeran.
Namun tipu muslihat Sipit tidak berhasil menaklukkan Kiai Imam Muljo. Ia tidak bersedia tunduk pada PKI seperti yang dilakukan oleh sejumlah kiai-kiai lainnya di Tegalrejo.
Kewibawaan sosok Kiai Imam Mulyo rupanya benar-benar ditakuti oleh PKI. Meskipun hanya tinggal dia seorang PKI tidak ingin menangkap Kiai Imam Mulyo.
“Tetapi orang-orang FDR/PKI tidak berani menangkap Mbah Kiai Imam Muljo,” ucap Agus mengutip ucapan Khodim.
Pada akhirnya setelah sepekan ditangkap oleh PKI seluruh penghuni Pesantren Tegalrejo selamat dari kebengisan PKI. Peristiwa ini terjadi akibat adanya salah membaca sandi.
Saat itu, salah seorang pasukan PKI mengatakan bahwa bahwa pasukan “Belanda pakai blangkon” datang menyerang Gorang Gareng. Rupanya, pasukan PKI yang lainnya tidak paham dengan sandi ‘Belanda pakai blangkon’ yang artinya Tentara Siliwangi.
“Kurir itu mengatakan bahwa para tawanan sebaiknya “dibebaskan” sebelum Belanda pakai blangkon datang,” ujar Agus.
Sandi lainnya yang juga keliru dipahami ialah ‘dibebaskan’, yang berarti perintah agar para kiai dan santri Tegalrejo itu dibunuh. Sebab, di depan lokasi penahanan para kiai itu telah disiapkan sumur pembantaian.
“Karena keliru mengartikan sandi-sandi tersebut, kurir FDR/PKI itu pun dibunuh sendiri sebagai tebusan. Dan sampai pemerintah berhasil menumpas FDR/PKI,” pungkas Agus.
Penulis: Kukuh Subekti