ISLAMTODAY ID— Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) menjadi sebuah Ijtihad politik untuk menyelamatkan kedaulatan negara. Keberlangsungan PDRI ternyata tidak lepas dari perjuangan ulama dan kaum santri, salah satunya Syekh Abbas Abdullah.
Ia adalah Imam Jihad Sumatera Tengah. Syekh Abbas memggerakan ribuan santri dan pengikutnya untuk berjihad melawan belanda dan menjaga tegaknya kedaulatan negara Indonesia.
Syekh Abbas Abdullah merupakan ulama kelahiran Padang Japang, Kab. Lima Puluh Kota, Sumatera Barat (Sumbar) tahun 1883.
Ayahnya bernama Syekh Abdullah juga seorang ulama yang menjadi pengikut Tuanku Imam Bonjol. Sementara sang ibu, Seko seorang perempuan asli Padang Japang.
Syekh Abbas Abdullah merupakan salah satu murid dari Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Seorang ulama besar Minangkabau yang juga guru dari KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah dan KH Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama (NU).
Ulama-ulama ternama lainnya yang juga menjadi guru Syekh Abbas Abdullah selama di Masjidil Haram adalah Syekh Haji Latif Syakur, dan Syekh M.Dj. Djambek.
Syekh Abbas Abdullah memulai perjalanan menuntut menuntut ilmu pada tahun 1896. Ia kembali ke Nusantara pada tahun 1904.
Sepulang dari Mekkah hingga tahun 1919 ia dan kakaknya Syekh Mustafa mengajar di Madrasah Sumatra Tawalib. Setelah disibukkan dengan kegiatan di madrasah, ia juga berusaha menyebarkan gagasan pemikirannya dengan mendirikan majalah bernama Al-Imam.
Dua tahun kemudian tepatnya di tahun 1921, ia kembali memperdalam ilmunya ke Mekkah dan Kairo, Mesir. Kegiatan pengembaraan ilmunya itu dilakukannya hingga tahun 1924.
Pada tahun 1924, ia memutuskan untuk pulang ke tanah air. Perjalanan pulangnya yang ditempuh dari Palestina, Syria, dan Lebanon itu diikuti dengan terlebih dulu singgah di Jawa.
Selama di Jawa itu ia bertemu dengan sejumlah tokoh pergerakan salah satunya Haji Agus Salim. Dari berbagai pengalamannya di Timur Tengah dan Jawa itulah benih-benih anti kolonialisme dan imperalismenya makin menguat dalam dirinya.
“Dari lawatan ke Timur Tengah itulah beliau mulai dipengaruhi oleh paham anti kolonialisme dan imperialisme” kata Andre Fernando dkk dalam Syekh Abbas Abdullah Tokoh Pejuang Pada Masa PDRI 1948-1949.
Ia pun kembali mengajar di Sumatra Tawalib. Enam tahun kemudian, madrasah tersebut berganti nama menjadi Dar al Funnun al-Abbasiyah.
Perkembangan Dar al Funnun al-Abbasiyah bahkan membuat pemerintah kolonial Belanda resah. Mengingat di madrasahnya pula pemikiran-pemikiran pembaruan Islam yang digagas oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Rida, sesuatu yang ditakuti oleh Belanda.
Pada periode perang kemerdekaan, Syekh Abbas Abdullah dan kakaknya, Syekh Mustafa memimpin para santri berperang melawan kolonial. Oleh karenanya pada Kongres Alim Ulama di Bukittinggi tanggal 27 Juli 1947, Syekh Abbas Abdullah ditetapkan oleh Majelis Tinggi Islam sebagai Imam Jihad di Sumatera Tengah (Sumbar, Jambi, Riau dan Kepulauan Riau-sekarang).
Sebagai Imam Jihad, Syekh Abbas Abdullah pemimpin perang sabil melawan penjajah ia memiliki sejumlah perang penting. Ia berwenang untuk mengeluarkan fatwa jihad fi sabilillah.
“Dengan resolusi Jihad yang disampaikan oleh Syekh Abbas Abdullah membuat semua murid dan simpatisan beliau bergerak ikut melindungi tokoh-tokoh PDRI yang bergerilya dari serangan Belanda,” ujar Andre Fernando dkk.
Pengaruh Syekh Abbas Abdullah pada masa PDRI itu sangat besar dan berpengaruh. Ia adalah ulama besar yang santri-santri dan muridnya berjumlah hingga 4000-an orang yang berasal dari berbagai wilayah di Sumatera.
Bahkan dari jumlah tersebut tidak sedikit yang berasal dari luar negeri seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina.
Bahkan pada tahun 1948 madrasah yang dipimpinnya, Dar al Funnun al-Abbasiyah menjadi pusat Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Madrasah tersebut selain berperan dalam bidang pendidikan juga ikut berperan dalam menyambung nyawa Republik Indonesia (RI).
“Tepatnya menjadi kantor Teuku M Hassan sebagai Menteri Agama dalam Kabinet PDRI,” tutur Andre Fernando dkk.
Penulis: Kukuh Subekti