ISLAMTODAY ID— Sudirman kecil Lahir di Purbalingga, 24 Januari 1916. Saat remaja ia ditempa di Kepanduan Hizbul Wathan (HW) Muhamamdiyah, Cilacap.
Sudirman kemudian aktif di Majelis Pemuda Muhammadiyah di Banyumas dan Jawa Tengah (Jateng).
Ia lalu pada tahun 1936 berkhidmat sebagai Guru HIS Muhammadiyah Cilacap hingga jadi kepala sekolah.
Sudirman juga aktif menjadi Da’i Muhammadiyah di Cilacap, Banyumas dan Brebes. Pusat dakwahnya berada di Masjid Muhammadiyah di Jalan Rambutan, Cilacap.
Ia kemudian terpanggil untuk berjihad mempertahankan tanah air. Karir militernya dimulai sebagai Anggota PETA dan Komandan PETA di Kroya, Banyumas.
Pasca pembubaran PETA pada 18 Agustus 1945, Sudirman juga menjadi salah satu pelopor berdirinya Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Banyumas. BKR yang setelah keluarnya Maklumat Pemerintah No.2/X/45 bernama Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Ia pun kemudian dipercaya menjadi Komandan Resimen I Divisi V TKR Banyumas. Pangkat militernya waktu itu ialah Letnan Kolonel (Letkol).
Sudirman lantas diangkat sebagai Komandan Divisi V TKR Banyumas dengan pangkat Kolonel. Kegigihan dan kecerdasannya dalam perang membuat ia diangkat sebagai Panglima Besar TKR.
Ia terpilih dalam forum Konferensi TKR yang berlangsung di Yogyakarta pada 12 November 1945. Namanya terpilih untuk menggantikan Panglima Tertinggi TKR, Supriyadi.
Kecerdasan Sudirman sebagai Panglima TKR kala itu berhasil mengalahkan pasukan sekutu dalam pertempuran Ambarawa yang berlangsung pada 12 November 1945. Ia menggunakan strategi perang supit urang.
“Dengan menggunakan taktik gelar ‘Supit Urang’ atau pengepungan rangkap, ia dan pasukannya berhasil mengurung musuh,” ungkap Arief Sulistyo dalam Majalah Senakatha milik Pusat Sejarah TNI edisi 100 Tahun Soedirman, Bapak TNI pada Oktober 2016.
Kemenangannya dalam Pertempuran Ambarawa membuat Presiden Soekarno mempercayakannya sebagai Panglima Besar TKR dengan pangkat jenderal. Pelantikan dilakukan pada 18 Desember 1945.
“Sambil merangkul Sudirman dihadapan para komandan TKR, Presiden Sukarno mengatakan, Ini Panglima Besarmu,” ujar Arief.
Ia juga berhasil melebur dan mempersatukan seluruh elemen tentara. Pada bulan Mei tahun 1946, ia berhasil mempersatukan Tentara Republik Indonesia (TRI) yang terdiri atas tiga elemen TRI AD, TRI AL, dan TRI AU.
Pada masanya juga, pasukan tentara terdiri atas kalangan tentara dan laskar-laskar rakyat. Hal ini ditandai dengan pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI), gabungan antara TRI dan laskar-laskar pejuang.
Sudirman berhasil mempersatukan seluruh angakatan perang Indonesia, TNI pada 3 Juni 1947.
“Jenderal Sudirman yang teguh pendirian mengatakan bahwa, satu negara hanya ada satu tentara,” ucap Arief.
Dedikasinya dalam memimpin prajurit TNI tak surut meskipun ia tengah sakit paru-paru. Hal ini terjadi selama periode perang Agresi Militer II Belanda yang berlangsung sejak Desember 1948.
Ia menolak tawaran presiden untuk menjalani perawatan di rumah sakit. Sudirman lebih memilih berperang dengan prajurit.
“Tempat saya yang terbaik adalah di tengah-tengah anak buah. Saya akan meneruskan perjuangan. Mert of zonder (dengan atau tanpa) pemerintah, TNI akan berjuang terus,” ungkap Arief.
Usai perang revolusi kemerdekaan, kondisi kesehatan Sudirman terus memburuk. Pada 25 Januari 1950 ia wafat di Magelang dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Semaki, Yogyakarta.
Penulis: Kukuh Subekti