ISLAMTODAY ID— Tahukah kamu siapa KH Hasyim Asy’ari dan Haji Hasan Gipo? Keduanya adalah tokoh penting dalam sejarah awal Nahdlatul Ulama (NU).
Kedua tokoh di atas masing-masing diamanahi sebagai Rais Akbar Syuriah NU dan Ketua Tanfidziah NU yang pertama. Musyawarah para kiai dalam Komite Hijaz, pada 16 Rajab 1344 H atau 31 Januari 1926 menetapkan dua tokoh tersebut sebagai pimpinan NU.
Berikut biorgrafi singkat KH Hasyim Asy’ari dan Haji Hasan Gipo. Mereka tergabung dalam tokoh-tokoh assabiqunal awwalun NU.
KH Hasyim Asy’ari
KH Hasyim Asy’ari merupakan ulama kharismatik kelahiran Jombang, 23 Dzulqaidah 1287 H bertepatan dengan 14 Februari 1871. Ia lahir dan tumbuh dalam tradisi pesantren, ayahnya, Kyai Asy’ari merupakan pendiri pesantren Keras, Jombang.
Kakeknya, Kyai Usman juga seorang ulama dari Pesantren Gedang. Bahkan kakek buyutnya, Kiai Sihah juga seorang ulama dari pesantren Tambak Beras.
Kecerdasannya sudah terlihat sejak ia usia remaja. Ia kerap dipercaya ayahnya sebagai guru pengganti untuk mengajar santri-santri yang usianya lebih tua darinya.
“Pada usia 13 tahun K.H. Hasyim Asy’ari sudah menjadi guru badal (guru pengganti) yang mangajar terhadap teman-teman santri yang usianya jauh di atasnya. Dalam usia 15 tahun, dia mulai mengembara ke berbagai pesantren di Jawa untuk mencari ilmu pengetahuan agama,” ungkap Ahmad Zubaidi dari UIN Jakarta dalam KH Hasyim Asy’ari Pengabdian Seorang Kyai Untuk Negeri.
Perjalanan intelektualnya dimulai dari pesantren-ke pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), Pesantren Kademangan (Bangkalan) dan Pesantren Siwalan (Sidoarjo).
“Dia tinggal selama lima tahun di pesantren Siwalan Panji Sidoarjo, dan diambil menantu oleh pengasuh pesantren karena mertuanya sangat terkesan dengan kecerdasan K.H. Hasyim Asy’ari,” tutur Ahmad Zubaidi.
Ahmad menjelaskan perjalanan intelektual KH Hasyim Asy’ari ke tanah suci dilakukan dua kali, tahun 1891 dan 1893. Kedatangannya pertama hanya sebentar, tujuh bulan sementara perjalanannya yang kedua cukup lama mencapai tujuh tahun.
Adapun guru-gurunya selama di tanah suci ialah Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At-Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As-Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi.
Puncak perjalanan intelektualnya ialah berdirinya Pesantren Tebuireng di Jombang pada tahun 1899. Sebuah pesantren yang menjadi basis pendidikan Islam terbesar di Jawa Timur sejak awal abad 20.
Kiprah perjuangannya dimulai dengan mendukung berdirinya Komite Hijaz, cikal bakal berdirinya NU. Sebuah gerakan yang diinisiasi oleh KH Wahab Hasbullah.
“Maka pada tanggal 31 Januari 1926 disepakati para ulama dibentuk jamiyyah Nahdlatul
Ulama,” ujar Ahmad Zubaidi.
Pengaruhnya yang besar membuatnya sangat ditakuti oleh para penjajah. Pada masa Belanda, ia pernah diberi gelar kehormattan hingga harta berlimpah yang semua ditolaknya.
“Ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya,” ungkap Ahmad Zubaidi.
Bahkan penolakan itu diikuti dengan sikap anti kolonialismenya yang tegas. Hal ini terlihat dari keluarnya dua fatwa, Perang melawan Belanda adalah perang suci dan haram hukumnya naik kapal Belanda.
“Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas,” ucap Ahmad Zubaidi.
“Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya,” jelasnya.
Sikap anti kolonialismenya terus berlanjut pada masa Jepang, tolak ritual seikerei. Ia pun ditahan selama empat bulan lamanya dan bebas pada 18 Agustus 1942.
KH Hasyim Asy’ari juga berjasa dalam bidang militer, ia pencetus terbentuknya laskar perjuangan, Hizbullah. Ia juga ulama yang membakar semangat perjuangan umat Islam melalui Resolusi Jihad, 22 Oktober 1945.
Pengaruhnya dalam barisan perjuangan terus ada hingga akhir hayatnya. Ia wafat pada 7 Ramadhan 1366H/ 25 Juli 1947, ketika para pejuang kemerdekaan berjuang melawan Agresi Militer I Belanda.
Haji Hasan Gipo
Haji Hasan Gipo merupakan satu dari dua saudagar muslim Surabaya yang terlibat dalam pendirian NU. Ia masuk dalam jajaran Komite Hijaz bersama dengan KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah.
Ia sosok ulama dengan kompetensi yang dinilai layak sebagai Ketua Tanfidziyah NU. Pendidikan pesantren dan sekolah umum membuatnya menguasai ilmu agama dan umum.
“(Ia) merupakan sedikit dari orang-orang NU saat itu yang menguasai baca tulis huruf latin maupun pengetahuan umum lainnya, karena itulah akhirnya ia dipilih sebagai Ketua Tanfidziah pertama,” ujar Safrizal Rambe dalam Sang Penggerak Nahdlatul Ulama.
Hasan Gipo merupakan keturunan Arab, Saqifuddin. Lidah Jawa membuatnya lebih akrab disapa Sagipodin
“Hasan Gipo berasal dari keluarga saudagar santri keturunan dari Abdul Latif Sagipoddin (eyang buyut) yang bila dilihat dari silsilah keturunannya masih merupakan kerabat dari Sunan Ampel,” ungkap Safrizal.
Kedekatan Hasan Gipo dengan para kiai dan ulama berawal dari kedekatannya dengan KH Wahab Hasbullah. Seorang ulama yang banyak merintis gerakan Islam di Surabaya, salah satunya Taswirul Afkar.
Hasan Gipo merupakan salah satu tokoh yang aktif dalam gerakan Taswirul Afkar. Ia juga memiliki pergaulan yang luas dengan banyak tokoh pergerakan di Surabaya, seperti HOS Tjokroaminoto.
“Dialah yang mengenalkan Kyai Wahab dengan pemimpin Syarikat Islam, HOS. Tjokroaminoto, Dr. Soetomo dan lain-lain,” tutur Safrizal.
Hasan Gipo merupakan saudagar muslim dengan jejaring internasional yang tinggal di kawasan elit, Ampel, Surabaya. Tidak jauh dari pusat bisnis di Pabean, Surabaya.
“Usahanya maju dengan mengembangkan jaringan bisnis yang luas; toko kelontong, penyewaan toko, pergudangan dan penginapan dan bahkan menjadi importir beras dari Thailand dan tekstil dari India,” ujar Safrizal.
Hasan Gipo pun dikenal sebagai saudagar muslim yang dermawan. Banyak pesantren, masjid dan kaum dhuafa yang ia tolong.
Amanah sebagai Ketum Tanfidziah tetap dijabatnya hingga Muktamar ke-3 di Surabaya, 28-30 September 1928 (23-25 Rabiul Tsani 1347 H). Ia juga satu dari tiga orang yang diamanahi untuk mengurus legalitas NU.
Posisinya sebagai Ketum Tanfidziah berakhir dalam Muktamar ke-4 di Semarang, pada 17-20 September 1929 bertepatan dengan tanggal 12-15 Rabiul Tsani 1348 H. Saat itu jabatan Ketum Tanfidziah diamanahkan kepada KH Achmad Noor.
Tokoh NU yang satu ini lahir pada tahun 1869 dan wafat pada tahun 1934. Jenazahnya dimakamkan di Kompleks Pemakaman Sunan Ampel, Surabaya.
Penulis: Kukuh Subekti