“Permoelaannja seadanja saja. Djika terpaksa, boleh tiada memakai medja dan bangkoe seperti sekolah biasa. Tetapi moelaillah, dan commite djangan bosen-bosen, sehingga petjat nyawanja dari pada badannja. Orang haroes mengingat bahwa tanah Hindia berteriak menangis minta pengadjaran agama Islam. Djika orang poera-poera tidak mendengar tangisnja, berdosa besar lah kita ini.”
(Al-manak Muhammadiyah Tahun 1927-1928)
ISLAMTODAY ID— Sekulerisasi pendidikan era kolonial beserta dampak buruknya mengundang keprihatinan sejumlah pihak. Upaya penyelamatan anak-anak bangsa pun dilakukan, salah satunya oleh Muhammadiyah Cabang Solo dan Keraton Mangkunegaran.
Sikap Muhammadiyah terhadap dunia pendidikan telah terlihat sejak pendirian Muhammadiyah. Pendirian sekolah-sekolah Muhammadiyah di Yogyakarta terus dilakukan oleh KH Ahmad Dahlan.
Keraton Mangkunegaran, melalui KGPPA Mangkunegara VII bahkan menyatakan komitmennya terhadap dunia pendidikan. Komitmennya itu disampaikan dalam pidatonya pada 21 Februari 1917.
Dukungan Mangkunegaran terhadap pendidikan ditandai dengan pemberian sebidang tanah beserta dana subsidi. Tanah wakaf untuk pendidikan Islam itu berlokasi di sebelah utara Masjid Al-Wustho, .
Keberadaan sekolah Muhammadiyah Mangkunegaran tidak lepas dari organisasi Sidiq Tabligh Amanah Fathanah (SATV). Sebuah organisasi yang menjadi cikal bakal berdirinya Muhammadiyah Solo.
Sekolah rintisan SATV, HIS Muhammadiyah Mangkunegaran berdiri pada tahun 1920. Awalnya sekolah tersebut bernama HIS Met Al-Qur’an.
Masa belajar di HIS Muhammadiyah Mangkunegaran itu berlangsung hingga tujuh tahun lamanya. Hingga tahun 1929, sekolah ini telah meluluskan kurang lebih 220 siswa.
Kurikulum pembelajaran sekolah Muhammadiyah sangat lengkap, dari pelajaran agama hingga bahasa Belanda. Pada tahun 1930, sekolah ini telah menarik banyak kalangan baik dari rakyat biasa maupun bangsawan.
Perkembangan inilah yang membuat HIS Met Al-Qur’an itu merubah namanya menjadi HIS Muhammadiyah pada tahun 1935.
Perubahan nama sekolah menjadi HIS Muhammadiyah menjadikan rakyat semakin percaya dan yakin. Alhasil sekolah mulai mempertimbangkan untuk pembangunan gedung sekolah yang baru.
Situasi ini pun diketahui oleh KGPPA Mangkunegara VII. Pada tahun 1941, Mangkunegaran mewakafkan tanahnya seluas 2000meter persegi.
Jejak dakwah Muhammadiyah dan Mangkunegaran itu hingga kini masih berdiri institusi pendidikan yang bernama SD Muhammadiyah 1 Ketelan dan SMA Muhammadiyah 1 Surakarta.
Situasi sosial-keagamaan di Kota Solo pada awal abad ke-20 sangatlah memprihatinkan. Menurut sejumlah ilmuwan ada lima faktor yang sangat mendesak pada masa itu.
Pertama, tidak bersihnya kehidupan agama Islam. Kedua, lembaga pendidikan Islam berjalan tidak efisien. Ketiga, aktivitas misi Katolik dan Protestan semakin gencar. Keempat, sikap acuh kaum intelegensia (priyayi) terhadap agama Islam dan kelima, keterbelakngan umat Islam akibat penjajahan.
Berdasarkan Berita Tahunan Moehammadijah Hindia Timoer Tjabang Soerakarta Tahoen 1930 maka sekolah Muhammadiyah Cabang Solo tersebar di sejumlah daerah di Solo, Klaten, Boyolali, Kedunggubel dan Sragen.
Berikut nama sekolah Muhammadiyah Cabang Solo: HIS Muhammadiyah Mangkunegaran (1920), HIS Muhammadiyah Kauman (1925), Schakelschool Boedjanegaran, Standaardschool Mangkoenegaran, Standaardschool Kampungsewoe, Standaardschool Teloekan, Standaardschool Sampangan. Normaal School untuk guru bantu laki-laki, Cursus Goeroe Desa, Sekolah Desa Kedunggudel dan Sekolah Desa Padjang.
Penulis: Kukuh Subekti