ISLAMTODAY ID— Dukungan ulama membuat Bung Karno dan Bung Hatta yakin untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 9 Ramadan 1364 Hijriyah yang bertepatan dengan 17 Agustus 1945. Para ulama juga menjadi pendukung utama hari-hari setelah kemerdekaan.
Hal ini terbukti dengan dukungan dari para ulama dan tokoh Islam diantaranya Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah), Mr. Kasman Singodimejo (Muhamamdiyah), KH. Wahid Hasyim (NU), Teuku Mohammad Hasan, hingga KH. Yusuf Tauzirie.
Sehari pasca proklamasi kemerdekaan, tepatnya hari Sabtu tanggal 10 Ramadan 1364 H bertepatan dengan 18 Agustus 1945, Panitia Persiapa Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan musyawarah. PPKI menunjuk lima orang untuk merumuskan Pancasila dan UUD 1945.
Dari lima tokoh tersebut tiga diantaranya adalah ulama yang berasal dari Jawa, Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah), Mr. Kasman Singodimejo (Muhamamdiyah), KH. Wahid Hasyim (NU) sementara dua tokoh lainnya berasal dari Sumatera, Teuku Muhammad Hasan dan Mohammad Hatta.
Berikut ini profil singkat empat ulama perumus Ideologi Pancasila dan UUD 1945:
- Ki Bagus Hadikusumo
Ki Bagus Hadikusumo merupakan Ketua Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah sejak tahun 1942 hingga 1953. Kiprahnya di Muhammadiyah dimulai dari Majelis Tabligh (1922), dan Ketua Majelis Tarjih (1926).
Sebelum kemerdekaan ia bersama Bung Karno dan Bung Hatta diundang ke Tokio oleh Kaisar Jepang, Tenno Heika. Tepat pada 16 November 1943, mendapatkan bintang kehormatan masing-masing Bintang Kun Nito Zuiho-Sho Ratna Suci Kelas Dua (Bung Karno) dan Bintang Kun Santo Zuiho-Sho Ratna Suci Kelas Tiga (Ki Bagus Hadikusumo dan Bung Hatta).
Ki Bagus merupakan ulama kelahiran Kauman, Yogyakarta pada 24 November 1890.
Kiprahnya di dunia perundang-undangan dimulai sejak ia bergabung dalam Komisi Dewan Imam atau Priesterraden Commissie. Salah satu tujuannya ialah memperbaiki sistem peradilan di Nusantara.
Namun sayangnya, hasil kerja kerasnya untuk memperbaiki sistem peradilan Islam itu justru dihapus oleh pemerintah kolonial. Keputusan sewenang-wenang pemerintah kolonial adalah penerapan hukum adat dan penghapusan hukum Islam pada tahun 1931.
Ia juga tokoh yang aktif berpolitik, Ki Bagus Hadikusumo pernah bergabung dalam Partai Islam Indonesia (PII) hingga Masyumi. Selain itu ia juga tokoh yang aktif di organisasi para ulama yang diketuai oleh KH Wahid Hasyim, MIAI.
Kesibukannya sebagai pejuang tetap membuatnya menjadi ulama yang produktif menulis. Ia tercatat pernah menerbitkan sejumlah karya yang berjudul Islam sebagai Dasar Negara dan Akhlak Pemimpin, 2) Risalah Katresnan Djati (1 935), 3) Poestaka Hadi (1936), 4) Poetaka Islam (1940), 5) Poestaka Ichsan (1941), dan 6) Poestaka Iman (1954).
- KH Abdul Wahid Hasyim
KH Wahid Hasyim adalah ulama paling muda dibanding tim perumus Pancasila yang lain. Ia lahir di Jombang pada 1 Juni 1914, dan wafat pada 19 April 1953.
Sebagai putera KH Hasyim Asy’ari, pendidikannya full dari pesantren. Pesantren-pesantren tersebut terdiri atas Pesantren Tebuireng Jombang, Pesantren Siwalan, Panji Sidoarjo, Pesantren Lirboyo Kediri dan Makkah.
Ia termasuk ulama yang memiliki jenjang karir cukup banyak pada masa prakemerdekaan. Ia pernah menjadi Ketua Madjlis Islam A’la Indonesia (MIAI), Ketua Jawatan Agama Pusat (Sumubucho) pada tahun 1362-1364H/ 1942-1945, Ketua Masyumi (bukan partai) pada tahun 1362-1364H/ 1943-1945 M dan anggota BPUPKI pada tahun 1364 H/ 1945.
Pada masa perang kemerdekaan ia merupakan Pimpinan Lasykar Hizbullah bersama Panglima Santri KH Zainul Arifin Pohan. Ia bahkan menjadi penasihat militer Panglima Besar Soedirman.
Ia sebenarnya merupakan orang pertama yang ditunjuk oleh Bung Karno sebagai Menteri Agama (Menag), sebelum akhirnya HM Rasyidi dilantik sebagai Menag pertama RI pada 3 Januari 1946.
Pada bidang pendidikan ia termasuk salah satu tokoh penggagas berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di bawah Kemenag. Termasuk juga penggagas berdirinya Sekolah Tinggi Islam atau UII sekarang.
Kiprahnya di NU diantaranya sebagai pendiri Partai Nahdlatul Ulama pada tahun 1372 H bertepatan dengan 1952 M dalam Muktamar NU di Palembang.
- Kasman Singodimejo
Mr. Kasman Singodimejo merupakan tokoh Muhammadiyah yang pada era prakemerdekaan pernah menjadi Komaandan Batalyon Tentara Pembela Tanah Air (PETA) Jakarta.
Jauh sebelum itu, Mr. Kasman Singodimejo adalah aktivis Jong Islamieten Bond (JIB) Cabang Jakarta. Melalui JIB inilah ia bisa berkomunikasi intens dengan sejumlah tokoh seperti Haji Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, Muhammad Natir, Mohammad Roem, hingga Joesoef Wibisono.
Pada era kemerdekaan tokoh kelahiran Purworejo, 25 Februari 1904 ini adalah Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Sebagai aktivis Muhammadiyah ia dan Ki Bagus Hadikusumo sangat dekat, terutama sejak keduanya terjun di PII dan berlanjut ke Masyumi.
Mr. Kasman Singodimejo adalah sosok yang berhasil melunakkan hati Ki Bagus Hadikusumo untuk menghapus tujuh kata hasil Piagam Djakarta, kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Pengakuan ini ditulis langsung oleh Mr. Kasman Singodimejo sebagaimana dikutip oleh Prof. Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya Api Sejarah II:
“Kyai, kemarin proklamasi kemerdekaan Indonesia telah terjadi. Hari ini harus cepat-cepat ditetapkan Undang-undang Dasar sebagai dasar kita bernegara dan masih banyak yang harus ditetapkan siapa presiden dan lain sebagainya untuk melancarkan perputaran roda pemerintahan. Kalau bangsa Indonesia, terutama pemimpin-pemimpinnya cekcok, lantas bagaimana?”
Salah satu alasan utama Ki Bagus Hadikusumo mau menerima usulan penghapusan tujuh kata adalah bahwa itu bersifat sementara. UUD akan disempurnakan enam bulan kemudian, meskipun hingga Ki Bagus Hadiksumo wafat dan pembentukan Dewan Konstituante hal itu tak terwujud.
Majunya Mr. Kasman Singodimejo untuk membujuk dan meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo setelah Bung Hatta, Teuku Mohammad Hasan dan juga KH. Wahid Hasyim mengalami jalan buntu.
Tokoh yang wafat di Jakarta pada 25 Oktober 1982 ini juga memiliki sejumlah karya diantaranya O, Ana kku (1959), Renung an dari Tah anan (1967), dan Rente bukan Riba (1972).
- Teuku Muhammad Hasan
Teuku Muhammad Hasan merupakan tokoh Islam asal Aceh, saat itu ia ditetapkan sebagai perwakilan umat Islam di Sumatera. Terutama dalam keanggotaannya di PPKI.
Kiprahnya dibidang pemerintahan gubernur Sumatera ia juga Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada tahun 1948.
Ia tokoh Islam asal Aceh kelahiran Sigli, 4 April 1906, lulusan dari Sekolah Tinggi Hukum atau Rechtschoogeschool lulus tahun 1933.
Dunia perjuangan diikutinya sejak kuliah di Leiden, Belanda saat itu ia bergabung dengan Perhimpunan Indonesia bersama dengan Hatta.
Pada era sebelum kemerdekaan, setelah pulang dari Belanda, Teuku Hasan ke Aceh, pun mendirikan Perkumpulan Usaha Sama Akan Kemajuan Anak (PUSAKA).
Prof. Mansur menyangsikan Indonesia berhasil merumuskan ideologi, konstitusi dan hal-hal penting tentang ketatanegaraan dalam waktu singkat. Semuanya bisa berjalan dengan tepat dan cepat di tengah situasi darurat berkat dukungan ulama.
“Mungkinkah tanpa persetujuan ulama, antara lain Wahid Hasyim- Nahdlatul Ulama, Ki Bagus Hadikusumo dan Mr. Kasman Singodimejo dari Persyarikatan Muhamamdiyah, dan Teuku Muhammad Hasan dari perwakilan Umat Islam Sumatera, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mampu mengesahkan ideologi Pancasila, konstitusi Undang-undang Dasar 1945, pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden serta penentua batas wilayah dan penetapan delapan provinsi negara Republik Indonesia dalam waktu persidangan yang relative sangat pendek?” ungkap Prof. Mansur.
Penulis: Kukuh Subekti