(IslamToday.id) — “Kita pantas berusaha agar Negara Bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat bisa sintas (‘survive’) hingga tetap eksis sampai kiamat” Daoed Joesof (Studi Strategi, 2014).
Sebuah kutipan dari buku yang ditulis Daoed Joesoef berjudul Studi Strategi yang diterbitkan Kompas pada tahun 2014, mengupas terkait bagaimana ancaman Negara bangsa tak hanya pada permasalahaan internal namun yang jauh mengkhawatirkan adalah permasalahan eksternal dengan ‘Negara Bangsa’ lain. Saat ini keadaan ekonomi, politik dan sosial di setiap negara bangsa sedang mengalami sebuah perang yang tak mampu terhentikan, perdagangan pasar bebas kaum kapitalis yang dikatakan oleh Cobden yang dikutip di buku Teori–Teori Hubungan Internasional Scott Burchill merupakan “bentuk keharmonisan dan perdamaian global,” namun, sistem perdagangan bebas/kapitalisme telah menunjukan watak aslinya yang saling membunuh bukan untuk kedua belah pihak, negara saja namun juga negara bangsa, yang memiliki kerjasama dengan negara itu, saat ini perang dagang China dan Amerika telah mencapai titik terpanasnya dengan menaikkan pajak barang import dan eksport kedua belah negara, dan ini berdampak kepada Proyek Ambisius China, BRI (Belt and Road Initiative) yang diikuti oleh banyak negara bangsa di Asia, Afrika dan Eropa menyebabkan Hutang yang membengkak di negara-negara yang mengikuti kerjasama proyek ini.
Tidak ada definisi yang disepakati untuk apa yang memenuhi syarat sebagai proyek BRI (Belt and Road Initiative). Hal inilah yang menimbulkan problema yang terjadi di negara-negara berkembang. Ada sekitar 70 negara yang berpartisipasi dalam BRI, menurut media pemerintah Cina. Namun, ada proyek-proyek yang didanai China di negara-negara non-peserta yang memiliki banyak karakteristik yang sama. BRI secara resmi diluncurkan pada November 2013, tetapi proyek yang dimulai bertahun-tahun sebelumnya sering kali dihitung. Spanduk BRI tergantung pada daftar kegiatan yang luas dan terus berkembang. Ada ‘fashion show’ BRI, konser, dan bahkan pameran seni. Secara desain, BRI lebih merupakan merek yang longgar daripada program dengan kriteria yang ketat.
Pemerintah baru Malaysia dibawah Perdana Menteri Mahathir Muhammad membatalkan proyek jaringan pipa gas alam senilai $3 miliar dollar dan merundingkan kembali proyek kereta api cepat pada tahun 2019, untuk memotong biaya sebesar sepertiga menjadi $11 miliar dollar. Sementara itu, para pemimpin baru di Maladewa mencari keringanan utang. Myanmar secara drastis mengurangi kesepakatan proyek pelabuhan yang dibuat di bawah rezim militer sebelumnya, menjadi $1,3 miliar dari nilai $7,5 miliar dollar. Ambisi China telah menjadi masalah yang dibahas dalam pemilu di beberapa negara. Pemerintahan Trump telah berupaya memanfaatkan keraguan itu, dengan Wakil Presiden AS, Mike Pence mengatakan kepada negara-negara Asia Tenggara bahwa AS tidak akan “menawarkan sabuk penghalang atau jalan satu arah.” (Cambridge Globalist)
Negara-negara penerima bantuan cenderung memiliki peringkat kredit yang buruk, sehingga ketika pemerintah China menawarkan kredit murah kepada mereka, mereka ingin menerimanya. Namun ini dapat menyebabkan negara-negara dengan peringkat kredit yang buruk memiliki tingkat hutang yang sangat tinggi. Dalam kasus Sri Lanka, terbebani oleh hutang berarti mereka terpaksa menyerahkan pelabuhan laut dalam mereka ke China dalam perjanjian penghapusan hutang, dan hal ini menyebabkan negara-negara lain akan melihatnya sebagai alasan untuk bersikap khawatir.
Belajar dari Afrika
Meskipun China meminjamkan $95,5 miliar di benua itu antara tahun 2000 dan 2015, para peneliti di China Africa Research Initiative menemukan sebagian besar dari pinjaman ini dihabiskan untuk mengatasi kesenjangan infrastruktur Afrika. Sekitar 40% pinjaman China dibayarkan untuk proyek pembangkit listrik, dan 30% lainnya melanjutkan memodernisasi infrastruktur transportasi. Pinjaman berada pada tingkat bunga yang relatif rendah dan dengan periode pembayaran yang panjang.
“Risiko bagi peminjam Afrika terkait dengan profitabilitas proyek,” kata Direktur China Africa Research Initiative, Cari Deborah Bräutigam. “Apakah mereka dapat menghasilkan kegiatan ekonomi yang cukup melalui proyek-proyek ini untuk membayar kembali pinjaman ini? Atau apakah proyek lebih dilihat sebagai peluang pemotongan pita? Pemerintahan Tiongkok percaya bahwa pelabuhan dan zona ekonomi khusus adalah alat pengembangan ‘win-win’. Itulah yang mereka lakukan di Afrika pada tahap awal perkembangan mereka.”(Guardian)
Oleh karena itu, disini terdapat kekhawatiran tentang pinjaman ini. Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Pengembangan Global menemukan Djibouti berada di antara delapan negara Belt dan Road Initiative (BRI) yang secara signifikan atau dikategorikan sangat rentan terhadap kesulitan hutang dari pinjaman – dengan angka-angka IMF menunjukkan utang luar negeri publik membengkak dari 50% menjadi 85% dari PDB dalam dua tahun. Sebelum kunjungannya ke Afrika pada bulan Maret, mantan Menteri Luar Negeri AS, Rex Tillerson menuduh Cina melakukan praktik pinjaman yang curang; Hal ini juga diutarakan Hillary Clinton saat menjabat menteri luar negeri, dimana ia memperingatkan “kolonialisme baru” Tiongkok.
Negara-negara di Asia saat ini sudah semestinya mengkaji ulang terkait bagaimana perjanjian BRI antara China dengan negara-negara di Asia, dan itu haruslah saling menguntungkan, namun bila melihat dampak buruk yang dirasakan oleh Afrika, kita patut khawatir bahwa benar BRI China adalah bentuk metode neo-kolonialisme model baru yang dibalut dengan dalil perdamaian dan perdagangan.
Penulis: R. Syeh Adni
Editor: Tori Nuariza