(IslamToday ID) – Presiden Xi Jinping menegaskan bahwa China tidak takut perang dan tidak akan membiarkan kedaulatan, keamanan, dan kepentingan nasionalnya dirongrong negara manapun.
Hal itu diungkapkan Xi dalam sebuah pidato memperingati 70 tahun pasukan China ikut berperang dalam perang Korea, Jumat (23/10/2020) di Aula Besar Rakyat di Beijing.
Menurut Xi, setiap tindakan unilateralisme, monopoli, dan intimidasi tidak akan berhasil dan hanya akan mengarah pada jalan buntu.
“Biarkan dunia tahu bahwa rakyat China sekarang terorganisir dan tidak boleh dianggap enteng,” kata Xi, mengutip Mao Zedong, bapak pendiri Republik Rakyat China (RRC).
Xi tidak secara langsung menunjuk Amerika Serikat (AS), yang hubungannya dengan China telah tenggelam ke level terendah dalam beberapa dekade karena meningkatnya perselisihan.
Dua kekuatan dunia itu telah bertikai karena berbagai masalah, mulai dari perdagangan, persaingan teknologi dan keamanan, hingga hak asasi manusia (HAM) dan virus corona. Sikap keras Presiden AS Donald Trump terhadap China telah menjadi “amunisi” kampanyenya untuk memenangkan pemilihan presiden AS pada 3 November mendatang.
“70 Tahun lalu, penjajah imperialis menembaki pintu depan China,” kata Xi seperti dikutip oleh surat kabar South China Morning Post (SCMP).
“Rakyat China mengerti bahwa Anda harus menggunakan bahasa yang dapat dimengerti para penjajah, untuk berperang menghentikan invasi dengan kekuatan, meraih perdamaian dan keamanan melalui kemenangan. Orang-orang China tidak akan membuat masalah, tetapi kami tidak takut. Semua tantangan akan kami hadapi. Kaki kami tidak akan gemetar dan punggung kami tidak akan membungkuk.”
Xi juga menekankan perlunya modernisasi pertahanan dan angkatan bersenjata negara untuk menciptakan militer kelas dunia. “Tanpa tentara yang kuat, tidak akan ada ibu pertiwi yang kuat,” katanya.
Ketegangan dengan AS
Pasukan China menyeberangi Sungai Yalu, yang merupakan perbatasan China dengan Korea Utara, pada Oktober 1950 untuk membantu Pyongyang dalam perangnya melawan pasukan pimpinan AS dan Korea Selatan, yang telah dimulai beberapa bulan sebelumnya.
Menekankan pentingnya geopolitik Korea Utara, Mao berkata, “Jika bibir hilang, gigi akan menjadi dingin.” Republik Rakyat China baru berdiri setahun sebelumnya.
Lebih dari 2 juta tentara China dikerahkan, tetapi perang berakhir dengan gencatan senjata pada tahun 1953. Tidak adanya perjanjian damai berarti semenanjung itu tetap dalam kondisi berperang.
“Setelah pertempuran yang sulit, pasukan China dan Korea Utara, bersenjata lengkap, mengalahkan lawan mereka, menghancurkan mitos tentang tak terkalahkannya militer AS, dan memaksa penjajah untuk menandatangani perjanjian gencatan senjata pada 27 Juli 1953,” kata Xi.
Awal pekan ini, AS menyetujui potensi penjualan sistem senjata ke Taiwan dengan total 1,8 miliar dolar AS, membuat China marah. China menganggap Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya dan jika diperlukan akan mengerahkan kekuatan militer untuk mengambil kendali atas pulau itu.
Tekanan terhadap Taiwan semakin meningkat sejak Presiden Tsai Ing-Wen berkuasa pada 2016. Washington tidak memiliki hubungan diplomatik formal dengan Taiwan, tetapi diharuskan oleh hukum untuk menyediakan negara itu sarana untuk mempertahankan diri. [wip]