ISLAMTODAY ID- Perebutan Afghanistan oleh Taliban secara cepat mengejutkan dunia.
Krisis politik di Afghanistan semakin memanas setelah mantan Presidennya kabur dengan membawa uang.
Sementara itu, potensi sumber daya alam Afghanistan menjadi hal lain yang diperbincangkan dunia.
Sementara itu, pada 2010, pejabat militer dan ahli geologi AS mengungkap bahwa Afghanistan memiliki cadangan mineral senilai hampir USD1 triliun.
Cadangan mineral tersebut berupa besi, tembaga, emas, dan mineral tanah jarang yang tersebar di seluruh provinsi.
Salah satu kekayaan alam Afghanistan yang utama adalah cadangan lithium terbesar di dunia.
Untuk diketahui, lithium adalah komponen penting baterai dan teknologi lain yang saat ini masih langka.
“Afghanistan merupakan salah satu wilayah yang kaya akan logam mulia konvensional, dan juga logam yang dibutuhkan untuk ekonomi abad ke-21,” ujar ilmuwan dan pakar keamanan pendiri Ecological Futures Group Rod Schoonover, seperti dilansir dari
CNN, Kamis (19/8) .
Namun, karena berbagai keterbatasan faktor membuat Afghanistan sulit memanfaatkannya.
Berdasarkan laporan dari US Congressional Research Service periode Juni 2021, pada 2020, diperkirakan ada 90 persen orang Afghanistan hidup di bawah tingkat kemiskinan yakni di bawah pendapatan per kapita sebesar USD2 per hari.
Bahkan, Bank Dunia mengatakan bahwa ekonomi Afghanistan masih dibentuk oleh kerapuhan dan ketergantungan bantuan.
“Pengembangan dan diversifikasi sektor swasta dibatasi oleh ketidakamanan, ketidakstabilan politik, institusi yang lemah, infrastruktur yang tidak memadai, korupsi yang meluas, dan lingkungan bisnis yang sulit,” tulis Bank Dunia pada Maret 2021 lalu.
Sementara itu, negara-negara mulai beralih ke mobil listrik atau teknologi bersih lainnya untuk memangkas emisis gas karbon.
Hal ini menimbulkan kesempatan bagi Afghanistan untuk memanfaatkan kekayaan alamnya.Saat ini, tiga negara penyumbang terbesar mineral tersebut adalah China, Kongo, dan Australia.
Tiga negara itu berkontribusi sekitar 75 persen dari produksi global lithium, kobalt, dan tanah jarang.
Pemerintah AS memperkirakan cadangan lithium di Afghanistan bisa menyaingi Bolivia, yang merupakan pemilik terbesar cadangan lithium di dunia.
“Jika Afghanistan dalam beberapa tahun tenang, mungkin terjadi pengembangan sumber daya mineralnya. Hal itu bisa membuat Afghanistan menjadi salah satu negara terkaya di kawasan itu dalam satu dekade,” ujar Mirzad dari Survei Geologi AS kepada majalah Science pada 2010.
Sayangnya, kedamaian itu tidak pernah terjadi di Afghanistan, sehingga sebagian besar kekayaan mineralnya tetap berada di dalam tanah.
Beberapa ekstraksi mineral yang terjadi pun masih terbatas.
IEA memperkirakan eksploitasi litium dan mineral tanah jarang membutuhkan investasi, pengetahuan teknis, dan waktu yang jauh lebih besar.
Selain itu, dibutuhkan rata-rata 16 tahun dari penemuan cadangan untuk sebuah tambang memulai produksi.
Saat ini, mineral Afghanistan hanya menghasilkan USD1 miliar per tahun.
Dari jumlah tersebut, sebesar 30 persen hingga 40 persen dikorupsi, termasuk diduga oleh panglima perang dan Taliban, yang memimpin proyek pertambangan kecil.
Namun, Rod Schoonover mengatakan ada kemungkinan Taliban menggunakan kekuatan barunya untuk mengembangkan sektor pertambangan.
Peluang China
Di sisi lain, Rod Schoonover menyinggung peluang China terhadap potensi mineral di Afghanistan.
Pasalnya, China merupakan pemimpin pada penambangan tanah jarang.
Pada awal pekan, China mengatakan pihaknya mempertahankan kontak dan komunikasi dengan Taliban.
“China, sebagai negara tetangga, sedang memulai program pengembangan energi hijau yang sangat signifikan,” ungkap Schoonover.
“Lithium dan tanah jarang sejauh ini tak tergantikan karena kepadatan dan sifat fisiknya. Mineral itu menjadi faktor dalam rencana jangka panjang mereka (China),” imbuhnya.
Namun, Schoonover mengatakan jika China turun tangan akan ada kekhawatiran tentang keberlanjutan proyek pertambangan mengingat rekam jejak China.
“Bila penambangan tidak dilakukan dengan hati-hati, itu dapat merusak ekologis, yang merugikan segmen tertentu dari populasi,” ujarnya.
Namun, Mitra RK Equity Howard Klein punya pandangan beda.
Menurutnya, China akan mendahulukan negara lain ketimbang Afghanistan untuk pengembangan sumber mineral.
Mengingat, kondisi politik yang tidak stabil saat ini.
(Resa/CNN Indonesia)