ISLAMTODAY — Dalam sebuah artikel, ‘The long game’, yang diterbitkan di New Age pada 12 Februari 2021, menyebut ‘China tampaknya tidak berminat untuk melepaskan klaim teritorial atas Laut China Selatan, Laut China Timur, dan Taiwan.”
Begitupula dengan Amerika Serikat (AS) yang tidak ingin memberikan kebebasan kepada China atas konflik di kawasan sekutunya itu.
Meskipun pada kenyataannya negara-negara di kawasan itu tidak memiliki kapasitas untuk menantang China secara politik atau militer.
Melihat situasi ini tak mengherankan bila negara-negara di kawasan tersebut menjadikan AS sebagai sekutunya dan sebagai pemimpin untuk mempertahankan negaranya.
Situasi yang sedang berlangsung hari ini akan menjadi permainan politik-militer yang panjang dalam aspek perebutan kekuasaan antar dua kekuatan besar AS dan China
Deklarasi AUKUS Demi Lawan China
Deklarasi AUKUS Australia, Inggris, dan AS, sebagai kemitraan keamanan diputuskan 15 hari setelah Amerika Serikat dan Inggris meninggalkan Afghanistan, yang menjadikan keputusan ini menjadi bagian dari ‘permainan panjang’ ini.
Tidak ada yang disembunyikan dalam deklarasi bahwa Pakta AUKUS adalah untuk melawan China.
Komitmen awal, seperti diungkapkan, adalah penjualan delapan kapal selam bertenaga nuklir ke Australia. Kapal pertama mungkin tersedia antara tahun 2035 dan 2040.
Kapal selam itu akan dipersenjatai dengan rudal jelajah yang membawa hulu ledak konvensional.
Propulsi nuklir akan memberi angkatan laut Australia keunggulan siluman dan daya tahan sekitar 80 hari di bawah air dibandingkan dengan kapal selam yang tidak bertenaga nuklir yang hanya dapat bertahan 11 hari saja.
Dengan adanya 8 kapal selam bertenaga nuklir milik Australia ini menjadikan negara-negara yang berseteru dengan China ini memiliki persenjataan laut yang lebih lengkap dibanding China.
Hal itu karena saat ini kapal selam serangan bertenaga nuklir yang ada di kubu AS ada 79 kapal — AS, dengan 68 kapal, dan Inggris, dengan 11.
Dalam pertimbangan permainan jumlah, persenjataan dan teknologi, angkatan laut AS sendiri memiliki keunggulan bila dibanding China.
Mengapa Australia Gabung AUKUS?
Pengaruh China yang semakin besar atas negara-negara kepulauan di Pasifik Selatan menjadi perhatian Australia.
Pertumbuhan kekuatan ekonomi China telah membentuk kembali keberpihakan politik di Pasifik Selatan.
China sebagai sumber rantai pasokan global, kekuatan ekonomi, dan Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative) yang memiliki dana triliunan dolar telah menjadi pusat perhatian politik global khususnya AS dan sekutunya.
Jika pengaruh ekonomi China semakin dalam terhadap negara-negara di Pasifik Selatan, opsi apa yang akan dilakukan Australia untuk melawan?.
Dengan keunggulan telak yang dimiliki China atas Australia akhirnya menyebabkan negara ini berlindung dan siap menjadi pembantu setia bagi AS.
Meski pada kenyataannya banyak kerugian yang akan dihadapi oleh Australia, karena negara itu bergantung pada ekspor ke China yang sangat membantu perdagangan negara itu.
Meninjau Keterkaitan Geopolitik dengan Geoekonomi AUKUS
Pencapaian politik langsung dari deklarasi AUKUS adalah mengalihkan fokus dari kegagalan di Afghanistan ke Indo-Pasifik.
Karena kekalahan AS di Afghanistan menciptakan reaksi negatif dari sekutu AS dan memunculkan ketidakpercayaan atas kekuatan AS saat ini.
Namun ketiga negara tidak meninjau adanya dampak ekonomi langsung dari pakta ini yang akhirnya membuat Australia batalkan kontrak senilai $65 miliar dari French Naval Group yang ditandatangani pada tahun 2016.
Prancis menanggapi dengan marah menyebut kesepakatan itu ‘tikaman dari belakang’ dan memanggil duta besarnya untuk Inggris dan Amerika Serikat.
Geopolitik memiliki keterkaitan yang tidak terpisahkan dengan Geoekonomi.
Tidak disebutkan kapal selam mana yang akan dibangun di Australia.
Sebuah kapal selam bertenaga nuklir akan menelan biaya beberapa miliar dolar.
“Menurut US Congressional Research Service, Blok IV kelas Virginia terbaru [dibangun di AS] menelan biaya sekitar A$4,4 miliar. Kantor Audit Nasional Inggris memberi harga kapal kelas Astute [dibuat di Inggris] seharga A$2,6 miliar.’
Tambahkan biaya pengembangan/modifikasi halaman, senjata, fasilitas perbaikan, pelatihan, dan sebagainya.
Kemitraan keamanan tidak akan tetap terbatas pada kapal selam tetapi dapat mencakup mempersenjatai kembali alutista darat dan modernisasi kekuatan udara untuk memastikan efisiensi di bawah strategi AS di Pasifik Selatan.
Menurut Reuters pada 21 September 2021, “Australia juga akan meningkatkan kemampuan serangan jarak jauhnya dengan rudal jelajah Tomahawk yang dikerahkan pada kapal perusak angkatan laut dan rudal udara-ke-permukaan untuk F/A-18 Hornet dan F-35A Lightning.”
Jet II yang dapat mencapai target pada jarak 900 km (559 mil). Rudal Anti-Kapal Jarak Jauh akan dikerahkan pada jet F/A-18F Super Hornet, sementara peluru kendali pemogokan presisi yang mampu menghancurkan target dari jarak lebih dari 400 km direncanakan untuk pasukan daratnya.
Australia juga akan berkolaborasi dengan Amerika Serikat untuk mengembangkan rudal hipersonik di bawah kesepakatan keamanan trilateral ini.
Secara terpisah, Departemen Luar Negeri AS menyetujui pada bulan Juni potensi penjualan 29 helikopter serang Boeing Co AH-64E Apache ke Australia dalam kesepakatan senilai hingga $3,5 miliar.’
Sekali lagi, perusahaan pertahanan AS akan menjadi penerima manfaat utama dari bisnis triliunan dolar di bawah payung kemitraan keamanan ini.
Australia mungkin harus berebut sumber daya dengan semua negara saat mengetahui secara nyata mengetahui maksud dan tujuan dari geopolitik dan geoekonomi AUKUS.
Akan menarik untuk ditonton akankah Australia tersedot ke dalam persaingan senjata nuklir dengan ketergantungan pada AS dan Inggris, yang nantinya melibatkan pengeluaran militer terus menerus hingga merugikan negara. (Rasya)