ISLAMTODAY — Bagi negara-negara berkembang di Asia Tenggara, meningkatnya minat global terhadap kebutuhan infrastruktur bagi negara-negara di kawasan ini telah menimbulkan kegembiraan dan kekhawatiran.
Pada tahun 2021, G7 mengumumkan dukungan untuk inisiatif ‘Build Back Better World’ (B3W) yang dipimpin AS, sementara Uni Eropa meluncurkan strategi infrastruktur Eropa yang Terhubung Secara Global.
Inisiatif-inisiatif ini bertujuan untuk mengatasi kesenjangan infrastruktur senilai US$40 triliun di negara-negara berkembang.
Namun juga meningkatkan kekhawatiran geopolitik akibat persaingan startegi infastruktur Barat dengan Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) China.
Tentunya hal yang tidak diinginkan negara-negara di Asia Tenggara adalah terjebak dalam konflik geopolitik atas pilihan kerjasama investasi.
Tetapi negara-negara penerima memiliki lebih banyak keuntungan dibanding ketakutan akan inisiatif-inisiatif ini daripada ditakuti.
Inisiatif baru Barat dapat melengkapi penawaran BRI China dan mendorong Beijing untuk mengatasi kekurangan dari proyek kerjasama infrastrukturnya.
Di atas segalanya, alternatif kerjasama ini menawarkan lebih banyak ruang politik bagi negara-negara di Asia Tenggara untuk memilih jalur yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan posisi geopolitik mereka.
Siapa Lebih Kuat B3W Atau BRI?
Ada banyak perdebatan apakah B3W dapat bersaing dengan BRI, terutama dalam masalah pembiayaan.
Beijing hingga saat ini telah menghabiskan lebih dari US$700 miliar untuk kontrak dan investasi di negara-negara penerima antara tahun 2014 hingga November 2020.
Dengan sebagian besar investasi ini berasal dari bank negara yaitu China Development Bank.
Sebagai perbandingan, Washington dan sekutunya tidak mampu menyaingi dan mengumpulkan dana yang sama dengan China.
Selain itu Fokus China yang meningkat pada kesehatan dan konektivitas digital di bawah BRI menawarkan keuntungan yang berbeda dengan B3W milik Barat.
Namun B3W juga memiliki keunggulannya sendiri meski masih berada dibelakang BRI
Misalnya B3W tengah mengumpulkan modal swasta dan pendanaan multilateral sehingga akan mendapat dana segar yang melimpah dan tentunya terjamin.
Mengingat pengeluaran pembangunan luar negeri China yang melalui bank pusat negara terus turun sejak 2016 sehingga tidak dapat menjembatani kesenjangan infrastruktur negara berkembang.
Meskipun masih harus dilihat apakah Amerika Serikat akan berhasil dalam memobilisasi modal swasta, kehadiran modal swasta dapat mendorong lebih banyak negara untuk bergabung.
Selain itu proyek kerjasama BRI China terus di sorot dunia karena kegagalan-kegagalannya.
Misalnya di Malaysia, proyek Melaka Gateway senilai US$10,5 miliar yang seharusnya menciptakan tujuan wisata dan pelabuhan yang ramai, akhirnya dibatalkan pada November 2020.
Masalah serupa juga melanda Pelabuhan Hambantota Sri Lanka.
Pelabuhan itu akhirnya sangat kurang dimanfaatkan dan terpaksa disewakan Sri Lanka ke China setelah Sri Lanka dipaksa untuk menegosiasikan kembali utangnya.
Dengan kejadian-kejadian ini tentunya banyak negara di asia tenggara akan lebih berhati-hati atas proyek kerjasama mereka dengan China.
Serta tak menutup kemungkinan akan beralih ke strategi inisiatif barat yaitu B3W.
Pada akhirnya, Asia Tenggara akan mendapat manfaat dari penambahan aktor baru ke ruang infrastrukturnya.
Meskipun akan ada ketegangan, pilihan yang lebih beragam akan memungkinkan pemerintah untuk menggunakan diplomasi yang fleksibel guna mendorong pembangunan mereka sambil mengamankan kedaulatan mereka. (Rasya)