ISLAMTODAY — Sebagian besar pengamat luar negeri terkejut dengan eskalasi perubahan diplomatik antara Turki dan Barat.
Saat Senin lalu Presiden Erdogan mengumumkan bahwa 10 duta besar Barat akan dinyatakan tidak lagi diterima oleh Turki atau lebih tepatnya di usir.
Hal itu karena 10 negara ini bersama-sama merilis pernyataan yang menuntut agar otoritas pemerintahan Turki membebaskan seorang pengusaha yang dipenjara dan menjadi “tahanan politik”.
Barat mungkin telah memperkirakan bagaimana Presiden Turki akan bereaksi terhadap provokasi semacam itu tetapi nyatannya respon Erdogan sangat berlainan dengan harapan mereka.
Sehingga kedutaan 10 negara itu tiba-tiba mengambil langkah mundur dengan mengeluarkan pernyataan yang menegaskan kembali kebijakan resmi mereka bahwa mereka tidak ikut campur dalam urusan internal negara Turki.
Sebagai tanggapan, Presiden Erdogan mengatakan bahwa masalah itu telah diselesaikan, setidaknya untuk saat ini kecuali mereka memutuskan untuk campur tangan secara diplomatis sekali lagi.
Perkembangan ini menunjukkan bahwa Barat mungkin meremehkan tekad Presiden Erdogan untuk menanggapi provokasi mereka.
Mereka mungkin berpikir bahwa dia tidak akan mengambil risiko krisis habis-habisan dengan Barat namun nyatanya Erdogan malah mengancam dan siap berseteru secara langsung dengan mengusir 10 duta besar negara-negara Barat.
Ini menyiratkan bahwa badan intelijen Barat tidak memiliki pemahaman yang kuat tentang Erdogan dan jiwa kepemimpinannya di Turki.
Secara khusus, dengan keberanian yang dilakukan Erdogan ini malah lebih mengancam bagi Barat khususnya Eropa.
Turki bisa saja berpotensi menolak untuk menampung migran Afghanistan dan migran lainnya bila ini terjadi maka Uni Eropa akan mengalami masalah migran yang berat.
Strategi Penyeimbangan Dalam Politik Luar Negeri Turki
Bagaimanapun, Turki bercita-cita untuk mempraktekkan strategi “penyeimbangan” yang sangat kompleks di tengah guncangan geopolitik global yang sedang berlangsung saat ini.
Erdogan dengan baik memanfaatkan posisi geostrategisnya untuk secara komprehensif mengatur kemitraan asingnya dengan tujuan menghindari ketergantungan yang tidak proporsional pada salah satu dari mereka.
Dalam praktiknya, ini berarti bahwa Erdogan tidak serta merta akan mengusir mitra Baratnya sehingga diaturlah lobby dan kerjasama yang saling menguntungkan satu sama lain.
Karena strategi “penyeimbangan” Turki akan menjadi tidak seimbang bila secara tiba-tiba menghilangkan komponen Baratnya dan dengan demikia Turki secara tidak proporsional akan bergantung dengan Rusia dan China.
Dari perspektif Barat, beberapa diplomat mereka mungkin takut apabila mereka kehilangan Turki sebagai mitranya.
Lantaran mereka memikirkan kepentingan strategis jangka panjang dimana putusnya hubungan dengan Turki maka mereka kehilangan sebagian besar pengaruh atas negara-negara di Asia Barat.
Sehingga akan terjadi perluasan pengaruh Rusia dan Cina di sana di masa mendatang seperti yang ditakuti oleh AS dan NATO.
Untuk alasan pragmatisme sederhana ini, para diplomat yang relatif lebih berpikiran waras telah memaksa para pembuat keputusan untuk mundur melakukan tindakan provokatif terhadap Turki untuk sementara waktu guna menghindari skenario itu.
Sebenarnya tindakan provokatif Barat itu adalah langkah untuk menentang kebijakan luar negeri Turki yang semakin independen yang menimbulkan ancaman laten bagi kepentingan mereka.
Tren umum hari ini juga adalah Barat semakin memusuhi Turki.
Terbukti dengan insiden diplomatik terbaru, dimana AS memprovokasi krisis besar-besaran dalam hubungan bilateral-nya dengan Turki karena pembelian sistem rudal S-400 milik Rusia yang dibeli Turki.
Kepercayaan antara Turki dan Barat berada pada titik terendah dimasa modern ini.
Turki dan Barat dengan demikian dapat digambarkan sebagai “musuh” dalam arti bahwa mereka adalah saingan yang sengit namun juga memahami kebutuhan untuk secara pragmatis mencegah ketegangan semakin buruk. (Rasya)