ISLAMTODAY ID – Negara-negara Teluk yang kaya minyak, yang menderita akibat penurunan harga minyak sejak 2014, kata para ahli, tampaknya semakin enggan untuk segera mengambil tindakan karena mereka mendapat keuntungan dari lonjakan harga jangka pendek.
Invasi Rusia ke Ukraina telah membuat harga energi melonjak, tetapi monarki Teluk yang kaya minyak sejauh ini menolak tekanan Barat untuk meningkatkan produksi, dengan memprioritaskan kepentingan strategis dan ekonomi mereka sendiri.
Harga satu barel minyak mentah West Texas Intermediate mencapai USD 115 pada hari Kamis (3/3), tertinggi sejak tahun 2008, karena perang dan sanksi terhadap Moskow memicu kekhawatiran tentang pasokan global.
Untuk diketahui, Rusia adalah pengekspor minyak mentah terbesar kedua di dunia setelah Arab Saudi, yang dekat dengan pemerintah Barat dan Moskow.
Organisasi Negara Pengekspor Minyak dan sekutunya (OPEC+), yang dipimpin oleh Riyadh dan Moskow, pada Rabu (2/3) gagal menanggapi seruan untuk memproduksi lebih banyak dan lebih cepat, meskipun ada tekanan pada negara-negara Teluk pada khususnya.
Kelompok tersebut berpendapat bahwa “volatilitas saat ini tidak disebabkan oleh perubahan fundamental pasar tetapi oleh perkembangan geopolitik saat ini,” menurut siaran pers.
“Negara-negara Teluk sedang menguji kemampuan mereka untuk memiliki otonomi strategis, untuk membela kepentingan nasional mereka sendiri,” ungkap Hasan Alhasan, seorang spesialis Timur Tengah di Institut Internasional untuk Studi Strategis kepada kantor berita AFP.
Negara-negara Teluk, yang telah mengalami penurunan harga minyak sejak tahun 2014, sekarang tampak semakin enggan untuk mengambil tindakan segera karena mereka mendapat keuntungan dari lonjakan harga jangka pendek.
Jika barel tetap di atas USD 100, ini berarti bahwa tidak satu pun dari enam negara Dewan Kerjasama Teluk akan menghadapi defisit anggaran pada tahun 2022, tulis peneliti Karen Young dari Institut Negara Teluk Arab yang berbasis di Washington.
Stabilitas Harga Minyak ‘Penting’ bagi Arab Saudi
Amena Baker, seorang analis Energy Intelligence, mengatakan bahwa menurut OPEC+ “tidak ada kekurangan fisik minyak mentah di pasar.
“Dampak sanksi Barat terhadap ekspor hidrokarbon Rusia masih belum diketahui,” katanya kepada AFP.
Baker mengatakan hanya dua negara OPEC+ yang benar-benar dapat membuka pintu air adalah Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, tetapi bahkan mereka tidak akan mampu menebus ekspor Rusia.
“Secara keseluruhan perhitungan kami menempatkan kapasitas cadangan OPEC+ pada 2,5 juta barel per hari dan itu jauh lebih kecil dari yang diekspor Rusia… Ekspor Rusia mendekati 4,8 juta barel per hari,” ungkapnya, seperti dilansir dari TRTWorld, Jumat (4/3).
Namun, negara-negara produsen menyadari bahwa harga tinggi berisiko menekan ekonomi global dan mempercepat transisi energi dari bahan bakar fosil, pada saat pemulihan pasca-Covid yang rapuh.
“Yang paling penting bagi Arab Saudi adalah stabilitas harga minyak,” ungkap Alhasan, yang menambahkan bahwa kerajaan mengandalkan kerja sama Rusia dalam hal ini.
Terakhir kali Arab Saudi dan Rusia bentrok soal kuota produksi, itu menyebabkan perang harga dan jatuhnya harga, kenangnya.
Baker setuju bahwa “menjaga Rusia sebagai bagian dari OPEC+ juga dipandang sangat penting oleh negara-negara anggota … Itulah satu-satunya cara untuk memastikan alat pengelolaan pasar yang efektif di tahun-tahun mendatang.”
Negara Teluk: ‘Ini Bukan Perang Kita’
Badan Energi Internasional mengumumkan pada hari Selasa (2/3) bahwa negara-negara anggota akan melepaskan 60 juta barel minyak dari cadangan strategis mereka untuk menstabilkan pasar global.
Setengah, 30 juta barel, akan dirilis oleh Amerika Serikat.
Alhasan mengatakan tekanan yang diberikan Amerika Serikat pada mitra dekatnya di Teluk telah “terbatas” sejauh ini, menambahkan bahwa “kita akan melihat apakah tekanan akan meningkat dalam beberapa hari mendatang”.
Menurut analis, “Negara-negara Teluk telah mengatakan: ‘Ini bukan perang kami.’ Omong-omong, pesan yang sangat mirip dengan yang secara konsisten dikirim oleh AS ke negara-negara Teluk di Yaman … selama beberapa tahun terakhir.”
Arab Saudi dan UEA –– mitra diplomatik dan militer dekat Amerika Serikat–– telah melakukan intervensi di Yaman sejak 2015 untuk mendukung pasukan pemerintah melawan pemberontak Houthi, yang didukung oleh Iran.
Riyadh dan Abu Dhabi ingin meningkatkan dukungan dari Washington melawan pemberontak, tetapi AS enggan terlibat lebih jauh dalam konflik di mana semua pihak telah dituduh melakukan kejahatan perang.
UEA menampung pasukan AS dan telah menjadi mitra strategis Washington selama beberapa dekade, tetapi hubungannya dengan Rusia juga telah berkembang.
Dalam perannya saat ini sebagai pemegang kursi kepresidenan bergilir Dewan Keamanan PBB, UEA Jumat lalu abstain dari pemungutan suara pada rancangan resolusi AS-Albania yang mengutuk invasi Rusia ke Ukraina.
Hubungan AS-UEA sekarang menghadapi “ujian stres”, ungkap Yousef al Otaiba, duta besar Emirat untuk AS, tetapi ia menyuarakan keyakinan bahwa “kami akan keluar dari situ dan kami akan mencapai tempat yang lebih baik”.
(Resa/TRTWorld)