(IslamToday ID)— Pada KTT NATO minggu lalu, para anggotanya mengeluarkan pernyataan akhir yang mengkritik kebijakan koersif China, yang menurut mereka menantang kepentingan, keamanan, dan nilai-nilai blok tersebut.
Beijing bereaksi keras terhadap pernyataan itu. China menuduh NATO berbohong tentang China dan memperingatkan dunia tentang upaya NATO melebarkan pengaruhnya di Asia-Pasifik.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Wang Wenbin mengatakan dengan gamblang, bahwa:
“NATO harus meninggalkan mentalitas Perang Dingin yang sudah ketinggalan zaman dan pola pikir zero-sum, meninggalkan kepercayaan buta pada kekuatan militer dan praktik sesat dalam mencari keamanan mutlak, menghentikan upaya berbahaya untuk menggoyahkan Eropa dan Asia-Pasifik”
Kebijakan-kebijakan Bermusuhan NATO yang Dipimpin Amerika Serikat (AS) Terhadap China
Reaksi keras China mencerminkan keprihatinan seriusnya atas tantangan global yang dihadapi. Ini termasuk:
- Pertumbuhan jaringan aliansi pimpinan AS dan kemitraan keamanan, seperti Quad dan AUKUS, yang bertujuan untuk membatasi gerak China
- Kebijakan AS dan Uni Eropa untuk menghilangkan risiko dan mendiversifikasi rantai pasokan mereka untuk mengurangi ketergantungan mereka pada China
- Peraturan kontrol ekspor yang lebih ketat yang telah diberlakukan AS pada transfer atau pertukaran teknologi tinggi dengan China, khususnya terkait produksi semikonduktor guna memperlambat kemajuan China dalam komputasi kuantum dan kecerdasan buatan.
Strategi China Sebagai Tanggapan
Analis mempertanyakan apakah Beijing cukup cerdas dan sabar untuk dapat menerapkan strategi melawan AS dan sekutunya.
Namun, nyatanya saat ini China telah mengadopsi diplomasi yang lebih proaktif dan percaya diri untuk melawan AS dan sekutunya. Setidaknya empat taktik terkait perubahan kebijakan luar negeri China ini.
1) China berfokus pada kawasan dan bersandar pada kekuatannya
Beijing menyadari bahwa ia harus memfokuskan energi diplomatiknya di Asia mengingat kepentingannya bagi keamanan dan kepentingan ekonomi China.
Ini memperdalam hubungan ekonominya dengan ASEAN, blok regional 10 negara, sambil juga mendukung sentralitas ASEAN dalam struktur keamanan kawasan.
Kelompok Asia Tenggara ini tentunya waspada terseret ke dalam konflik AS-China dan dipaksa untuk memilih pihak. Ini juga mengkhawatirkan prakarsa yang dipimpin AS seperti Quad dapat mengurangi perannya di wilayah tersebut.
Pada saat yang sama, Tiongkok aktif dalam mempromosikan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional yang disponsori ASEAN.
China percaya kelompok ini menawarkan pendekatan yang lebih inklusif dan kooperatif untuk kerja sama ekonomi regional.
2) Beijing meningkatkan upaya diplomatiknya dengan Eropa
Sejak mencabut pembatasan Covid-nya, Beijing telah menyambut para pemimpin dunia, menjadi tuan rumah kelompok bisnis, dan mempromosikan peluang perdagangan dan investasi di China.
Eropa, khususnya, telah menjadi fokus diplomasi Beijing baru-baru ini. Perjalanan internasional besar pertama Perdana Menteri Li Qiang sejak menjabat adalah ke Jerman dan Prancis bulan lalu, di mana ia menekankan peluang ekonomi atas perbedaan geopolitik, kemitraan atas persaingan.
Para pemimpin Eropa seperti Presiden Prancis Emmanuel Macron, Perdana Menteri Spanyol Pedro Sánchez, dan Kanselir Jerman Olaf Scholz juga telah menjadi figur penting dalam upaya China ini.
3) China berdiri dengan Rusia – untuk saat ini
Dari pasokan energi hingga kerja sama teknologi militer, Rusia tetap menjadi mitra strategis penting bagi China.
China juga tidak ingin berurusan dengan potensi ancaman dari Rusia, mengingat perbatasan mereka yang panjang.
Beijing dengan hati-hati, menampilkan dirinya sebagai pengamat netral dalam konflik tersebut, tertarik untuk mengakhirinya.
China juga memanfaatkan posisi genting Rusia dengan memperluas dan mengkonsolidasikan pengaruhnya di Asia Tengah, sambil tetap menghormati ikatan tradisional Rusia dengan wilayah tersebut.
4) China mempromosikan dirinya sebagai pemimpin global
Terakhir, China menjadi lebih percaya diri dan aktif dalam mempromosikan model tata kelola globalnya dalam keamanan, pembangunan, dan pembangunan komunitas.
Beberapa upaya masih dalam tahap pengembangan, seperti Global Security Initiative, sementara yang lain lebih konkret.
Misalnya, Beijing melihat dirinya sebagai mediator global setelah keberhasilannya menengahi gencatan senjata antara Arab Saudi dan Iran pada bulan Maret.
Beijing juga terus mempromosikan institusi multilateral pilihannya, mulai dari Organisasi Kerjasama Shanghai hingga kelompok BRICS, yang saat ini mencakup China, Brasil, Rusia, Afrika Selatan, dan India.
Bersama dengan Belt and Road Initiative yang ambisius, China yakin dapat menawarkan alternatif untuk pengelompokan yang dipimpin AS seperti Quad.
Dengan mengandalkan institusi dengan cara ini, China dapat mempromosikan kepentingannya secara global sambil menghindari konfrontasi langsung dengan AS. [sya]