(IslamToday ID)— Kementerian Luar Negeri Moskow mengatakan bahwa kesepakatan tentang tidak menargetkan senjata nuklir antara Rusia, Amerika Serikat (AS), dan Inggris setelah Perang Dingin ternyata tidak diikat secara hukum.
Meski begitu, Moskow tetap mengikuti prinsip bahwa perang nuklir sebaiknya tidak pernah terjadi.
Dalam pernyataannya pada Jumat (11/8/2023), kementerian tersebut mengakui bahwa situasi keamanan internasional sedang buruk, terutama karena konflik di Ukraina yang membuat hubungan Rusia dan Barat memanas.
Ada juga desakan untuk menghentikan kesepakatan yang sudah ada dengan AS dan Inggris tentang tidak menargetkan senjata nuklir.
Pernyataan tersebut merujuk pada perjanjian tahun 1994 di Moskow antara mantan Presiden AS, Bill Clinton, dan Presiden Rusia saat itu, Boris Yeltsin.
Perjanjian itu menyatakan bahwa kedua negara tersebut tidak akan menganggap satu sama lain sebagai lawan dalam hal senjata nuklir.
Namun, perjanjian ini ternyata lebih bersifat politik dan tidak ada kewajiban hukum untuk melaksanakannya.
Meski begitu, Rusia tetap memiliki senjata nuklir sebagai bentuk pertahanan terhadap negara atau koalisi militer yang memiliki kemampuan ofensif nuklir atau konvensional yang besar.
Namun, Rusia juga menegaskan bahwa mereka ingin menghindari perang nuklir, dan ini juga diakui oleh negara-negara lain dengan senjata nuklir seperti AS, Prancis, Inggris, dan China.
Pada tahun 2022, setelah konflik Ukraina dimulai, Presiden Rusia, Vladimir Putin, memerintahkan pasukan nuklir untuk siaga tempur.
Putin juga memutuskan untuk menghentikan perjanjian NEW START tahun 2010 dengan AS, yang membatasi jumlah senjata nuklir yang bisa dimiliki kedua negara.
Meski begitu, Putin menegaskan bahwa Rusia akan tetap mengikuti batasan tersebut.
Walaupun ada beberapa perubahan dalam hubungan antara Rusia dan Barat, NATO dan AS mengatakan bahwa tidak ada perubahan yang signifikan dalam sikap nuklir Rusia.(res)