JAKARTA, (IslamToday ID) – Kenaikan iuran BPJS yang sudah diteken
Presiden Jokowi sebesar 100 persen mendapat penolakan dari Konfederasi Serikat
Pekerja Indonesia (KSPI). Kenaikan tersebut dinilai semakin menurunkan daya
beli masyarakat.
Presiden KSPI, Said Iqbal menilai, pendapatan yang diterima
masyarakat di tiap kabupaten/kota berbeda-beda (termasuk nilai UMP/UMK
berbeda). Hal ini mengakibatkan daya beli terhadap kenaikan iuran tersebut juga
berbeda-beda.
“Misal iuran BPJS Kesehatan kelas 3 menjadi Rp 42.000
dikalikan 5 orang anggota keluarga; suami, istri, dan tiga anak. Maka
pengeluaran bayar iuran setiap keluarga di seluruh Indonesia adalah sama yaitu
Rp 210.000,” kata Iqbal, Kamis (31/10/2019).
Ia merasa bagi
masyarakat Jakarta yang berpenghasilan sebesar upah minimum Rp 3,9 juta saja
masih berat dalam menyikapi kenaikan iuran BPJS. Dengan kenaikan UMP 2020 yang
tak memuaskan, ia merasa daya beli masyarakat akan semakin turun.
“Bagi masyarakat di daerah seperti Sragen, Jogja, Boyolali,
Halmahera, Pacitan, Banjarnegara, Subang, Papua, Mamuju, yang upah minimum dan
penghasilan masyarakatnya di bawah Rp 2 Juta, maka bayar iuran BPJS Rp 210.000
per keluarga tadi akan sangat berat. Bahkan menurunkan daya beli mereka sebesar
30 persen,” jelasnya.
Iqbal merasa iuran
BPJS Kesehatan sepatutnya tidak dinaikkan. Apalagi bagi kaum buruh setiap tahun
iuran BPJS Kesehatannya pasti naik, karena nilai iuran dihitung dari persentase upah yang diterima. Faktanya setiap tahun upah buruh naik maka
otomatis iuran BPJS juga naik.
Iqbal menegaskan akan ada gelombang demonstrasi besar dari
masyarakat dan buruh untuk menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut,
khususnya kelas 3.
“Solusi defisit dana
BPJS Kesehatan seharusnya bukan menaikan iuran, tetapi dengan cara menaikan
jumlah peserta pekerja formal. Karena iuran mereka setiap tahun otomatis naik.
Saat ini jumlah pekerja formal yang menjadi peserta BPJS Kesehatan hanya 30 persen dari total pekerja formal yang ada,” paparnya.
Selain itu, untuk menutup defisit dengan mengambil dari dana cukai rokok yang berjumlah ratusan triliun rupiah. Hal yang lain adalah menaikkan jumlah peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran) orang miskin dengan nilai iuran PBI dinaikkan menjadi nilai keekonomian.
Sementara itu, Kepala Humas BPJS Kesehatan, M Iqbal Anas Ma’ruf menilai besaran kenaikan iuran BPJS sesuai Perpres No 75/2019 masih cukup terjangkau. Jumlah itu dinilai tidaklah besar dibandingkan dengan manfaat yang akan didapat dari jaminan kesehatan sosial tersebut.
“Besaran iuran yang akan disesuaikan tidaklah besar apabila dibandingkan dengan besarnya manfaat yang diberikan Program JKN-Kartu Indonesia Sehat (KIS) ketika ada peserta yang sakit atau membutuhkan layanan kesehatan,” katanya.
Dengan besaran iuran paling kecil Rp 42.000, yaitu besaran premi untuk peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) kelas III, peserta BPJS sudah mendapatkan layanan kesehatan seperti cuci darah seumur hidup, kemoterapi untuk kanker, dan berbagai operasi lainnya.
Ia menambahkan, untuk buruh dan pemberi kerja, penyesuaian iuran hanya berdampak pada pekerja dengan upah di atas Rp 8 juta sampai dengan Rp 12 juta. Artinya, pekerja dengan upah di bawah nominal tersebut tidak terkena dampak kenaikan atau membayar dengan besaran tarif yang sama seperti sebelumnya. (wip)
Sumber: Republika