JAKARTA, (IslamToday ID) – Ketua Komisi Dakwah MUI, KH Cholil Nafis menyatakan penindasan dan ketidakadilan yang dialami etnis Uighur di China bukan hanya persoalan umat Islam, tapi pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Sehingga siapa pun wajib untuk membelanya.
“Ini bukan persoalan Islam non Islam atau muslim non muslim. Tapi siapapun yang disiksa dan didiskriminasi adalah kewajiban kita untuk membela hak asasi manusia. Artinya manusia berhak untuk hidup damai, aman, dan mendapat perlakuan yang baik,” ungkap Cholil, Kamis (19/12/2019).
Ia juga berharap ada intervensi dari PBB atau organisasi-organisasi kawasan, karena apa yang menimpa muslim Uighur telah melukai rasa kemanusiaan. “Apalagi kalau sampai pemusnahan terhadap etnis atau kelompok, ini sangat bertentangan dengan kemanusiaan, bertentangan dengan asas kemerdekaan, bertentangan dengan kedaulatan kita sebagai negara dan manusia,” ungkap Cholil.
Menurutnya, negara apapun itu tidak boleh melanggar hak asasi manusia. Juga tidak boleh merendahkan orang atau kelompok apapun.
Terkait kemungkinan karena islamophobia, Cholil mengatakan, umat Islam harus memberikan pemahaman yang benar. Harus memberikan edukasi bahwa Islam tidaklah seburuk yang mereka kira. “Kita harus bisa membedakan mana ajaran Islam yang benar dan mana orang yang salah paham terhadap ajaran Islam,” ungkapnya.
“Jadi tidak Islam-nya yang diberangus, tapi meluruskan pemahaman-pemahaman yang salah oleh orang luar terhadap Islam. Kita pun harus menunjukkan ajaran kita, karena masing-masing dari kita adalah duta dari ajaran dan keyakinan kita,” tambah Cholil.
Lebih lanjut ia mengatakan, hadirnya organisasi dunia seperti PBB dan organisasi di kawasan itu sangat penting untuk mengintervensi terciptanya perdamaian dan keadilan. Masing-masing kelompok harus bisa menjaga entitas dan menghormati entitas lain.
“Saya sangat setuju jika radikalisme yang ekstremisme ditangkal atau dilawan. Tapi kemudian jangan sampai karena agamanya sama lalu dianggap teroris atau ekstremis semua,” jelas Cholil.
Menurutnya, agama apapun tidak hanya Islam pasti akan muncul ekstremisme. Itu karena kesalahpahaman terhadap agamanya sendiri.
“Sekali lagi ini soal kemanusiaan. Pemerintah harus memainkan politik luar negerinya yang bebas dan aktif. Di manapun ada penjajahan dan kezaliman wajib untuk memberikan pembelaan. Peran pemerintah dalam hal ini adalah diplomasi dan konsolidasi. Kemudian MUI mengkonsolidasi umat Islam,” jelasnya.
“Jadi ketika umat Islam itu bergerak itu bukan sentimen agama semata, tapi karena panggilan agama yang memerintahkan kita untuk peduli terhadap kezaliman. Menolong orang yang dizalimi,” tambahnya.
Apakah umat Islam boleh berjihad ke Uighur? Menurut Cholil, kita tidak boleh melakukan sesuatu yang melanggar hukum. Ada hukum negara, ada hukum wilayah.
“Persoalan Uighur tidak selesai dengan kita datang ke sana. Di sana ada kekuatan negara, ada kekuatan diplomasi. Maka yang harus kita lakukan adalah dengan pernyataan sikap atau demonstrasi, yang itu sah-sah saja. Kita mendoromg pemerintah Indonesia untuk memainkan politik bebas aktifnya untuk menolong orang lain. Dukungan diplomasi acapkali lebih kuat dari kekuatan militer atau perlawanan fisik,” jelas Cholil.
Ia pun tidak menganjurkan terhadap individu-individu umat Islam untuk berangkat ke Uighur atas nama jihad karena hanya akan mati konyol. “Apa yang kita bisa kita bantu. Atau bisa dengan diplomasi. Di sini kan ada kedutaannya (China),” pungkasnya. (wip)