(IslamToday ID) — Kelapa Sawit membuat Indonesia nampak gagah di mata dunia, produksi sawit Indonesia termasuk yang terbesar mengalahkan Malaysia, Thailand dan Kolombia. Untuk diketahui, produktivitas sawit Indonesia bahkan mencapai 42 juta ton pada tahun 2019. Ada 29 taipan yang menguasai 10,7 juta hektar kebun sawit dari 15,7 juta hektar perkebunan sawit di Indonesia.
Menurut data Kementerian Pertanian, dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang, perkebunan sawit di Indonesia dikelola oleh tiga kelompok. Mereka terbagi dalam tiga kelompok besar yang terdiri dari swasta besar (10,7 juta hektar), perkebunan rakyat (4,4 juta hektar), dan sisanyan di kelola oleh BUMN (493.776 hektar). Lahan tersebut menyebar di 22 provinsi di Indonsia, empat lahan terluas ada di Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat.
Sementara itu lahan sawit mengalami perluasan yang siginifikan sejak tahun 2007-2019 yakni 7,9 juta hektar. Total luas lahan sawit di Indonesia kini mencapai 15,7 juta hektar yang dikuasai oleh 25 grup bisnis milik 29 taipan. Perluasan lahan perkebunan sawit tersebut juga dibarengi dengan adanya konflik lahan, pada periode Jokowi misalnya terdapat 1769 konflik tanah.
Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tahun 2018 menyebutkan ada 144 konflik lahan antara warga dan perusahaan sawit swasta. Dalam data tersebut setidaknya ada 41 orang tewas dari sektor sawit dan tambang. Selain itu ada 546 orang dianiaya, 51 orang ditembak, dan 900 petani didiskriminasi selama penanganan konflik lahan.
Resolusi Parlemen Eropa Tahun 2017
Parlemen Uni Eropa mengeluarkan kebijakan kontroversial yakni pelarangan impor minyak sawit. Kabar ini lantas menjadi ramai dalam perbincangan nasional, banyak media memberitakan hal ini sebagai bentuk diskriminasi Parlemen Eropa terhadap sawit Indonesia. Larangan tersebut keluar dengan alasan perilaku deforestasi Indonesia demi tujuan bisnis sawit semata. Meskipun hal tersebut tidak sepenuhnya keliru namun larangan ini cukup berimbas bagi perekonomian nasional.
Kebijakan larangan impor sawit di Eropa berdampak pada menurunnya ekspor sawit Indonesia. Pada Agustus 2018 misalnya dua bulan setelah kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II pada Juni 2018, ekspor minyak sawit Indonesia turun. Kebijakan ini menyebabkan defisit perdagangan Indonesia berada di titik 3% dari PDB, kondisi ini diperparah dengan nilai tukar rupiah yang melemah di Rp 14.700,00.
Produktivitas minyak sawit Indonesia tahun 2018 mencapai 41,67 juta ton dengan kebutuhan ekspor minyak sawit mencapai 34 juta ton atau setara Rp 270 triliun. Itu artinya jumlah stok minyak sawit Indonesia di tahun itu berlimpah. Sementara harga jual minyak sawit sedang dalam posisi titik terrendah USD 440 per ton.
“Main Mata” Jokowi Dengan Taipan Sawit
Pemerintah akhirnya mengeluarkan sejumlah kebijakan demi menyokong para taipan sawit. Kebijakan Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) No 152 Tahun 2018 agar mampu menjual stok minyak sawit yang ada. Dalam aturan tersebut pemerintah membebaskan pungutan ekspor minyak sawit atau CPO. Pungutan berlaku USD 50 per ton jika harga CPO mencapai USD 619 per ton, namun harga CPO selalu di bawah itu yakni USD 574 per ton dan pungutan ditetapkan USD 25 per ton.
Pembebasan tarif ekspor CPO ini berlaku sepanjang tahun 2019, konon penarikan tarif ekspor CPO akan diberlakukan awal tahun 2020 ini. Penghapusan pungutan tarif ekspor sawit sebetulnya tidak menguntungkan bagi petani sawit. Harga sawit di tangan petani justru turun lebih rendah dibanding tahun sebelumnya, jika pada tahun 2018 harga di level petani sawit mencapai Rp 1800 per kg maka pada tahun 2019 hanya Rp 1.225 per kg.
Selain menghapus tarif ekspor pemerintah juga memberikan kebijakan lain dalam bidang perpajakan. Fakta lain diungkap oleh KPK pada tahun 2016 yang menemukan ada 63 ribu wajib pajak dari sektor sawit bermasalah. Hal ini membuat pendapatan negara mengalami penurunan. Menurut KPK, total penerimaan pajak dari sektor sawit tidak sesuai dengan tingkat perputaran uang di komoditas sawit. Misalnya, tahun 2015 realisasi penerimaan pajak hanya Rp 22,2 triliun sementara setiap harinya perputaran uang di sektor sawit mencapai Rp 1,2 triliun.
Tidak hanya itu pemerintah melalui Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani pada tahun 2017 juga kembali membuat kebijakan yang menguntungkan para pengusaha sawit. Terutama pengusaha sawit yang mengemplang pajak. Kebijakan tersebut terangkum dalam skema besar bernama tax amnesty. Pada tahun 2017 sektor perkebunan pasca dilaksanakan program tax amnesty mampu mengumpulkan pajak senilai Rp 373,05 triliun, meningkat dari tahun sebelumnya Rp 357,14 triliun.
Selain membuat kebijakan fiskal yang berkaitan dengan pajak pemerintah juga melakukan beberapa gebrakan misalnya program B30 yang rencananya dimulai pada bulan Januari 2020 ini. Program ini berarti penggunaan solar atau biodiesel akan dicampur dengan minyak sawit sebanyak 30% dan 70% sisanya menggunakan minyak berbahan fosil. Kebijakan ini dilakukan demi melakukan penghematan pemerintah dalam pembelian BBM, hal ini sudah dilakukan dalam kebijakan B20 yang mampu menyerap minyak sawit hingga 4 juta ton minyak sawit. Konon pilihan menggunakan campuran minyak sawit akan membuat pengeluaran negara hemat Rp 63 triliun.
Hal lain yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mengurangi melimpahnya produk minyak sawit di dalam negeri ialah dengan meminta China untuk membelinya. Tahun 2018, Presiden Jokowi meminta China menambah impor minyak sawitnya sebanyak 500 ribu ton dari 2 juta ton menjadi 2,5 juta ton CPO. Permohonan ini disepakati oleh China dengan ditandatanganinya perjanjian dagang di Nanjing, China pada 11 Juli 2018.
Sukses melobi China dengan minyak sawitnya, Jokowi berhasil membuat kerjasama Indonesia dan China kian akrab terbukti dengan ditandatanganinya beberapa proyek penting di Indonesia. Misalnya kedua negara sepakat menandatangani kerjasama di sektor maritim, pembangunan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Wajar jika kini China menjadi investor terbesar ketiga di Indonesia, setelah Singapura dan Jepang dengan nilai investasi mencapai USD 13,1 miliar.
Meskipun kita menjadi rajanya sawit di dunia, anehnya pemerintah Indonesia justru memperketat pembiayaan di berbagai sektor. Anggaran belanja minyak mentah tahun 2020 dipangkas dan diganti dengan penggunaan minyak sawit. Pemerintah mengeluarkan kebijakan hemat ini dalam program B30. Pemerintah juga mencabut anggaran di bidang kesehatan dengan menaikan iuran BPJS meskipun hal ini terlihat kontras dengan anggaran kesehatan yang justru naik 7,4% menjadi Rp 132,2 triliun. Anggaran subsidi listrik dan gas turun, Rp 54,79 triliun dan Rp 54,4 triliun.
Hal-hal di atas merupakan bukti bahwa pemerintah secara total membantu kelancaran bisnis minyak sawit para pengusaha, mulai dari penghapusan tarif ekspor, pengampuan pajak, bahkan melobi beberapa negara untuk bersedia menambah kuota impor CPO. Selain itu pemerintah juga totalitas melaksanakan tugasnya sebagai penguasa dengan menekan para petani sawit dan rakyat pemilik tanah yang berujung konflik lahan.
Gambaran awamnya pendapatan di sektor sawit termasuk menjanjikan Rp 270 triliun. Belum lagi sektor migas, dan komoditas lainnya semestinya pendapatan hasil ekspor ini lebih dari cukup dan pemerintah hendaknya tidak perlu mencabut subsidi dengan tujuan menghemat anggaran. Alasan apa sebenarnya yang melatarbelakangi pemerintah untuk menghapus ataupun mengurangi sejumlah subsidi tersebut secara bersamaan?
Penulis: Kukuh Subekti
Editor: Tori Nuariza