(IslamToday ID) — Pertandingan adu kuat MUI dan pemerintah dalam memperjuangkan hak dan kewajibannya, akan terlihat dalam penetapan Omnibus Law UU Jaminan Produk Halal (JPH).
Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara perlahan-lahan kehilangan haknya sebagai satu-satunya lembaga yang mengeluarkan sertifikasi halal di Indonesia. Sejak tanggal 6 Januari 1989 MUI sudah membentuk badan otonom yang bernama Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetik MUI (LPPOM MUI). Selama 31 tahun LPPOM menjadi institusi resmi penyelenggara jaminan produk halal bagi masyarakat utamanya umat Islam di Indonesia.
UU JPH Bertentangan Dengan UUD 1945
Undang-undang nomor 33 Tahun 2014 menjadi rentetan panjang hilangnya hak MUI sebagai lembaga penjamin produk halal di Indonesia. Omnibus Law digadang-gadang pemerintah akan mampu menggaet investor asing untuk berinvestasi di Indonesia, kini tengah ramai diperdebatkan. Termasuk UU JPH, yang sejak tahun 2014 sudah menjadi momok tersendiri bagi MUI. Pasalnya legitimasi MUI melalui LPPOM MUI sebagai satu-satunya penjamin produk halal akan dihapus dan diganti dengan hadirnya Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang bekerja di bawah Kementerian Agama (Kemenag).
MUI mengajukan gugatan, uji materi terhadap UU JPH, khususnya pada pasal 5,6, dan 47 ayat 2 serta 3 kepada MK. Gugatan ini terdaftar di MK dengan Nomor Perkara: No. 49 /PUU-XVII/2019. Pasal-pasal UU JPH tersebut diduga menabrak konstitusi 1945.
Adapun yang menjadi poin keberatan MUI sebagaimana disampaikan oleh Kuasa Hukum LPPOM MUI, Ikhsan Abdullah adalah adanya pertentangan antara UU JPH dan Konstitusi UUD 1945,: Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C, Pasal 28E ayat (2), pasal 29 ayat (2) dan alinea keempat UUD Negara Republik Indonesia1945. Pasal 47 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Jaminan Produk Halal bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C, Pasal 28E ayat (2), Pasal 28J ayat (2) da Pasal 29 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia 1945. Pasal 5, Pasal 6, Pasal 47 ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, (KlikLegal.com, 5/9/19).
Berdasarkan UU JPH MUI hanya diberi hak sebagai pemberi fatwa halal. MUI diberi hak untuk menetapkan auditor halal yang nantinya akan menjadi tenaga teknis dari Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) di BPJPH. Sementara LPPOM MUI sebagai permeriksaan dan atau pengujian kehalalan produk.
Polemik UU JPH
UU JPH sudah ada sejak tahun 2004 yang ditandai oleh RUU Jaminan Produk Halal. RUU JPH yang disetujui dalam Rapat Paripurna DPR pada 25 September 2014, kemudian disahkan oleh Presiden SBY pada 17 Oktober 2017. Pada 17 Oktober 2014, UU JPH ini diundang-undangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin sebagai UU No. 33 Tahun 2014.
UU JPH yang terdiri dari 68 pasal ini seyogyanya sudah dilaksanakan pada 17 Oktober 2019. Ironisnya, setelah lima tahun disahkan hingga kini UU JPH ini belum juga terealisasi bahkan pemerintah tidak berniat mengeksekusinya dalam waktu dekat. Ketidakkonsistenan ini membuat pemerintah dinilai melakukan mal-administrasi penerapan UU JPH.
Anggota Ombudsman, Ahmad Suaedy menilai sikap lamban pemerintah dalam melaksanakan UU JPH sebagai tindakan maladministrasi. Dia menyayangkan terbitnya PP No. 31 Tahun 2019 hanya selisih tiga bulan dari waktu pelaksanaan UU JPH pada 17 Oktober 2019. PP No 31 Tahun 2019 mengatur tentang institusi-institusi yang berwenang dalam terbitnya sertifikasi halal.
Keterlambatan ini masih disusul dengan terbitnya Keputusan Menteri Agama No 982 Tentang Pelayanan Sertifikasi Halal pada 12 November 2019. Sikap lamban pemerintah masih berlanjut hingga Januari 2020, BPJPH belum memiliki tenaga auditor halal sebagaimana yang diamanatkan oleh UU JPH.
BPJPH mengklaim telah merekrut 226 auditor halal, yang hingga kini belum memperoleh sertifikasi dari MUI. Jika 226 auditor halal BPJPH ini dinyatakan lulus oleh MUI maka aka nada 70 LPH di seluruh Indonesia. Sementara MUI sendiri sudah memiliki 1.100 auditor halal. Komposisi auditor halal MUI terdiri dari 40%nya bekerja paruh waktu karena sebagai pengajar di kampus dan hanya 60% yang bekerja full time sebagai auditor.
23 Januari 2017 merupakan sidang pertama gugatan perdana terhadap UU No 33 Tahun 2014 dari seorang advokat, Paustinus Siburian saat itu gugatannya ditolak oleh MK. Gugatan berikutnya dilayangkan oleh Indonesian Halal Watch terkait PP No. 31 Tahun 2019.
Omnibus Law ‘Pro Investasi’
Empat dari 50 RUU yang disahkan oleh DPR dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2020 termasuk dalam pasal Omnibus Law. Dalam hal ini ialah Omnibus Law UU Cipta LapanganKerja yang didalamnya membahas tentang UU JPH. UU JPH memicu polemik dalam internal MUI dan Wantim MUI.
Status Kyai Haji Ma’ruf Amin, Ketua MUI non aktif yang kini menjadi wakil presiden tentu membuat suara-suara MUI tidak sepenuhnya terdengar ke publik. Ma’ruf Amin pun cenderung menyepakati adanya Omnibus Law termasuk didalamnya UU JPH. Sebagai bagian dari pemerintah tentu dia akan menyuarakan kepentingan pemerintah. Begitu pula Wakil Ketua MUI, Zainut Tauhid yang kini menjabat sebagai Wakil Menteri Agama.
Presiden Jokowi sejak awal pemerintahan memang gemar mengundang investor asing untuk terlibat dalam proyek pembangunan di tanah air. Selama periode pertama investasi asing cenderung naik dari Rp 78,7 triliun (2014) puncaknya pada tahun 2017 mencapai Rp 112 triliun. Para investor asing itu berasal dari Singapura, Jepang, China, Hongkong, dan Malaysia. (CNBC, 22/10/18).
Pada periode dua ini tentu Presiden Jokowi memiliki hasrat untuk menaikan capaiannya melebihi tahun 2017, di atas Rp 112 triliun. Mengingat salah satu agenda besar Presiden Jokowi ialah membangun ibu kota baru di Penajam, Paser Utara, Kalimantan Timur yang nyata-nyata sudah melibatkan investor dari Uni Emirat Arab dan Jepang.
Terlepas dari agenda besar Presiden Jokowi kita perlu menengok kembali pernyataan Kyai Ma’ruf Amin tentang sertifikasi halal MUI. Secara tegas dia mengatakan bahwa pemberian sertifikasi produk halal merupakan tanggungjawab MUI kepada umat. Tanggungjawab untuk memberikan perlindungan kepada umat tersebut juga mengantarkan MUI sebagai role model dalam sistem jaminan halal dan sertifikasi halal.
Kala itu Kyai Ma’ruf berkata dengan sangat yakin sebagai berikut, “Untuk melakukan sertifikasi produk halal merupakan bentuk tanggung jawab MUI dalam memberikan perlindungan kepada umat atau himayatul ummah,” (Minanews.net, 11/2/16). Dan dua tahun kemudian dia menegaskan kembali betapa hebatnya MUI, “Standar halal Indonesia menjadi global, lebih dari 50 negara meminta sertifikasi halal dari MUI supaya produk mereka diakui dunia, misal Korea,” (Republika, 16/4/18).
Tentu dua pernyataan ini sangat kontras dengan sikapnya ketika dia menjadi seorang wakil presiden Indnesia. KH. Maruf Amin justru mendukung kebijakan Omnibus Law UU JPH. Dia mengatakan jika Omnibus Law akan memperkuat sertifikasi halal. Bukankah polemik tentang pelaksanaan UU JPH, PP No 31 Tahun 2019 dan persiapan menuju sertifikasi halal oleh BPJPH masih belum selesai?.
Ada apa dengan pemerintah? Mengapa sebegitu yakin jika Omnibus Law akan memperkuat sertifikasi halal? Terbatasnya waktu pembahasannya Omnibus Law yang ditetapkan oleh Presiden Jokowi yakni 100 hari kerja. Akankah nasib UU JPH, dan sertifikasi halal lebih kuat atau justru akan melemah?
Tak Boleh Tabrak Konstitusi, “Harus Pro Rakyat”
Sementara itu Ketua Dewan Pertimbangan (Wantim) MUI, Prof Dr. Din Syamsuddin memberikan peringatan keras kepada pemerintah. Din mengingatkan agar Omnibus Law ini tidak menabrak nilai-nilai dasar yang ada dalam UUD 1945. Omnibus Law, menurutnya, harus tetap pada komitmen kesejahteraan dan kemashalatan rakyat.
“Jangan sampai demi investasi dan penyederhanaan, tapi menabrak nilai-nilai dasar yang ada di Undang-Undang Dasar. Kita tidak pada posisi suuzon, menolak, menghalangi, tidak, tapi hanya mengingatkan,” ujarnya, di Kantor MUI, Jakarta, Rabu (22/1), dilansir dari Harian Republika (23/1/2020).
Sembari mengutip penelitian Universitas Padjajaran, Din khawatir jika Omnibus Law nanti menimbulkan masalah baru sebagaimana lahirnya 115 undang-undang lain yang lahir pada era reformasi.
Oleh karena itu, ia mengatakan jihad konstitusi diperlukan melalui judicial review. “Dan sekarang belum ada perbaikan,” tandas mantan Ketum PP Muhamamdiyah ini. Dia menilai dari informasi yang beredar dan dihimpun pihaknya, mulai ada gelagat atau gejala-gejala menabarak ketentuan-ketentuan yang sudah ada. “Dan, tentu masyarakat termasuk umat Islam akan protes nanti jika ada ketentuan-ketentuan yang sudah baku kemudian ditabrak,” jelasnya, mengutip laporan Republika.
Dampak paling mengerikan menurut Din ialah Omnibus Law menjadi pintu masuk bagi para investor asing yang justru mematikan pengusaha lokal. Menurut penjelasan Din, sejumlah kalangan pun menilai Omnibus Law berpeluang memberi karpet merah pada investor asing dan mematikan pengusaha domestik. Apabila ini sampai terjadi, Din menegaskan hal ini jelas keliru. Apalagi jika penerapan Omnibus Law hanya dimanfaatkan segelintir kelompok-kelompok tertentu yang menguasai bisnis dan investasi untuk kepentingan pribadi.
“Bukan untuk rakyat, untuk kepentingan dia sendiri, miliknya sendiri. Ini harus betul-betul dicatat kalau itu terjadi,” tegasnya. Oleh karena itu, Ia sebagai Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusa’t dengan jajarannya akan membahas hal ini dengan sejumlah pakar hukum. “Insyallah akan dibahas lebih luas lagi dengan mengundang ahlinya pada rapat pleno ke-49 pada 12 Februrari,” tukasnya.
Pemerintah juga perlu mempertimbangkan bagaimana perjalanan UU JPH selama lima tahun terakhir. UU JPH gagal terlaksana pada 17 Oktober 2019 karena belum matangnya kesiapan pemerintah. Jumlah auditor halal yang belum terpenuhi, mekanisme tarif yang masih simpang siur, data UMKM yang perlu divalidasi. Itulah serangkain PR yang harus diselesaikan oleh pemerintah kita saat ini.
Penulis Kukuh Subekti
Redaktur: Tori Nuariza