JAKARTA, (IslamToday ID) – Omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja berpotensi besar menghilangkan uang pesangon bagi pekerja. Sebab RUU tersebut menghapus pasal 59 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur durasi pekerja kontrak.
Demikian diungkapkan oleh Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Kahar S Cahyono, Sabtu (15/2/2020). Menurutnya, pasal 59 di RUU Cipta Kerja mengatur bahwa pekerja kontrak hanya bisa diadakan selama dua tahun dengan masa perpanjangan satu tahun. Setelah itu bisa dilakukan pembaruan hanya satu kali untuk jangka waktu paling lama dua tahun.
Jika RUU Cipta Kerja disahkan, lanjutnya, maka perusahaan akan cenderung mempekerjakan buruhnya dengan sistem kontrak kerja. Bahkan seseorang bisa saja menjadi pekerja kontrak seumur hidup lantaran tidak ada kewajiban perusahaan mengangkatnya jadi pekerja tetap.
“Karena menggunakan pekerja kontrak, maka tidak ada lagi pesangon. Karena pesangon hanya diberikan kepada pekerja yang berstatus sebagai karyawan tetap,” kata Kahar.
Dalam draf RUU Cipta Kerja, memang disebutkan bahwa pasal 59 itu dihapus. Hal ini terdapat dalam Bagian Kedua di Bab V tentang Ketenagakerjaan. “Ketentuan pasal 59 dihapus,” demikian bunyi draf tersebut.
DPR secara resmi telah menerima surat presiden (surpres) beserta draf RUU Cipta Kerja pada Rabu (12/2/2020). Ketua DPR Puan Maharani menerima langsung draf tersebut dari Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Airlangga Hartarto di kompleks Parlemen, Senayan.
Sementara, RUU Cipta Kerja juga menghapus sejumlah ketentuan izin dan cuti khusus yang tercantum dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Di antaranya adalah izin saat haid, menikah, dan beribadah.
RUU Cipta Kerja menghapus sejumlah poin dalam pasal 93 UU Ketenagakerjaan. Pertama, menghapus izin atau cuti khusus bagi pekerja perempuan saat haid pada hari pertama dan kedua (tercantum dalam pasal 93 huruf a).
Kedua, RUU itu juga menghapus cuti khusus untuk keperluan menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anak, istri melahirkan atau keguguran kandungan, dan anggota keluarga satu rumah meninggal dunia (huruf b).
Ketiga, menghapus cuti khusus bagi pekerja yang sedang menjalankan kewajiban bagi negara (huruf c). Keempat, menghapus izin atau cuti khusus untuk keperluan menjalankan ibadah yang diperintahkan agama (huruf d).
Kelima, menghapus izin atau cuti khusus bagi pekerja yang melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha (huruf g). Keenam, menghapus izin atau cuti khusus bagi pekerja yang melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan (huruf h).
Penghapusan itu berarti tidak mewajibkan pengusaha membayarkan upah saat pekerjanya berhalangan kerja lantaran enam kondisi itu. RUU yang sebelumnya bernama Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) ini hanya mewajibkan pengusaha membayar upah kepada pekerja yang berhalangan kerja dalam empat kondisi.
Yakni tidak bisa bekerja karena berhalangan, melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya dan telah mendapat persetujuan pengusaha, bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak memperkerjakannya karena kesalahan pengusaha, menjalankan hak istirahat atau cutinya.
KSPI menyesalkan rancangan yang dibuat pemerintah tersebut. Penghapusan cuti haid dinilai mengabaikan perlindungan terhadap pekerja perempuan. “Termasuk mengabaikan hak untuk beribadah yang sudah dijamin oleh konstitusi. Hal ini juga tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, khususnya sila pertama,” pungkas Kahar. (wip)
Sumber: Republika.co.id, Rmol.id