JAKARTA, (IslamToday ID) – Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyoroti kesenjangan ekonomi saat ini yang dinilai lebih buruk dibanding di masa Orde Baru. INDEF juga menganggap program pemerintahan Presiden Jokowi belum berhasil mengatasi masalah kesenjangan ekonomi.
“Banyak program ekonomi pemerintahan Jokowi, tapi bagaimana hasilnya? Hasilnya gini rasio mengalami sedikit penurunan, tetapi tetap lebih jelek dibandingkan pemerintahan pada masa Orde Baru. Ini jika dilihat dari sekadar angka gini rasio pengeluaran keluarga. Bukan pendapatan yang sebenarnya,” kata Ekonom Senior INDEF, Didik J Rachbini, Minggu (16/2/2020).
Menurutnya, kebijakan pemerataan pembangunan yang dilakukan pemerintahan Jokowi hanya bersifat instan, sangat minimal, bahkan bisa dikritik tuna kebijakan pemerintah. Antara lain karena tidak serius dan tidak kuat.
Didik menilai banyak kebijakan bersifat populis, tapi tanpa strategi. Seperti bagi-bagi uang ke desa karena memang itu desakan politik untuk menyenangkan konstituen. “Tidak salah kebijakan itu, tetapi itu kategori kebijakan bermutu rendah,” imbuhnya.
Didik mencontohkan program dana desa, sangat politis sekali untuk membeli suara. Hal itu terlihat dari promosi oleh partai politik tanpa desain jelas.
“Seperti bagi-bagi uang ke konstituen, seperti bermanfaat tapi kurang produktif. Dana desa naik pesat sekali, tapi tetap gini rasio cukup tinggi relatif dibandingkan masa pemerintahan yang lalu,” ujar Didik.
Sementara itu, ekonom lainnya di INDEF, Rusli Abdullah mengungkap, data soal kegagalan dana desa mengatasi kesenjangan ekonomi. Pada periode 2014-2019 (kemiskinan per September), delta pengurangan kemiskinan desa lebih kecil daripada delta kemiskinan kota. “Delta penurunan kemiskinan desa 1,16 persen, sedangkan kota 1,6 persen,” ujar Rusli.
Padahal di desa pada periode 2014-2019 ada program dana desa. Sehingga, menurut Rusli, angka tersebut di atas menjadi entry point untuk menggali lebih lanjut efektifitas dana desa dalam menurunkan angka kemiskinan di desa.
Sedangkan terkait data gini rasio yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), menurut Didik, ada dua kritik yang bisa diajukan terkait klaim pemerintah yang bersumber pada data BPS.
Pertama, angka gini rasio pada saat ini masih jauh lebih tinggi dari masa Orde Baru sehingga penurunan tersebut bukan suatu prestasi khusus. Kedua, angka BPS tersebut hanya bisa dipakai dalam wilayah terbatas semisal ruang akademik, tetapi tidak bisa mengukur masalah kesenjangan nyata di lapangan.
“Alasan data BPS tidak bisa dipakai secara kritis untuk melihat kesenjangan di lapangan karena alat ukur kesenjangan tersebut bukan untuk mengukur kekayaan, tetapi mengukur pengeluaran,” papar Didik.
Didik menambahkan, penting untuk mengganti indikator gini rasio. Sebab meski gini rasio tergolong rendah, tetapi Indonesia bersama Rusia, Thailand, dan India, tergolong sebagai negara yang paling tinggi tingkat kesenjangan ekonominya. (wip)
Sumber: Kumparan.com