(IslamToday ID) — Kedaulatan pangan di Indonesia sepertinya sedang ‘diperkosa’. Berbagai komoditas pangan yang berasal dari luar negeri membanjiri negeri ini. Bahkan, sebagaian besar kebutuhan dapur tiap-tiap rumah tangga telah dijejali komoditas pangan impor.
Sejak tahun 2014, kran impor pangan dibuka sedemikian besar. Alasannya cukup klasik. Menurut hitungan pemerintah, produksi pangan lokal belum mencukupi. Hal ini mengakibatkan harga di pasaran melambung tinggi.
Mekanisme pasar menjadi pertimbangan utama. Kebijakan impor pangan dipilih untuk mengatasi lonjakan harga. Sedangkan, perlindungan terhadap pangan lokal dilupakan. Tercatat sejak periode pertama Presiden Jokowi, banjir impor pangan semakin ‘ngeri’. Bahkan, tiap tahun angka impor komoditas pangan semakin tinggi.
Angka impor komoditas beras tercatat 844 ribu ton (2014), 861 ribu ton (2015), 1,28 juta ton (2016), 305 ribu ton (2017), 2,25 juta ton (2018). Sejatinya, ini menjadi aib bagi bangsa Indonesia, yang pernah menjadi lumbung pangan. Tapi sepertinya urat malu pemerintah kita telah putus.
Selain beras, impor komoditas pangan lainnya menunjukan angka yang mengagetkan. Impor Jagung: 3,3 juta ton (2014), 3,3 juta ton (2015), 1,1 juta ton (2016), 517.496 ton (2017), 737.225 ton (2018).
Sedangkan, Impor Garam: 2,3 juta ton (2014), 1,9 juta ton (2015), 2,1 juta ton (2016), 2,6 juta ton (2017), 2,8 juta ton (2018).
Impor bawang putih juga mengalami lonjakan, 494.631 ton (2014), 482.665 ton (2015), 444.300 ton (2016), 559.728 ton (2017), 582.994 ton (2018). Bahkan terdapat fakta mengejutkan. Seolah ada kepentingan asing yang sengaja memonopoli komoditas ini. Dari 13 perusahaan importir besar bawang putih, 10 perusahaan berasal dari China.
Fakta Impor Gula tidak kalah mengagetkan. Pemerintahan Presiden Jokowi mengimpor 3 juta ton gula (2014), 3,4 juta ton (2015), 4,8 juta ton (2016), 4,5 juta ton (2017), 4,6 juta ton (2018).
Fakta
Kebijakan impor pangan sebenarnya tidak pernah sepi dari penolakan. Budi Waseso (Buwas) saat menjabat sebagai Dirut Bulog pernah melawan kebijakan impor beras yang dilakukan pemerintahan Jokowi. Ia juga membeberkan sederet fakta yang mengagetkan.
Menurut Buwas, impor tak seharusnya dilakukan. Saat itu hingga Juli 2019 stok beras masih aman. Cadangan beras di gudang Bulog hingga akhir Desember 2018 sebesar 2,8 juta ton. Jika ditambah dengan serapan gabah petani dalam negeri sebesar 4.000 ton per hari (pada musim kering), diperkirakan bisa mencapai 3 juta ton. Maka Indonesia tidak perlu impor beras.
Buwas juga menegaskan jika pemerintah nekat melakukan impor, bulog tak dapat menampung sebab telah penuh dengan cadangan beras. Disamping itu, harga beras juga sedang murah, jika impor dilakukan sama halnya mencekik para petani. Sementara itu, dari hasil evaluasi Bulog, ternyata beras impor jenis beras yang keras dan pera. Ini berbeda dengan kualitas beras dalam negeri yang pulen. (Tempo, 21 September 2018)
Fakta mengejutkan juga diungkapkan Faisal Basri, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef). Dari risetnya, era Jokowi menempatkan Indonesia sebagai pengimpor gula terbesar di dunia. Tahun 2018, impor gula Indonesia mengalahkan China dan AS. Angka impor gula Indonesia sepanjang tahun 2018 sebesar 4,6 ton sementara, China 4,2 juta ton dan AS nilai impor gulanya 3,11 juta ton.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menyampaikan hingga bulan Mei 2020, pemerintah perlu mengimpor bawang putih, daging sapi/ kerbau, dan gula. Alasannya sama produk dalam negeri tidak mencukupi dan impor sebagai antisipasi lonjakan harga. Kebijakan ini dinilai menggampangkan impor.
Pemerintah tampaknya juga tutup telinga dengan protes yang disampaikan para petani. Salah satunya penolakan dari Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI).
“Jangan hanya saat kampanye petani akan kita diberdayakan, akan memberikan petani kesempatan harga lebih tinggi, tapi praktiknya di lapangan kami pelan-pelan terbunuh. Kita jangan bangga dengan impor…,” kata Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen. (CNBC, 18 Februari 2020)
Politik Pangan
Sejak tahun 1952 upaya membangun ketahanan pangan diupayakan. Orde Lama meluncurkan program Kesejahteraan Kasimo (1952-1956), ataupun swasembada beras melalui Program Sentra Padi (1956-1965). Era Orde baru juga menitik beratkan pada swasembada. Orde Baru sempat mengganti orientasi kebijakan pangan dari swasembada beras ke swasembada pangan secara umum pada Repelita III dan IV. Hasilnya sempat dirasakan pada tahun 1984, dimana Indonesia mencapai level swasembada pangan.
Begitu pula selama empat tahun kepemimpinan Megawati (2000-2004), ia mencoba menjiplak kebijakan swasembada pangan. SBY juga mengeluarkan revitalisasi pertanian dengan komitmen untuk peningkatan pendapatan pertanian untuk GDP, pembangunan agribisnis yang mampu menyerap tenaga kerja dan swasembada beras, jagung serta palawija.
Pada periode I, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat melontarkan pernyataan mengejutkan. Tak hanya swasembada pangan, Menurut Presiden Jokowi Indonesia berpotensi menjadi lumbung pangan dunia.
“Kita memiliki kesempatan sekali lagi untuk menjadi lumbung pangannya dunia,” kata Presiden Jokowi pada Penganugerahan Penghargaan Adhikarya Pangan (APN) 2016 di Istana Negara, Jakarta, Rabu (30/11/2016).
Namun pada periode II, politik pangan Indonesia tampak penuh kejanggalan. Arah politik pangan tampaknya bukan berkiblat pada kemandirian pangan, manun pasokan pangan dari luar.
Melalui Omnibus Law Pemerintah memasukkan sumber pangan impor sebagai pemenuh kebutuhan pangan dalam negeri (Pasal 66 RUU Cipta Kerja). Disebutkan bahwa sumber pangan Indonesia ke depan berasal dari tiga sumber, produksi pangan dalam negeri,cadangan pangan nasional, dan impor pangan..
Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Tani Indonesia (Perheppi), Hermanto Siregar menilai keberadaan draf Pasal 66 RUU Ciptaker itu sangat berbahaya. Menurutnya, aturan tersebut akan menyetarakan produk impor dengan produk lokal sebagai penyedia pangan nasional. Aturan ini akan mengancam petani dan sektor pertanian nasional.
“Itu sangat berbahaya, ibarat tinju itu pertandingannya tidak seimbang,” ujar Ketum Perheppi di Jakarta pada (18/2). (Katadata.co.id, 18/2/20)
Akan tetapi, Jokowi tak kehabisan cara, ia menggunakan para penegak hukum untuk turut memuluskan omnibus law. BIN, POLRI dan Kejaksaan diminta turut menjinakkan pihak-pihak yang menyuarakan.
“Kepada kapolri, kepala BIN, jaksa agung dan seluruh kementerian yang terkait, yang berkaitan dengan komunikasi, yang dulu saya sampaikan ini juga agar pendekatannya kepada organisasi-organisasi yang ada juga dilakukan,” tutur Presiden Jokowi, dalam pengantar Rapat Kabinet Terbatas, di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu 15 Januari 2020.
Lalu, benarkah era Jokowi, Impor Pangan Harga Mati?
Penulis: Kukuh Subekti, Arief Setiyanto
Editor: Tori Nuariza