“Adanya perlindungan khusus terhadap presiden dan pemerintah melalui hukum pidana, dapat disalahgunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan tanpa control”
-Dr. Muhammad Taufiq-
IslamToday ID – Pemerintah bersikeras mempertahankan pasal penghinaan terhadap presiden dan pejabat negara dalam RKUHP. Padahal pasal-pasal yang mengarah pada penghinaan terhadap presiden dan pejabat pemerintah membawa semangat penjajahan.
Pasal delik penghinaan terhadap presiden sebenarnya sudah dihapus Mahkamah Konstitusi sejak 14 tahun yang lalu. Antara lain pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137. Sejumlah pasal tersebut dihapus karena dinilai membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Setelah dibatalkan MK, penghinaan presiden dan wapres selaku pejabat bersifat delik aduan dengan mengacu pada Pasal 207 KUHP, sehingga polisi tidak bisa main tangkap.
Sebagaimana dikabarkanCNNIndonesia, rupanya pemerintah saat ini bersikeras mengembalikan pasal penghinaan terhadap presiden dalam RKUHP. Alasanya untuk menjaga martabat. Misalnya pasal 223 dan 224 RKUHP yang mengancam penghina presiden dengan hukuman maksimal 3,5 tahun dan 4,5 tahun penjara.
“Misalnya, penghinaan presiden, no (tidak dihapus). Namanya kan martabat,” kata Yasonna di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin 4 November 2019 lalu
Sejarah
Delik penghinaan presiden berasal dari Artikel III Nederlands Wetboek van Strafrecht (WvS Nederlands 1881) atau KUHP Belanda. Isinya mengatur tentang opzettelijke beleediging den koning of der koningin atau penghinaan yang sengaja ditujukan kepada raja dan ratu Belanda. Ancaman hukumannya penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak 300 gulden.
Dimasa penjajahan, tepatnya 15 Oktober 1915 aturan tersebut diadopsi dalam KHUP Hidia Belanda yang dalam istilah aslinya disebut WvS Nederlands Indie. Aturan ini kemudian berlaku sejak 1 Januari 1918.
Sedikit berbeda, hukuman penjara bagi penghina raja dan ratu Belanda adalah 6 tahun atau denda 300 gulden. Hukuman ini juga berlaku pula bagi penghina gubernur jenderal Hindia Belanda. Setelah merdeka, istilah KUHP Hindia Belanda diubah menjadi KUHP Indonesia. Sedangkan istilah raja dan ratu belanda menjadi menjadi presiden dan wapres.
Semangat Penjajahan
Pakar Hukum Pidana, Dr. Muhammad Taufiq menilai pengembalian pasal penghinaan terhadap presiden dan pejabat pemerintah membawa lagi semangat penjajahan. Selayaknya pasal-pasal tersebut tidak perlu dimunculkan kembali.
“Menurut hemat saya pasal-pasal tersebut sebaiknya tidak dimunculkan kembali dalam Rancangan KUHP yang baru. Alasannya, pasal-pasal itu dianggap memunculkan semangat neokolonialisme,” ujarnya
Taufiq menegaskan, bahwa dalam penegakan demokrasi, kepala pemerintahan dan pemerintah tidak bisa bebas dari kritik. Pasal Penghinaan Presiden bahkan belum popular di era orde baru. Orde baru cukup ‘melindungi diri’ dengan UU anti subversive atau PNPS 11/1963.
Setelah masa Orde Baru dan UU Antisubversif dicabut, kasus pemidanaan terhadap para pengkritik presiden menggunakan Pasal Penghinaan. Sejak 1999, cuma ada enam kasus yang diajukan ke persidangan karena dianggap menghina presiden.
Kini pasal dengan semangat penjajahan dan anti krtik itu kembali dipertahankan. Bahkan dicari cara untuk menjerat orang yang dianggap menghina presiden dan pejabat pemerintah. Hal ini dinilai berbahaya dan disalahgunakan.
“Adanya perlindungan khusus terhadap presiden dan pemerintah melalui hukum pidana, dapat disalahgunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan tanpa control,” ungkap Taufiq
Beda Sistem
Alumni Program Doktoral Fakultas Ilmu Hukum UNS ini berpendapat, pasal penghinaan terhadap raja dan ratu yang diterbitkan pemerintah belanda tidak cocok diterapkan di Indonesia. Sebab ada perbedaan yang sangat mendasar dari segi pemerintahan.
Belanda menganut sistem monarki parlementer, sementara Indonesia menganut sistem presidensial. Di Belanda, kepala negara adalah ratu yang merupakan symbol negara. sementara kepala pemerintahannya adalah perdana menteri, oleh karena itu di Belanda tidak ada pasal penghinaan terhadap perdana menteri. Sedangkan di Indonesia, kepala pemerintahan sekaligus kepala negara adalah presiden.
Taufik menmenambahkan, pasal 154 dan 155 KUHP yang sering disebut hatzaai artikelen merupakan warisan kolonial dan diambil dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie. Pasal tersebut berisi pidana bagi perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, bukan terhadap presiden ataupun pejabat negara.
“Pemerintah Hindia Belanda memang menerapkan Pasal Penghinaan Terhadap Ratu, karena ratu adalah simbol negara,” pungkasnya.
Penulis: Arief Setiyanto