IslamToday ID — Komunitas Sopir Angkutan Pelabuhan Tanjung Priok merasa dianaktirikan terkait bantuan penanganan dampak virus corona (Covid-19). Selama ini pemerintah hanya memberi bantuan dan aturan untuk ojek online. Misalnya, kebijakan pengembalian tunai atau cashback 50 persen saat mengisi ulang BBM di SPBU Pertamina.
“Mendesak agar pemerintahan Jokowi bersikap adillah kepada semua. Bukan kepada ojek online saja gitu. Di sini juga banyak sopir-sopir angkutan,” kata Yulius Amo, Koordinator Komunitas Supir Angkutan Pelabuhan Tanjung Priok.
Protes Yulius Amo, adalah satu dari sekian banyak rakyat Indonesia yang kehidupan ekonominya terdampak COVID 19. Tapi tampaknya mereka begitu kecil di mata pemerintah sehingga luput dari perhatian lain dengan ojek online (ojol) yang tampak dianakemaskan.
Beberapa hari pro-kontra tentang larangan ojek online mengangkut penumpang menjadi bahasan serius. Bahkan seolah ada friksi tajam antara Menhub AD Interim Luhut Binsar Pandjaitan dengan Menteri Kesehatan Terawan serta Gubernur DKI Jakarta Anis Baswedan.
Menkes Terawan dan Anies satu suara melarang ojol mengangkut penumpang selama masa PSBB. Sebaliknya luhut tampil seperti pahlawan, mengatakan memperbolehkan ojol mengangkut penumpang.
Silang pendapat para elit pemerintah ini alih-alih menjadi solusi. Justru membuat bingung masyarakat. Tidak hanya itu, perdebatan tersebut seolah-olah mengesankan bahwa driver ojol satu-satunya korban dari dampak pandemi COVID 19.
Padahal, banyak ragam jenis pekerjaan dan jasa yang terdampak. Namun seolah-olah tidak nampak, terhalang oleh silaunya perdebatan tentang nasib driver ojol.
Sementara itu nasib asisten rumah tangga, pekerja di bidang wisata, supir angkutan umum, guru les, pedagang kaki lima, warung restoran, karyawan kafe, toko oleh-oleh, rental mobil, rental motor, tukang becak, montir bengkel, tambal ban, luput dari perhatian.
Anak Emas
Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan bisa dibilang ‘navigator’ kabinet Indonesia maju. Dalam kacamata Luhut, ojol bukan urusan sepele. Jasa ini merupakan salah satu dari bisnis besar yang tumbuh di Indonesia. Bahkan memiliki potensi investasi dan pajak yang sangat besar.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong, menyebut Gojek dan Grab mempunyai potensi setoran pajak pertambahan nilai (PPN) hingga Rp 5 triliun per tahun.
“Gojek dan Grab sekarang pungut pajak pertambahan nilai (PPN) dari ratusan ribu pengemudi. Perkiraannya mereka bayar hingga Rp 4-5 triliun per tahun dan disetor ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP),” kata Lembong, Kamis (17/10/2019).
Jika mengacu pada nilai pajak yang disetor itu, maka omset Grab dan Gojek yang kena pajak mencapai Rp 40 triliun – Rp 50 triliun. Ya, sebanyak 10 kali lipat dari pajak yang dibayarkan.
Beberapa tahun belakangan ekonomi digital mewabah di Indonesia. Banyak investor yang tengah melirik industri padat karya yang berbasis digital.
Thomas Lembong bahkan mengatakan potensi investasi e-commerce masih sangat luas. Bahkan ia menilai, e-commerce layak disebut sebagai penyelamat investasi RI.
Sebab, saat ini sektor e-commerce menempati porsi 15-20% dari total penanaman modal asing (PMA) atau Foreign Direct Investment (FDI) di RI. Modal tersebut mengalir dari berbagai negara.
“Ada banyak, ada yang dari Sillicon Valley dan China. Beberapa perusahaannya seperti Alibaba, Tecent, JD, dan perusahaan konglomerasi besar asal Jepang seperti Softbank,” ungkap Thomas seperti dilanasir CNBC Indonesia.
Jangan salah, di Asia Tenggara Grab menguasai 95% pangsa pasar transportasi online yang berbasis taksi, serta 71% pangsa pasar transportasi online yang berbasis kendaraan pribadi (mobil dan motor).
Di Indonesia Gojek telah beroperasi di 207 kota di empat negara di Asia Tenggara, 203 diantaranya berada di Indonesia dan Grab telah hadir di 339 kota di delapan negara, dan 224 ada di Indonesia.
Cruchbase mencatat Grab telah menggumpulkan dana investor sebesar US$8,7 miliar sementara Gojek baru US$3,3 miliar. Sebenarnya pada 2020 Gojek akan merampung putaran pendanaan seri F dengan target bisa kumpulkan US$2,2 miliar.
Kedua startup ini sudah menyandang status sebagai decacorn atau bervaluasi di atas US$10 miliar. Grab bervaluasi US$14 miliar dan Gojek US$10 miliar.
Masa depan Keuangan
Bisnis ojek online tidak lepas dari pembayaran secara digital atau teknologi finansial (fintech). Sebelum pandemi corona virus (covid-19)
Accenture menerbitkan yang mengatakan mengatakan, bisnis pembayaran global tahun 2019 akan mencapai US$ 1,5 triliun dan meningkat menjadi US$ 2 triliun pada 2025. Sekitar 14% atau US$ 280 miliar dari nilai tersebut akan dikuasai oleh fintech pembayaran.
Dilansir dari Alinea ID, The Development Bank of Singapore (DBS Group) menyatakan teknologi finansial atau Financial Technology (Fintech) menjadi masa depan keuangan di Indonesia.
DBS Group Research sebelum pandemi juga mengatakan, kelak pada 2030, produk perbankan digital akan menjadi standar kebutuhan bagi konsumen yang didorong oleh revolusi smartphone.
Peneliti DBS Group Research, Sue Lin Lim, mengatakan perusahaan Fintech lebih cepat dalam penerapan teknologi baru dan lebih baik pada penyajian layanan pelanggan dibandingkan dengan bank tradisional. Fintech yang tersedia di banyak lokasi akan memotong akses langsung bank kepada nasabah.
“Bank-bank besar kemungkinan masih memiliki kelebihan karena ukurannya yang besar, namun melambat sehingga dapat mengarah pada kepunahan. Pada tahun 2030, produk digital banking akan menjadi prasyarat dasar, bukan seekedar unjuk kebolehan,” katanya, (28/6/2018)
Setidaknya sudah ada 54 fintech yang mendaftar ke Bank Indonesia dalam periode tanggal 8 Maret 2018 hingga 19 Februari 2019. Mayoritas bergerak di bidang sistem pembayaran. Sisanya sebagai pendukung pasar, penyelenggara penunjang, pasar dan pembayaran.
Mengacu data Bank Indonesia (BI), nilai transaksi pembayaran digital atau uang elektronik mencapai Rp 47,19 triliun sepanjang 2018. Jumlah ini meningkat empat kali lipat dibandingkan nilai transaksi tahun sebelumnya Rp 12,37 triliun.
Menteri Koodinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, saat juga pernah mengungkapkan, perkembangan Ekonomi digital dalam bentuk financial technology (fintech) menjadi penyokong perekonomian dunia melalui mekanisme penciptaan pekerjaan baru (job creation) di masa mendatang. Hingga 2016, ekonomi digital berkontribusi sekitar 22% terhadap perekonomian global.
“Hal ini menunjang perkembangan dari ekonomi digital di nusantara ini. Ekonomi digital Indonesia diproyeksikan akan meningkat pesat pada 2025 di mana nilai pasarnya akan mencapai US$100 miliar,” jelas Menko Darmin.
Sekelumit fakta diatas membuat kita tahu, bahwa ada kekhawatiran besar dari pemerintah mengapa ojol tampak lebih dianakemaskan, dibanding pekerjaan lain yang juga terkena dampak corona.
Maka tidak heran pula jika Menteri Kemaritiman dan investasi yang ditunjuk untuk menggantikan sementara posisi Menteri Perhubungan. Sebab bukan hanya soal boleh tidak mengangkut penumpang, tapi nasib investasi dan perekonomian ke depan.
Lalu siapa yang diuntungkan?
Penuli: Arief Setiyanto / Editor: Tori Nuariza