IslamToday ID –Pandemi Corona Virus (Covid-19) telah menunjukan ketergantungan Indonesia pada produk alat kesehatan(alkes) impor sangat tinggi. Ketergantungan ini memberi peluang mafia alkes untuk mengeruk keuntungan.
Menteri BUMN Erick Thohir mengungkapkan angka ketergantungan alkes impor serta bahan baku obat impor di Indonesia mencapai 90% dari total kebutuhan dalam negeri. Adapun negara asal impor alkes Indonesia terdiri dari Eropa, Jepang, Amerika Serikat, China dan Korea Selatan.
Erick menilai tingginya angka ketergantungan impor ini memberi peluang kepada para mafia alkes untuk mengeruk keuntungan. Bahkan, Indonesia kerap terjebak pada praktik-praktik kotor.
“Jangan semua ujung-ujungnya duit terus, dagang terus, akhirnya kita terjebak short term policy. (Impor alat kesehatan) Didominasi mafia, trader-trader itu, kita harus lawan,”ungkap Erick melalui akun instagramnya (16/4/2020).
Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga menduga adanya konspirasi jahat antara mafia-mafia global dan lokal menyebabkan Indonesia tidak bisa memproduksi alkes sendiri, sehingga Indonesia tidak lebih dari sekedar “seorang penjahit”. Padahal di Indonesia SDMnya memiliki keahlian dalam membuat masker,meskipun bahan bakunya di dapat dari impor.
“Pabriknya ada, tapi bahan baku dari luar semua, Indonesia hanya tukang jahitnya doang. Orang luar bawa bahan baku ke tukang jahit, dia bayar tukang jahitnya, diambil barangnya. Itu proses yang terjadi selama ini dan kita akhirnya impor juga barang tersebut, karena bukan punya kita, itu milik yang punya bahan,” tutur Arya (17/4/2020).
Masalah Klasik
Praktik mafia alkes sebenarnya sudah terendus cukup lama. Pada tahun 2016 DPR mengungkap beredarnya vaksin palsu yang sudah beredar sejak tahun 2003. DPR menduga telah ada mafia di dalam Kementerian Kesehatan (Kemenkes) hingga membuat vaksin palsu itu lolos dari pantauan Kemenkes, BPOM dan Dinas Kesehatan.
Bahkan ketika itu di era Menteri Kesehatan (Menkes) Nila F Moeloek, tenaga kesehatan seperti dokter, perawat hingga apoteker tidak mampu membedakan antara vaksin asli dan palsu.
“Beredarnya vaksin palsu sudah melanggar UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan termasuk kewenangan dalam distribusi, pengadaan, pengawasan kesehatan,” kata Ketua Komisi Keshatan DPR, Dede Yusuf (27/6/2016)
Ketika peristiwa ini diungkap pada Juli 2016. Setidaknya ada 37 fasiltas kesehatan, termasuk di dalamnya 14 rumah sakit menggunakan vaksin palsu. Selain itu beredarnya vaksin palsu membuat 16 orang ditahan. Dalam hal ini pemerintah diminta turut serta bertanggungjawab, apalagi dengan beredarya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 42/2013 tentang penyelenggaraan imunisasi.
Semetara dalam kasus pandemi corona menyebabkan kuota impor alkes meningkat. Diduga ada peran mafia didalamnya, oleh karenanya pemerintah berencana menekan kegiatan impor alkes dan bahan baku obat.
Salah satu strategi yang tengah dimatangkan pemerintah adalah merampungkan holdingisasi kesehatan. Setidaknya sudah ada 70 RS BUMN serta 3 perusahaan farmasi dalam holdingisasi kesehatan. Hingga hari ini pemerintah masih optimis terhadap dampak holdingisasi di sektor kesehatan.
Holding Kesehatan
Pemerintah pun semakin gencar mewujudkan holdingisasi di bidang kesehatan khususnya RS BUMN dan perusahaan farmasi. Rencana ini telah digagas Menteri BUMN, Erick sejak 31 Januari 2020.
Sub holding farmasi secara resmi dibentuk pada (5/2/2020) terdiri atas tiga perusahaan farmasi plat merah seperti Kimia Farma, Indofarma dengan Biofarma sebagai induknya. Sub holding farmasi dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 862/KMK.06/2019. Langkah ini diharapkan mampu mewujudkan health security atau ketahanan kesehatan nasional.
Pemerintah mengklaim pembentukan sub holding farmasi akan mampu menekan biaya impor bahan baku dan alkes. Selama ini biaya impor keperluan tersebut mencapai US$ 2 miliar atau setara Rp 28 triliun. Disisi lain industri kesehatan memiliki pangsa pasar yang sangat menggiurkan. Nilainya mencapai US$ 7,6 triliun.
Saat ini impor Indonesia dalam bahan baku obat nilainya cukup tinggi yakni US$ 1,3 miliar atau Rp 17,8 triliun dan impor alkes US$ 750 juta atau Rp 10,3 triliun. Impor tersebut berasal dari China 60% dan India 30%.
Rencana pembentukan holding farmasi sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 2005 namun hingga tahun 2013 rencana ini terus mendapatkan penolakan. Bahkan pada saat itu menteri BUMN, Dahlan Iskan mengancam memecat para direksi perusahaan farmasi yang menolak rencana ini. Dahlan Iskan menduga, mereka sengaja mencari dukungan untuk menolak terwujudnya holding farmasi.
Di tahun 2020 ini penetapan sub holding farmasi ternyata berimbas pada masuknya investasi asing dalam perusahaan farmasi milik pemerintah. Hal ini terbukti dengan meningkatnya akumulasi beli asing atas saham Kimia Farma pada akhir sesi pertama pasca ditetapkan sebagai sub holding mencapai Rp 32,96 juta. Bahkan aktivitas saham Kimia Farma menyebabkan nilai transaksi terus naik mencapai Rp 5,15 miliar. Begitu juga dengan saham milik Indofarma, harga sahamnya terus naik dengan total transaksi harian mencapai Rp 10,50 miliar.
Sementara itu melihat pandemi corona ini Anggota Komisi VI DPR Nevi Zuarina mengungkapkan agar Kementerian BUMN dan BUMN Farmasi fokus pada ketersediaan stock untuk pencegahan serta penanganan wabah corona. Kemunculan holding farmasi di tengah-tengah tren kesehatan global semestinya mampu memberikan kontribusi kepada rakyat dan negara.
“Menteri BUMN melalui Surat Edaran Nokor SE-1/MBU/03/2020 Tentang Kewaspadaan terhadap Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) kan sudah jelas regulasinya. Tapi yang paling penting adalah implementasi dan evaluasi dari surat edaran ini hari demi hari karena saat ini kita bukan berhadapan dengan masalah yang sepele. Negara kita saat ini sudah menjadi sorotan dunia berkaitan tentang keseriusan pada penanganan ancaman virus corona,” jelas Nevi.
Potret Industri Lokal
Tahun 2018 industri alkes Indonesia digempur barang impor. Pada tahun itu alkes yang berdar di Indonesia mencapai 92% dari total pasar industri alkes nasional yang nilainya mencapai Rp 13,5 triliun.
“ Ini angka yang fantastis, sayang produk kita baru sekitar 8% secara value,” kata Manajer Eksekutif Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (Aspaki) Ahyadin Sodri (11/3/18).
Selain serbuan produk impor, terbatasnya modal, hingga kesulitan mencari investor yang bersedia berinvestasi di bidang industri kesehatan juga menjadi kendala. Banyak investor yang enggan berinvestasi, karena daya serap produk industri lokal yang rendah. Selain itu kualitas SDM industri dalam negeri dianggap perlu untuk ditingkatkan sehingga bisa memberikan inovasi-inovasi baru yang bisa diandalkan.
Kemudian, di tahun 2018, karena terbatasnya modal dan keahlian membuat industri lokal hanya mampu bergerak di bidang hospital furniture. Ini dipilih sebab resiko produksi yang rendah. Konsekwensinya harga jual yang rendah, berbeda dengan alkes hasil impor yang berbasis teknologi tinggi.
Contoh produksi lokal tersebut ialah ranjang pasien dengan kisaran harga Rp 6 juta hingga Rp 30 juta, tentu harganya berbeda dengan harga alat CT Scan yang nilainya Rp 6 miliar hingga Rp 8 miliar.
PAdahal meskipun minim produk industri dalam negeri ini sepi peminat. Produsen lokal bahkan mampu memasarkan produknya hingga Amerika, Eropa. Ini bukti bahwa produk lokal asal Indonesia memiliki kualitas bertaraf internasional.
Penulis : Kukuh Subekti
Editor: Arief Setiyanto