“…masyarakat akan berpikir, untuk apa ada KPK kalau cara kerjanya sama dengan kepolisian dan kejaksaan..”
-Abdullah Hehamahua-
IslamToday ID -Komposisi pimpinan Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) kini didominasi unsur kepolisian. Lantas bagaimana nasib penanganan korupsi di Indonesia?
Dominasi kepolisian semakin terlihat saat ini. Pertama dengan terpilihnya Komjen Firli Bahuri sebagai ketua KPK periode 2019-2023. Kemudian pada pada 14 April 2020 juga dilantik empat pejabat baru KPK. Dua diantaranya berasal dari unsur kepolisian. Yakni, Brigjen Karyoto sebagai Deputi Penindakan KPK dan Kombes Endar Priantoro sebagai Direktur Penyelidikan KPK. Sebelumnya ada Brigjen RZ Panca Simanjutak sebagai Direktur Penyidikan KPK.
Adanya unsur kepolisian dalam tubuh KPK tidak serta merta menambah efektivitas pemberantasan korupsi. Keterlibatan kepolisian dalam proses seleksi pimpinan KPK tidak bisa lepas dari unsur kepentingan.
Tahun 2019 lalu, Peneliti Transparency International Indonesia Alvin Nicola telah menyampaikan, dengan masuknya unsur penegak hukum lain sebenarnya bertentangan dengan tujuan awal pembentukan KPK. Sebab,KPK dibentuk sebagai solusi ketika kedua aparat penegak hukum konvensional gagal melakukan pemberantasan korupsi.
“Secara historis, kehadiran figur Polri menjadi pemimpin dan pejabat di KPK juga dirasa tidak memuaskan, baik dari Taufiequrachman Ruki, Bibit Samad Rianto, maupun hingga Basaria Pandjaitan,” ujarnya Alvin (1/7/2019).
“Agaknya sulit membayangkan jika pemimpin yang berasal dari Polri mau menangani dan menyelesaikan kasus yang berkaitan dengan institusi asalnya. Ia akan terjegal beban moral korps dan loyalitas ganda,” imbuhnya Alvin
Alvin mengungkapkan sejumlah negara telah meminimalisir adanya unsur penegak hukum lain dalam lembaga anti korupsi miliknya. Contoh Singapura dengan Corrupt Practices Investigation Bureau, Swedia dengan National Anti-Corruption Unit, dan Norwegia dengan Okokrim, Inggris (Serious Fraud Office), Hongkong (Independent Commission against Corruption). Sejumlah lebaga anti korupsi di negara-negara tersebut dipimpin oleh orang yang bebas dari kepentingan.
Polisi dan Korupsi
Survei Global Corruption Barometer tahun 2017 menempatkan institusi kepolisian sebagai lembaga yang rawan suap dan korupsi. Tahun 2018 survei ICW dan LSI menunjukan, Polri sebagai lembaga yang paling berpotensi melakukan pungutan liar dalam pelayanan birokrasi. Selain itu, kasus korupsi yang ditangani kepolisian pada tahun 2019 mencapai 1504 kasus tapi hanya 768 kasus saja yang selesai.
Korupsi telah menggerogoti kepolisian dengan terlibatnya para jenderal dalam pusaran korupsi sejak tahun 2005. Antara lain, kasus yang melibatkan Brigjen Samuel Ismoko (2005), Komjen Suyitno Landung (2006), Brigjen Edmon Ilyas (2011), Brigjen Raja Erizman (2011), Irjen Djoko Soesilo dan Brigjen Didik Purnomo (2012).
Rendahnya penanganan kasus kepolisian dan kejaksaan ditahun 2018 menjadi ICW. Sebab, jumlah kasus korupsi yang ditangani oleh kepolisian dan Kejaksaan menurun dari tahun sebelumnya. Tahun 2018 hanya 454 kasus, 2017 hanya 576 kasus dan tahun 2016 hanya 482 kasus (2016). Tahun 2019 penanganan kasus korupsi berada dilvel terendahnya yakni 271 kasus.
ICW berpendapat bahwa kepolisian dan kejaksaan kurang terbuka kepada publik soal jumlah kasus korupsi yang ditanganinya sehingga publik pun tidak memiliki data yang pasti. Wajar jika kemudian ICW menilai bahwa KPK merupakan institusi yang aktif dalam penanganan korupsi daripada kepolisian dan kejaksaan.
Memang jumlah kasus yang ditangani oleh KPK tampak sedikit, hanya 57 kasus. Tapi kantor KPK hanya ada satu. Sedangkan, kepolisian memiliki 535 kantor dan menindak 162 kasus. Kejaksaan memiliki 520 kantor dengan 235 kasus yang berhasil ditindak.
“Kinerja penindakan korupsi yang dilakukan oleh KPK sangat signifikan. Sejak tahun 2015 hingga 2019 ada peningkatan kasus. Aktor yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pun tidak jarang memiliki kewenangan yang besar seperti menteri, kepala daerah, anggota legislatif bahkan penegak hukum,” ungkap Peneliti ICW Wana Alamsyah (18/2/2020).
Nasib KPK
Beberapa kasus korupsi yang terungkap dipublik menunukan kejanggalan. Saat Tim OTT KPK mencoba menangkap Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) pada awal januari 2020 lalu, justru tim OTT KPK yang ditangkap, diintrogasi dan serta dipaksa menjalani tes urine. Anehnya Ketua KPK, Komjen Firili Bahuri justru tidak membela anak buahnya.
Alih-alih membela, Firli justru menyalahkan tim penindakan. Firli menganggap peristiwa yang dialami oleh tim OTT KPK sebagai kesalahpahaman pihak kepolisian.
Bertambahnya jumlah personil polisi dibidang penindakan, dikritik Mantan Penasihat KPK, Abdullah Hehamahua. Menurutnya, KPK menjadi tidak lagi segarang dulu. Salah satu yang membuat KPK terlihat kuat adalah kegiatan OTT KPK, kini penaganan OTT KPK harus melalui ijin dari Dewan Pengawas (Dewas) KPK .
“Kalaupun ada OTT, sasarannya hanya kelas teri, bukan kakap. Dalam kondisi ini, masyarakat akan berpikir, untuk apa ada KPK kalau cara kerjanya sama dengan kepolisian dan kejaksaan. Maka DPR yang didominasi partai koalisi akan membubarkan KPK” jelas Abdullah Hehamahua (17/4/2020).
Penulis: Kukuh Subekti
Editor: Arief Setiyanto