Tiga akar masalah umat; Ilmu yg rusak, hilangnya adab dan kemunculan pemimpin palsu
-Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas-
IslamToday ID – Ahad, 26 Maret 2020 dini hari, warga sekitar Masjid Babah Alun Tanjung Priok, Jakarta Utara, dikagetkan dengan bantuan makanan berlabel ‘Nasi Anjing’. Penerima bantuan makanan yang sebagian besar beragama Islam merasa dilecehkan.
Dari penyelidikan polisi, nasi bungkus berlabel kepala anjing dan bertuliskan tulisan ‘nasi anjing, nasi orang kecil, bersahabat dengan nasi kucing’ #Jakartatahanbanting itu, dibagikan oleh Komunitas Kristen ARK QAHAL berpusat di Jakarta Barat.
Dimedia social, beredar pula video proses peracikan nasi anjing. Pria berkaus hitam dalam video tersebut mengklaim, semua bahan yang digunakan halal untuk dikonsumsi.
“Yang ini bakso sapi sama teri. Jadi semua bahanya halal dijamin,” ungkapnya.
Ia juga menjelaskan alasan nasi bungkus itu diberi nama naji anjing. Katanya, anjing adalah binatang yang setia. Selain itu, dinamakan nasi anjing karena porsinya yang lebih besar dari pada nasi kucing, sehingga cukup bagi warga untuk bertahan hidup.
“Kenapa kita pakai nama nasi anjing karena anjing itu binatang yang setia. Makanya yang pertama kita perlu setia sama Allah yang di atas, perlu setia sama pemerintah, perlu setia sama Pancasila dan UUD 45,” tambahnya.
“Dan kenapa namanya nasi anjing, karena porsinya lebih banyak dari nasi kucing. Nasinya bukan buat mengenyangkan tapi bertahan,” ujar pria itu.
Ia pun mengatakan, “Karena ini kita percaya, Jakarta perlu tahan banting. Jadi sama-sama bergerak untuk masyarakat bawah”
Esensi Bantuan
Memberikan bantuan kepada yang membutuhkan tentu perbuatan terpuji, terlebih ditengah pandemic covid-19 saat ini. Bantuan dari berbagai pihak tentu bermanfaat, terlebih masih banyak masyrakat yang luput dari bantuan pemerintah.
Namun demikian, yang diberikan hendaknya benar-benar menunjukan sikap empati, tanpa membuat penerima bantuan merasa rendah bahkan tersinggung. Oleh karena itu, pemberi bantuan bukan hanya harus memiliki kepekaan social tapi kecerdasan sosial, sehingga mampu memberi tanpa ‘menyakiti’.
Komunitas Kristen ARK QAHAL boleh boleh saja, memiliki pandangan kesetiaan sendiri setia kepada Allah, kepada pemerintah dan Pancasila dan UUD 45, seperti setianya anjing kepada majikan.
Tapi perlu disadari bahwa pandangan itu berlaku subjektif. Masyarakat lainnya tentu memiliki pandangan sendiri tentang arti kesetiaan terhadap Tuhan, negara dan agamanya. Entah disengaja atau tidak pembagian makanan dengan brand ‘nasi anjing’ telah menrobos ruang kesetiaan’ umat muslim. Terlebih, yang mendapatkan bantuan itu adalah warga sekitar masjid.
Kita tau bersama bahwa 86% penduduk Indonesia beragama. Dalam ajaran Islam air liur anjing itu tergolong najis, dagingnya haram dikonsumsi sama seperti babi. Larangan ini menjadi bagian dari menjaga kesucian diri.
Umat islam diperintahkan untuk makan makanan yang halal dan baik. Sebab, makanan bagi umat islam bukan sekedar untuk mengganjal perut yang kosong atau memenuhi syahwat lidah.
Dengen pondasi yang demikian, mungkinkah seorang muslim akan mendatangi warung sate anjing. Perlukah ia bertanya dulu adakah menu lain di warung itu? Begitu pula dengan Nasi Anjing yang dibagikan.
Atau contoh yang lain, Saat etnis Tionghoa merayakan ilmek. Kemudian untuk membantu etnis tionghoa yang miskin dilakukan pembagian bubur nasi. Padahal saat perayaan Imlek, orang Tionghoa menganggap bubur nasi sebagai jenis makanan yang dilambangkan bisa membawa sial.
Jika sulit, untuk memiliki pemahaman lintas agama dan budaya,Komunitas Kristen ARK QAHAL sebenarnya cukup meneladani semangat bunda Theresa. Separuh hidupnya dihabiskan dengan melakukan kegiatan sosial di Calcutta, India.
Bunda Theresa paham kalau ummat Hindu dilarang mengkonsumsi daging sapi. Ia juga paham kalau ummat Islam dilarang mengkonsumsi daging babi. Maka, ia tak pernah melakukan kegiatan pembagian nasi bungkus dengan embel-embel sapi atau babi.
Ia membantu orang miskin India dengan menyediakan pengobatan gratis, memberi selimut dan pakaian bekas bagi yang tak berbusana, memberi sekerat roti bagi fakir miskin yang kelaparan. Itulah yang dinamakan solidaritas, dilakukan atas dasar prinsip-prinsip humanitarian.
Jika pemahanan dan kecerdasan diatas dimiliki akankah ada pembagian ‘Nasi Anjing’?
Mungkinkah ada indikasi memancing di air keruh, atau ini satu dari sekian fenomena lunturnya adab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri kita?
Kita seharusnya ingat, sejak kecil kita ditempa dengan peribahasa dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung.
Penulis: Arief Setiyanto