IslamToday ID – Kondisi APBN tahun 2020 sangat mengkhawatirkan. Target pendapatan merosot, sementara belanja negara semakin membengkak.
Anggota Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK periode 2019-2024, Achsanul Qosasi APBN berada dititik terberat. Saat ini pendapatan Negara turun dari Rp2.233 triliun menjadi Rp1.760 triliun. Sementara itu, Belanja Negara Naik dr Rp2.540 triliun menjadi Rp2.613 triliun. Akibatnya, defisit anggaran melebar dari Rp307,2 triliun menjadi Rp852,9 triliun.
“Ini adalah periode terberat APBN kita, ditengah turunnya produktifiras, biaya-biaya untuk recovery bencana harus dialokasikan,” ujar Achsanul Qosasi, Sabtu (9/5/2020)
Mantan Anggota DPR-RI itu mengungkapkan, untuk menutup defisit sebesar Rp852,9 triliun tersebut pemerintah berencana menganggarkan melalui hutang.
Utang Ugal-ugalan
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tak menampik pemerintah akan kembali menerbitkan surat utang untuk menutupi defisit anggaran. Menurutnya, surat berharga negara (SBN) yang perlu diterbitkan sepanjang Mei hingga Desember 2020 sebesar Rp 697,3 triliun. Sementara itu, Sri kebutuhan pembiayaan utang bruto Indonesia pada tahun ini mencapai Rp 1.439,8 triliun.
Jumlah tersebut merupakan akumulasi sejumlah kebutuhan pembiayaan. Antara lain pembiayaan defisit Rp 852,9 triliun, pembiayaan investasi net Rp 153,5 triliun, serta utang jatuh tempo Rp 433,4 triliun.
“Ini termasuk di dalamnya adalah untuk pemulihan ekonomi nasional yang sudah diatur dalam Perpu nomor 1 tahun 2020 dan juga ada di dalam Perpres nomor 54 Tahun 2020,” kata Sri Mulyani.
Kondisi tersebut telah diperkirakan oleh Mantan Sekretaris BUMN, Said Didu. Menurutnya, pemerintah akan berutang lagi sebesar Rp1.000 triliun. Itu dilakukan jika belanja negara yang membengkak tetap dipertahankan membengkak.
“Perkiraan saya penerimaan lebih rendah dari rencana tersebut, sehingga jika belanja tetap dipertahankan maka perkiraan saya tahun 2020 butuh tambahan hutang minimal Rp1.000 trilyun,” cuit Said Didu di akun Twitternya, Minggu (10/5/2020).
Ekonom Indef, Bhima Yudhistira mengatakan, pandemi Covid-19 menyebabkan perekonomian Indonesia terperosk dalam jurang krisis. Baru 2,5 bulan masa pandemi, ledakan pengangguran terjadi. Jumlah, angka kemiskinan meroket. Selain itu, jumlah uatang pada pemerintahan Presiden Jokowi sangat ugal-ugalan.
Ia memperkirakan tingkat penangguran terbuka (TPT) akan naik dari 5,28 persen pada tahun lalu menjadi 9 persen pada tahun ini. Estimasinya aka nada 5 juta orang pengangguran terbuka. Dampak lanjutannya, angka kemiskinan juga melonjak hingga 15 persen jika pertumbuhan ekonomi minus 2 persen
Bhima menilai, penurunan ekonomi saat mirip dengan krisis besar (great depression) yang pernah melanda dunia pada 1930-an.Waktu itu, bukan hanya sektor keuangan yang ambruk, namun juga seluruh sektor riil benar benar terpuruk. Sebelumnya WTO (Organisasi perdagangan dunia) telah mengingatkan agar Indonesia ber hati-hati dengan kondisi saat ini.
“karena kedalaman krisisnya mungkin sama dengan 1930 walaupun penyebabnya saat itu bukan pandemi, tapi sisi keuangan dan sektor riil sudah pas kenanya,” ujarnya dalam diskusi daring dilihat Senin (11/52020).
Aroma krisis sebenarnya sudah tercium pada lima tahun pertama Presiden Jokowi. Utang pemerintah sudah ‘ugal-ugalan. Ironisnya di periode kedua Jokowi, utang Indonesia bertambah Rp2.716,28 triliun.
“Sebelum pandemi sudah banyak masalah, pemerintah gila-gilaan utang lima tahun terakhir,” tuturnya.
Menurut Bhima saat ini pemerintah tidak siap untuk menopang ketahanan ekonomi nasional. Paket stimulus yang disiapkan pemerintah untuk masyarakat, jumlahnya relatif masih kecil. Di sisi lain, ruang fiskal pemerintah semakin terbatas untuk menangani wabah.
Penulis: Arief Setiyanto