IslamToday ID — Larangan ajaran komunisme di Indonesia tampaknya akan luntur’. Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang kini dibahas tidak mengaitkan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Ada delapan landasan hukum yang dimuat dalam konsideran RUU HIP. Yakni, UUD 1945, TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, TAP MPR No. XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.
Kemudian, TAP MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, TAP MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, TAP MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan dan terakhir TAP MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dan TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Sementara itu, TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme justru tidak masuk dalam landasan pembentukan RUU tersebut. PDI Perjuangan adalah salah satu partai yang menolak dimasukkannya TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 dalam konsideran RUU HIP.
“TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 masih berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat. Karena itu, tanpa disebutkan dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila pun, organisasi terlarang ini dan ajaran komunisme tidak mungkin lagi dibangkitkan kembali dengan cara apa pun,” kata Basarah dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (16/5/2020), seperti dilansir ANTARA.
Ia menilai PKI sudah tidak mungkin bangkit kembali di masa kini. Dia juga meminta agar jangan ada lagi yang membesar-besarkan isu kebangkitan PKI dan mengaitkannya dengan RUU HIP.
Hendrawan Supratikno anggota Badan Legislasi Fraksi PDI Perjuangan menambahkan, substansi RUU HIP intinya adalah bagaimana menjamin agar, Indonesia mampu membangun strategi yang tepat, yang bersumber pada dasar dan ideologi negara di tengah arus globalisasi ekonomi, teknologi, dan gaya hidup.
Satu Suara
Menyikapi absennya TAP MPRS tentang larangan ajaran komunisme dalam RUU HIP membuat ‘partai berbasis Islam’ satu suara. Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) mengancam akan menarik diri dari pembahasan RUU tersebut.
“Sikap PAN jelas terkait masalah ini, jika TAP MPRS itu diabaikan, Fraksi PAN akan menarik diri dari pembahasan. PAN tidak mau bermain-main dengan isu-isu sensitif yang bisa mencederai umat dan masyarakat,” kata Wakil Ketua Fraksi PAN di DPR Saleh Partaonan Daulay.
Ia menambahkan, saat dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, fraksi-fraksi sudah menyampaikan pandangannya. Hasilnya, hampir semua fraksi mendesak agar TAP MPRS XXV/1966 dimasukkan di dalam konsideran.
Wakil Ketua MPR dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid melihat adanya kejanggalan dalam landasan RUU HIP. Menurutnya, tujuh TAP MPR menjadi rujukan RUU HIP justru tidak terkait langsung dengan pengokohan ideologi Pancasila. Padahal, menurutnya kembali bermunculan fenomena penyebaran ideologi komunisme yang menjadi ancaman terhadap ideologi Pancasila.
“Ini aneh, ada 7 TAP MPR yang dijadikan dasar hukum pembentukan RUU HIP, padahal tak terkait langsung dengan ideologi Pancasila, tetapi ada TAP MPR yang sangat terkait dan menjaga ideologi Pancasila malah tidak dimasukkan,” kata Hidayat Nur Wahid.
Sementara itu, Jimly Asshiddiqie, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), menilai TAP MPRS 25/1966 tentang Pembubaran PKI dinilai layak untuk dijadikan sebagai landasan dalam pembentukan RUU HIP.
Jimly yang kala itu bertindak selaku Ketua Tim Perancang TAP MPR 1/2003 dari Universitas Indonesia (UI) menjelaskan bahwa setelah TAP MPR 1/2003 terbit maka TAP MPR lainnya yang tersisa kedududukannya otomatis setara dengan UU dan dapat dilakukan uji materi di MK. Namun, TAP MPR No.25/1966 tetap berlaku.
“Sehingga jika ingin digunakan untuk landasan pembahasan RUU yang berkaitan dengan ideologi Pancasila merupakan hal yang masuk akal. TAP MPR mengenai partai komunis ini kan masih tetap berlaku hingga saat ini,” paparnya.
Namun demikian, Jimly mengingatkan agar pembahasan RUU HIP sebaiknya dilakukan setelah Pandemi COVID-19 berakhir. Menurutnya, perumusan RUU HIP perlu diikuti oleh tingkat partisipasi publik yang lebih terbuka. Ia menyarankan, agar sebaiknya menghindari pembahasan RUU yang beresiko mendapatkan resistensi dari publik ditengah pandemi COVID-19.
“Nampaknya sulit di masa covid seperti ini melakukan pembahasan yang menyangkut substansi bari dari ideologi Pancasila. Oleh karena itu, lebih baik DPR hindari dulu pembahasan substansial ideologi baru terkait Pancasila,” paparnya.
Penulis: Arief Setiyanto
Redaktur: Tori Nuariza