IslamToday ID – Berbagai kalangan mendesak aparat melakukan penyelidikan, atas tindakan teror kepada penyelenggara dan pemateri diskusi ‘Pemberhentian Presiden’ tanggal 29 Mei 2020 kemarin. Jika persolan ini tidak diusut tuntas, publik akan menuding adanya ‘tangan’ pemerintah dibalik teror tersebut.
“Ini harus dibongkar. Kalau tidak, orang akan berpikir pemerintah yang melakukan. Kalau pun orang pemerintah yang melakukan meski tidak atas perintah presiden, publik juga harus tahu, ” ujar Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Asfinawati
Kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat dijamin dalam kontitusi, yakni dalam pasal 28E ayat 3 UUD 1945. Selian itu, terkait kebebasan akademis negara mengeturnya lebih lanjut dalam Undang-Undang No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pada pasal 8 ayat (1) dalam undang undang tersebut menyatakan; “Dalam penyelenggaraan Pendidikan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan”.
Oleh kerena itu, berbagai organisasi hukum dan kalangan akademis mengecam aksi teror tersebut. Antara lain disuarakan oleh; Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN), Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI), Serikat Pengajar HAM (SEPAHAM), Kaukus Indonesia Untuk Kebebasan Akademik (KIKA) dan Asosiasi Dosen Perbandingan Hukum Indoneska (ADPHI).
Para akademisi yang berhimpun dalam organisasi tersebut menegaskan, Kebebasan akademik merupakan sine qua non atau sesuatu yang bersifat dasar di dalam fungsi universitas modern. Kebebasan akademik meliputi kebebasan menulis, meneliti, menghasilkan karya keilmuan, menyampaikan pendapat, pikiran, gagasan sesuai dengan bidang ilmu yang ditekuni, dalam kerangka akademis. Di Indonesia prinsip prinsip kekebasan akademik itu turut dirumuskan dalam Surabaya Principle on Academic Freedom.
“Kami menuntut adanya kebebasan akademik penuh sebagai bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dilindungi oleh konstitusi dan Prinsip Prinsip Kebebasan Akademik,” kata Zainal Arifin Mochtar, Dosen Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Kamis (29/5/2020).
Aksi teror dan upaya pengggalan diskusi bertajuk “Persoalan Pemecatan Presiden di tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” tersebut, turut menjadi perhatian WamenkumHAM era PResiden SBY, Prof. Dr. Denny Indrayana. Ia juga menyatakan bahwa aksi teror, ancaman dan penggagalan diskusi tersebut bertentangan dengan prinsip kebebasan berbicara dan kebebasan akademik di kampus.
“Ini tentu tidak sejalan dengan prinsip kebebasan berbicara dan kebebasan akademik yang seharusnya kita sama-sama jaga di kampus,” tutur Denny (30/5/2020).
Menurutnya, sikap kritis mahasiswa seharusnya didukung. Sqalah satu caranya dengan cara diberikan ruang kebebasan berpendapat. sehingga mereka bisa memiliki perhatian serta empati yang besar terhadap persoalan bangsa.
Denny melihat, diskusi yang diadakan oleh Komunitas CLS Fakultas Hukum UGM tersebut tidak memiliki ‘kepentingan politik praktis’, sebab diskusi tersebut hanya membicarakan prosedur pemakzulan. Dalam term of reference (tor) dari panitia diskusi menyebutkan bahwa tidak mudah melaksanakan pemakzulan presiden dalam masa Covid-19.
“Ke depan, larangan diskusi semacam ini seharusna dihindari, karena bagaimanapun ini hal khusuus. Terlebih penyelenggaranya juga mahasiswa,” ujarnya
“Tidak lebih dan tidak kurang. Ke depan, larangan diskusi semacam ini seharusna dihindari, karena bagaimanapun ini hal khusuus. Terlebih penyelenggaranya juga mahasiswa,” ucapnya.
Teror dan larangan diskusi yang berlangsung di UGM itu bukan kali pertama dialami oleh kaum akademis. Pada September 2019 lalu, kampus-kampus di Yogya seperti UGM, UNY, UIN Sunan Kalijaga, dan Universitas Sanata Dharma, juga melarang mahasiswa turun ke jalan pada aksi “Gejayan Memanggil”. Selain itu aksi larangan menyuarakan pendapat di muka umum juga terjadi. Misalnya larangan melakukan kajian yang menghadirkan Ustadz Abdul Shomad dan Ustadz Felix Siauw.
Mudah Mengusut
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane menilai kasus teror terhadap penyelenggara dan pemateri diskusi tersebut mudah untuk diungkap asal polisi serius menaganinya. Misalnya dengan segera meminta keterangan para korban dan juga melakukan patroli siber, sebab teror juga dilakukan dengan mengirimkan ancaman tertulis ke ponsel dan meretas akun media sosial.
“Sepanjang diskusi itu berjalan sesuai dengan prosedur seharusnya jangan takut, lapor aja dan polisi wajib mengusut itu. Dengan menyelidikinya saya rasa itu gampang untuk dibongkar, asalkan polisi serius,” ujar Neta, Sabtu (30/5).
Namun demikian, dibutuhkan dorongan dari segala pihak seperti para aktivis, akademisi bahkan media untuk mengusut kasus tersebut hingga tuntas, agar dalang dibalik aksi teror itu juga terungkap dan ditangkap.
Penulis: Kukuh Subekti
Editor: Arief Setiyanto