IslamToday ID Pemerintah meminta DPR menunda pembahasan RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Keputusan ini merupakan buntut dari protes yang banyak disuarakan kelompok Islam. Terlebih sejumlah perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Pengurus Pusat Muhammadiyah melobi Wapres Kyai Ma’ruf Amin untuk mengambil sikap atas RUU ini pada Selasa (16/6/2020).
Lantas apakah yang sebenarnya melatarbelakangi umat Islam melakukan penolakan terhadap RUU HIP? Menurut Wakil Sekretaris Ukhuwah MUI Pusat, Dr. Wido Supraha, setidaknya ada sembilan persoalan berat dalam RUU yang memicu kegaduhan ini.
Dr. Wido menyebutkan setidaknya ada sembilan persoalan berat yang terdapat dalam RUU HIP. Mulai dari judul RUU, upaya mendowngrade Pancasila, hilangnya ruh Ketuhanan Yang Maha Esa hingga upaya membangkitkan ajaran PKI.
Dalam judul RUU tersebut terdapat kata ‘haluan’ yang bermakna arah, tujuan, terdepan, sebelah muka, dan pedoman. Menurutnya, menjadikan Pancasila sebagai tujuan bertentangan dengan ketetapan bahwa Pancasila sebagai Landasan Filosofis NKRI, Ideologi Negara, dan sumber dari segala sumber hukum Indonesia.
Kemunculan RUU HIP lebih tampak sebagai penafsiran baru atas Pancasila. RUU HIP. Misalnya pernah dilakukan dengan munculnya Manipol Usdek dan Nasakom dan TUBAPIN (Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi) di era Pemerintahan Soekarno serta Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (disingkat P4) atau Eka Prasetya Pancakarsa di era pemerintahan Orde Baru.
Persoalan berat yang kedua adalah adanya upaya mendowngrade Pancasila. Kedudukan Pancasila bagi bangsa Indonesia ialah sebagai ground norm (norma dasar). Oleh karenanya Pancasila ditetapkan sebagai sumber dari segala sumber hukum. Jika nanti Pancasila resmi diturunkan menjadi undang-undang maka kedudukan Pancasila hanyalah sebagai norma biasa.
“Jika Pancasila menjadi norma biasa, maka Pancasila bisa menjadi ‘alat gebuk’ bagi lawan politik pemerintah. Menentang UU No. 12 tahun 2011 bahwa semua UU terletak di bawah Pancasila,” ujar Dr. Wido dalam keterangan tertulisnya, Selasa kemarin (16/6/2020)
Ketiga, RUU HIP tampak ‘mengkhianati’ sejarah lengkap Pancasila. Gagasan-gagasan yang muncul dalam RUU ini hanya mereduksi sejarah Pancasila pada Peristiwa 1 Juni 1945. Artinya, memandang tokoh bangsa hanya Soekarno seorang dan menegasikan kerja bersama tokoh bangsa. Padahal Pancasila memiliki proses panjang Pancasila merupakan hasil kerja bersama antar tokoh bangsa, artinya tidak hanya Sukarno sebagai tokoh tunggal.
“Mengkhianati proses panjang redaksi Pancasila yang harus dibaca secara utuh dari latar belakang kelahirannya, pidato dan pendangan para pendiri bangsa – para tokoh bangsa dalam BPUPK, Pidato Soekarno 1 Juni 1945, kesepakatan bulat pada Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Pembukaan UUD 1945 serta Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang diterima secara bulat oleh DPR RI pada 22 Juli 1959,” tutur Dr. Wido
Persoalam keempat, RUU ini menimbulkan kegaduhan dengan sengaja tidak mencantumkan TAP MPR No. XXV/MPRS/1966. Seperti yang terdapat dalam Pasal 7 ayat 2 dan 3 RUU HIP. Sehingga muncul tudingan RUU ini mengakomodir kebangkitan PKI. Terlebih di era pemerintahan orde lama, gagasan gotong-royong ialah bagain dari propaganda yang dihembuskan PKI.
“PKI dahulu bersepakat dengan perjuangan gotongroyong. Ciri pokok Pancasila menjadi Trisila yakni Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, dan Tuhan Yang Berkebudayaan (Pasal 7 ayat 2). Trisila diperas menajadi Ekasila yaitu gotongroyong (Pasal 7 ayat 3),” jelas Dr. Wido.
Persoalan lima, ialah menghilangkan ruh Ketuhanan Yang Maha Esa dengan menggantinya dengan Keadilan Sosial sebagai pokok Pancasila. Padahal selama ini Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi ‘causa prima’ dari sila-sila yang lain. RUU ini tampak tidak bisa membedakan antara Adil di Sila ke-2 dan Keadilan pada Sila ke 5. Selain itu penjelasan UU tidak menjadikan berketuhanan sebagai karakter manusia Pancasila.
Persoalan keenam, ialah tujuan RUU HIP yang terdapat dalam Pasal 1. Dalam RUU tersebut. Pasal ini membawa dampak timbulnya keraguan-raguan perihal keabsahan produk hukum di Indonesia selama 75 tahun terakhir.
Disebutkan dalam pasal 1 RUU HIP :
“Haluan Ideologi Pancasila adalah pedoman bagi penyelenggara negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan pelaksanaan dan evaluasi terhadap kebijakan pembangunan nasional di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, mental, spiritual, pertahanan dan keamanan yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi, serta arah bagi seluruh warganegara dan penduduk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila.”
Persoalan ketujuh, ialah masuknya ideology barat dalam naskah akademik RUU HIP. Terutama berkaitan dengan paham humanism. Humanisme merupakan bagian dari memuat ajaran sekuler, yang meyakini kekuatan individu dalam menentukan kebenaran, serta kapasitas untuk berkembang sendiri tanpa Tuhan. Tidak heran jika kemudian agenda kesetaraan gender dalam prespektif barat menjadi latar belakang perumusan RUU ini.
Kedelapan, RUU ini mengganti Kemanusiaan yang Adil dan Beradab menjadi Manusia Pancasila, Masyarakat Pancasila. Padahal RUU ini UU tidak menjadikan berketuhanan sebagai karakter manusia Pancasila.
Persolan terakhir, yang memicu penolakan ialah pembahasan RUU HIP seolah mengambil kesempatan ditengah penderitaan. Sebab, RUU ini dibahas di tengah-tengah situasi pandemi Corona. Menurutnya, seperti saat ini sangat tidak efektif bahkan tidak masuk bila RUU ini masuk dalam skala prioritas penting pemerintah.
“Hal ini telah menyalahi etika dalam bernegara. Belum lagi pembahasan seperti ini justru menghabiskan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Biaya tersebut seharusnya bisa digunakan untuk membantu penanganan bencana,” pungkansya
Penulis: Kukuh Subekti