IslamToday ID — Sejumlah BUMN seolah kompak dan serentak menagih utang ke pemerintah. BUMN-BUMN ini berdalih penagihan pelunasan utang ini guna membantu keuangan perusahaan yang terdampak Pandemi COVID-19.
Menurut laporan Tirto, isu ini santer dibahas dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) DPR RI dengan sejumlah BUMN selama sepekan terakhir.
Utang pemerintah kepada sejumlah perusahaan pelat merah tersebut merupakan dampak akumulasi dan kompensasi proyek penugasan tahun-tahun sebelumnya.
Staf Khusus Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Arya Sinulingga mengatakan jumlah utang pemerintah ke BUMN setidaknya senilai Rp108,48 triliun dan diperkirakan bisa lebih besar karena belum semua perusahaan melapor.
BUMN Apa Saja?
Pemerintah dilaporkan paling banyak berutang pada Pertamina dan PLN, masing-masing sebesar Rp 96,53 triliun dan Rp 48 triliun. Utang tersebut berasal dari subsidi dan kompensasi yang seharusnya diterima perusahaan pelat merah itu.
Selain itu, pemerintah juga diketahui berutang pada Pupuk Indonesia (Rp 17,1 triliun), Jasa Marga (Rp 5,02 triliun), Waskita Karya (Rp 3,71 triliun), Bulog (Rp 2,6 triliun), dan Kimia Farma (Rp 1,14 triliun). Sementara itu, pada KAI dan Wijaya Karya juga mencatat utang pemerintah berjumlah 257,87 Miliar dan 19,9 Miliar, mengutip laporan Kata Data.
Dalam RDP dengan Komisi VI akhir Juni lalu, Direktur Utama PLN Zukifli Zaini mengatakan pemerintah berutang ke mereka sebanyak Rp45,42 triliun, terbagi dalam beberapa pos anggaran. Rinciannya untuk kompensasi tarif listrik tahun 2018 sebesar Rp23,17 triliun; serta, kompensasi pada tahun berikutnya sebesar Rp22,25 triliun.
Sementara itu, utang pemerintah pada PT Kereta Api Indonesia (KAI mencapai Rp257,87 miliar. Ini merupakan akumulasi sejak tahun 2015. Selanjutnya piutang ke PT Jasa Marga (Persero) sebesar Rp5,02 triliun.
Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati pun turut menyebutkan bahwa pemerintah berutang kepada Pertamina, Nicke mengatakan utang pemerintah sebanyak Rp96,5 triliun alias dua kali lipat dari jumlah yang dijanjikan pada 2020 senilai Rp 45 triliun.
Selain itu, Direktur Utama Pupuk Indonesia Aas Asikin Idat mencatat pemerintah masih memiliki utang sebesar Rp 17,1 triliun kepada perseroan. Angka tersebut merupakan akumulasi utang subsidi pupuk selama periode 2017 hingga 2019.
Keuangan BUMN Tak Sehat?
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengatakan pernyataan para bos BUMN tersebut adalah isyarat untuk mengatakan kalau keuangan mereka mulai berdarah-darah, atau setidaknya arus kas (cashflow) terganggu.
“Itu tanda-tanda mereka sudah kesulitan keuangan,” ujat Trubus, Rabu (1/7/2020), mengutip laporan Tirto ID.
Hal ini agak diperparah akibat kondisi keuangan negara yang juga tak baik. Hingga Mei lalu, Kemenkeu mencatat defisit APBN mencapai Rp179,6 triliun. Pemerintah tampaknya juga sulit untuk secara langsung melunasinya. Setidaknya, pemerintah hanya mampu menunda pembayaran utang agar laju defisit tak semakin mendalam.
Pengamat ekonomi dari Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talattov menilai semua ini terkait dengan pandemi COVID-19.
“Kalau tahun sebelumnya, penundaan pembayaran utang pemerintah, BUMN masih bisa mengendalikan. Bisnis mereka masih normal, pendapatan mereka masih normal. Tapi karena pandemik, cashflow mereka juga semakin sulit, dari segi bisnisnya mereka mengalami penurunan,” ujar Abra, dilansir dari Tirto.
Menurut Abra, Kekompakan dan keberanian sejumlah bos BUMN berbicara terbuka menagih utang ini juga karena mereka harus memenuhi kepastian aman arus keuangan perusahaan. Bila mereka gagal bayar, maka reputasi mereka akan ikut terganggu dan dapat merusak kelangsungan bisnis di masa depan, termasuk setelah COVID-19 berakhir.
Abra menilai pemerintah keliru mengelola keuangan pada masa normal. Semestinya utang kepada BUMN dibayar tepat waktu.
“Menunda itu salah satu alasannya adalah karena ingin menahan supaya defisit APBN di tahun sebelumnya juga enggak lebih lebar dari tiga persen,” tandasnya.
Kini nasi sudah menjadi bubur. Tak ada cara lain yang bisa dilakukan pemerintah kecuali membayar utang. “Karena memang sudah kewajibannya,” tukasnya.
Abra berpandangan agar pemerintah segera mengevaluasi program-program yang dijalankan. Program yang tak prioritas dapat ditunda dan uangnya untuk melunasi hutang.
“Evaluasi lagi proyek yang bisa ditunda karena memiliki keuntungan yang jangka panjang”, pungkasnya.[IZ]