IslamToday ID— Di tengah situasi pandemi Covid-19, tujuh mahasiswa Universitas Nasional (Unas) Jakarta di skorsing dan terancam Drop Oout. Sanksi tersebut merupakan buntut dari aksi menuntut transparansi dan pengurangan Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Salah satu mahasiswa yang mendapat sanksi adalah Alan Gumelar (21). Ia mengaku diskors selama enam bulan, karena dianggap masih aktif dan memerikan dukungan pada gerakan UnasGawatDarurat (UGD). Gerakan ini menuntut transapransi dan pengurangan UKT dari pihak kampus
“Saat itu, mereka bilang saya masih ikuti UGD, follow dan like setiap unggahan kegiatan UGD, dan membuat Instastory dukungan terhadap teman saya yang dipanggil pihak Polres Metro Jakarta Selatan. Kami minta keringanan UKT karena pendapatan keluarga berkurang juga,” tutur Alan (9/7/2020) seperti dilaporkan tirto.id
Sanksi skorsing dan DO yang menimpa Alan dan enam kawannya, hanya salah satu dari sekian banyak kasus menimpa para kativis mahasiswa di Indonesia. Kirana Anjani, dalam Laporan Lokataru Fondation dengan judul “Babak Belur di Kampus Sendiri”, mengatakan bahwa sanksi skorsing hingga DO merupakan bentuk pengkerdilan ruang kebebasan sipil atau Shrinking Civic Space. Selain skorsing dan DO, pengkerdilan ruang kebebasan turut dilakukan dalam bentuk pembubaran diskusi ilmiah hingga penghentian dana kegiatan.
“Fenomena shrinking civic space telah jauh memasuki ruang-ruang kampus,” ungkap Kirana
Kesewenang-wenangan pihak kampus terlihat dari maraknya ancaman skorsing hingga sanksi DO kepada mahasiswanya yang lantang mengkritik pemerintah maupun kampusnya sendiri. Kecenderungan semacam ini makin menguat sejak aksi #ReformasiDikorupsi. Sejak momentum itu, pemerintah mengambil sikap bahwa demonstrasi adalah perilaku yang pantas diganjar ancaman pidana.
Menurut catata Lokataru, pemberian sanksi DO sudah berlangsung sejak tahun 2015. Seperti yang menimpa Beberapa mahasiswa Universitas Budi Panca Sumatera Utara. Mereka dikenai sanksi DO setelah mengkritisi denda uang kuliah yang cukup tinggi dan dugaan korupsi beasiswa.
Selain itu, sanksi yang sama juga menimpa empat mahasiswa Sekolah Tinggi Manajemen Transportasi (STMT) Trisakti. Mereka bahkan mengajukan gugatan hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung, selama tiga tahun lamanya (2015-2018). Namun pihak kampus menolak gugatan itu.
“Berkaca dari sikap pemerintah dan kampus pada aksi #ReformasiDikorupsi, rektorat kini telah menjadi kaki tangan pemerintah dalam mengekang kebebasan berpendapat mahasiswa,” ujar Kirana
Sementara itu seperti dilaporkan tirto.id, maraknya sanksi DO berlangsung sejak 31 Oktober 2019. Sanksi itu menimpa 11 mahasiswa Universitas Darma Persada Jakarta Timur . Sanksi DO dijatuhkan, setelah mereka menggelar aksi damai menuntut transparansi dan perbaikan sistem birokrasi kampus.
Kemudian pada 12 Desember 2019, empat mahasiswa Universitas Khairun Ternate menerima sanksi DO secara sepihak karena keterlibatan mereka dalam aksi Front Rakyat Indonesia West Papua. Masih di bulan yang sama, 11 mahasiswa Sekolah Tinggi Manajemen dan Informatika Komputer (STMIK) Akba Makassar dijatuhi sanksi DO setelah melakukan demonstrasi pemberlakuan jam malam.
Sanksi DO juga menimpa 28 mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI) Paulus Makassar, Sulawesi Selatan. Sebelumnya, mereka memprotes kebijakan kampus tentang syarat aktif di UKM yang mengharuskan mahasiswa memiliki IPK minimal 3.00.
Tekanan Politik
Menurut Kirana, ada semacam tekanan politik yang mewarnai jatuhnya sanksi skorsing hingga DO. Dalam kasus gerakan #ReformasiDikorupsi pihak kampus menjadi ‘raja tega’ lantaran tidak berkutik pada ancaman dan pengawasan Kemenristekdikti. Kampus hanya bisa tunduk dan patuh dalam menerima himbauan Presiden dan Kemenristekdikti untuk mencegah mahasiswanya bergabung dalam aksi #ReformasiDikorupsi pada 2019 silam.
Menurut Kirana, saat itu pemerintah menilai aksi #ReformasiDikorupsi sebagai ancaman. Oleh sebab itu, Kemenristekdikti dan Presiden Jokowi mengeluarkan himbauan pada seluruh kampus untuk segera ‘memadamkan’ gerakan tersebut. Jika tidak gerakan itu bisa mengusik rencana-rencana pemerintah. Logika ini kemudian diadopsi kampus dalam merepresi hak berpendapat mahasiswanya pasca aksi #ReformasiDikorupsi.
“Himbauan pemerintah kemudian dijadikan legitimasi dalam menyikapi setiap demonstrasi mahasiswa,” imbuh Kirana
Kirana menambahkan, upaya represi melalui sanksi drop out, menjadikan kampus sebagai institusi pendidikan justru mengekang kebebasan berpikir serta ruang gerak mahasiswanya dalam menyikapi permasalahan sosio-politik di Indonesia.
Tanpa Advokasi
Sementara itu, Jaringan Kaum Muda (Jarkam) mencatat dalam rentang 2016 hingga 2018 setidaknya ada 13 kasus sanksi DO di berbagai kampus negeri maupun swasta. Tercatat kurang lebih 5.000 mahasiswa terkena sanksi DO dari kampusnya.
Ada tiga alasan yang dijadikan pihak kampus untuk menjatuhkan sanksi DO. Pertama, mahasiswa tidak mampu membayar uang kuliah, sehingga terkena DO. Kedua, DO yang diberikan kepada mahasiswa yang ‘vokal’ mengkritik kebijakan kampusnya. Ketiga, Mahasiswa yang terkena evaluasi, tidak aktif maupun melewati masa studi.
“Kampus yang sedianya menjadi tempat demokratis menjadi wilayah dimana kritik yang membangun justru dibungkam dengan senjata DO dan skorsing,” tulis Jarkam seperti dikuri dari Medium.com (3/8/2018)
Jarkam menilai, maraknya kasus DO disebabkan minimnya perlindungan hukum terhadap mahasiswa. Ketika sanksi DO dijatuhkan, mahasiswa tidak memiliki mendapat advokasi.
Padahal, UU No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, tidak diatur sanksi skrosing dan DO. kehadiran Permenristekdikti no. 44 tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi hanya mengatur batas masa studi.
Namun demikian, faktanya UU No.12/12 membuat otonomi kampus kebablasan. Otonomi tidak hanya dalam hal akademik dan usaha, melainkan masuk pada pemberangusan kebebasan berpendapat, termasuk sanksi skorsing dan DO terhadap mahasiswa yang lantang.
“Kampus menjadi hakim, jaksa, sekaligus algojo dalam melaksanakan kebijakannya,” tegas Jarkam
Pemberlakukan sanksi DO dan skorsing membuat mahasiswa tercerabut haknya untuk memperolah pendidikan. Jika hal ini terjadi maka negara telah melanggar amanat konstitusinya sendiri, dimana setiap warga negara mendapat pendidikan.
Penulis: Kukuh Subekti