IslamToday ID – Sejumlah pihak menilai RUU BPIP muncul sebagai siasat mengelabui masyarakat. Pasalnya, RUU ini muncul bertepatan dengan rapat paripurna DPR-RI untuk mengesahkan daftar RUU dalam Prolegnas.
Gagasan munculnya konsep RUU BPIP memang secepat kilat. RUU yang diuslkan mengganti RUU HIP tersebut didahului dengan sejumlah pertemuan. Ketua MPR Bambang Soesatyo tampaknya menjadi aktor penting dalam konsolidasi munculnya RUU BPIP.
Pada 2 juli 2020 mantan Wakil Presiden Tri Sutrisono bersama LVRI dan PPAD menemui Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, di Gedung Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta. Mereka mendesak agar RUU HIP diganti menjadi RUU Pembinaan Ideologi Pancasila (PIP). Kemudian, 3 Juli 2020 Ketua MPR RI mendatangi kantor PBNU. Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siraj menawarkan agar RUU HIP diganti menjadi RUU BPIP setelah dirombak.
Kemudian, 7 Juli 2020 Pengurus Besar Ikatan Alumni PMII juga mendukung penggantian RUU HIP menjadi RUU BPIP. Pada 8 Juli 2020, terjadi pertemuan antara Presiden Joko Widodo dan pimpinan MPR di Istana Bogor.
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menyampaikan bahwa Presiden Jokowi sepakat mengganti RUU HIP menjadi RUU BPIP.
Lalu pada 16 Juli 2020 Menko Polhukam Mahfud MD didampingi Menhan Prabowo Subianto, Menkumham Yasonna H Laoly, Mensesneg Pratikno, Menpan RB Tjahjo Kumolo, dan Mendagri Tito Karnavian menyerahkan surat resmi dan berkas usulan RUU BPIP kepada DPR. Berkas tersebut diterima secara resmi oleh Ketua DPR Puan Maharani. Presiden Jokowi menyampaikan usulan RUU BPIP.
Stasus RUU BPIP
Ketua Fraksi PKS DPR RI, Jazuli Juwaini mengungkapkan, hingga saat ini status RUU BPIP yang disodorkan pemerintah belum jelas. Konsep RUU BPIP yang diajukan pemerintah, subtansinya berasal dari Perpres BPIP.
Apa urgensinya RUU BPIP ini sehingga khusus diajakukan Pemerintah?” tanya Jazuli, Jumat, (17/7/2020) dikutip dari moeslimchoice.com
Jazuli menambahkan, RUU HIP dinilai publik bermasalah secara filosofis, yuridis, dan sosilogis. Secara sederhana RUU tersebut sudah salah paradigma sejak awal penyusunannya. Maka dari itu, permintaan untuk mencabut RUU HIP dari prolegnas sangat rasional, bahkan tanpa RUU pengganti. Oleh karena itu Fraksi PKS meminta DPR tidak mengelabui masyarakat dengan hanya mengganti judul RUU HIP menjadi RUU BPIP.
“Fraksi PKS juga tidak ingin lembaga DPR terkesan mengelabuhi rakyat dengan mengubah judul RUU HIP. RUU HIP dinilai publik bermasalah secara filosofis, yuridis, dan sosilogis yang artinya salah paradigma sejak awal,” tutur Jazuli
Anggota Komisi I itu mendesak pemerintah dan DPR mengeluarkan sikap resmi terhadap pembahasan RUU HIP. Sebab, sikap pemerintah belum jelas, apakah menolak RUU HIP atau tidak. Pemerintah tiba-tiba datang memberikan konsep baru RUU BPIP tanpa menyatakan sikap atas RUU HIP.
RUU BPIP Alat Gebuk ?
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhyiddin Junaidi mempertanyakan sikap DPR yang tidak RUU HIP dari prolegnas. Ia berpendapat, seharusnya DPR tidak bersikeras mempertahankan RUU HIP. Ia menduga ada sesuatu yang ditutup-tutupi terkait RUU HIP.
“DPR ini jangan ngotot. Mengapa tidak dicabut. Artinya, kalau memang ada rencana mau membahas RUU BPIP, cabut saja dulu RUU HIP dari prolegnas,” ujarnya Jumat (17/7/2020) seperti dilaporkan republika.co.id
Lanjutnya, pemerintah seharusnya meminta RUU HIP sebelum mengajukan konsep RUU BPIP. Dengen kondisi tersebut, Muhyiddin menegaskan, bahwa MUI menolak apa pun RUU yang diajukan.
“MUI menolak apapun RUU yang diajukan oleh DPR atau oleh pemerintah selama tidak memberikan manfaat bagi bangsa, bagi rakyat, dan merusak kedaulatan negara,” tegasnya
Muhyiddin khawatir jika RUU BPIP yang diusulkan pemerintah kepada DPR akan membuka pintu atas penafsiran tafsir tunggal Pancasila. Jika hal itu terjadi maka BPIP akan menjadi alat gebuk bagi kepentingan politik. Pasalnya, naskah akademik RUU BPIP hanya disodorkan kepada pimpinan DPR, tanpa disosialisasikan pada masyarakat.
Padahal, jika naskah itu sosialisasi kepada public, maka agar bisa dipelajari secara komprehensif, baik dari aspek historis, yuridis, filosofis.
“Kami khawatir RUU BPIP ini menjadi penafsir tunggal Pancasila. Kalau demikian, bisa disalahgunakan untuk menggebuk lawan-lawan politik, memberangus kebijakan-kebijakan atau mereka yang berbeda paham dengan pemerintah,” imbuh Muhyiddin
Sebelumnya Ketua DPR RI, Puan Maharani menegaskan bahwa RUU BPIP tidak sama dengan RUU HIP yang memuat “pasal-pasal kontroversial” seperti penafsir filsafat dan sejarah Pancasila. Puan menuturkan, konsep RUU BPIP yang disampaikan pemerintah berisikan subtansi yang berbeda dengan RUU Haluan Ideologi Pancasila.
Substansi RUU BPIP yang disampaikan pemerintah terdiri dari tujuh bab dan 17 pasal. Konsep tersebut berbeda dengan RUU HIP yang berisikan 10 bab dan 60 pasal. Konsep yang disodorkan tentang RUU BPIP, hanya memuat ketentuan tentang tugas, fungsi, wewenang, dan struktur kelembagaan badan pembinaan ideologi Pancasila.
“Hanya memuat ketentuan tentang tugas, fungsi, wewenang, dan struktur kelembagaan BPIP. Sementara pasal-pasal kontroversial, seperti penafsiran filsafat, sejarah Pancasila, dan lain-lain sudah tidak ada lagi,” kata Puan, Kamis (16/7/2020)
Puan juga meminta masyarakat mengakhiri polemik RUU HIP setelah pemerintah mengajukan RUU BPIP. Puan mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersatu kembali.
Penulis: Arief Setiyanto