IslamToday ID— Permintaan maaf Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim dinilai elitis. Tidak hanya itu, ormas yang mengundurkan diri dari kepesertaan Program Organisasi Penggerak (POP) Kemendikbud juga enggan kembali.
“Kita lihat pola komunikasi Mendikbud kali ini terkesan elitis. Tidak ada iktikad turun ke bawah, suara di bawah seperti apa,” ujar Wasekjen Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu), Achmad Zuhri, Rabu (29/7/2020).
Menurut Zuhri pola komunikasi elitis yang dilakukan Nadiem, mencerminkan ketidakpahaman Mendikbud itu tentang kebutuhan dunia pendidikan Indonesia. Terlebih, sejak ia menjadi menjabat Nadiem jarangnya melakukan kunjungan langsung ke sekolah-sekolah.
Hal itu membawa kesan, Nadiem tidak sepenuhnya peduli pada dunia pendidikan. Zuhri mengatakan, pola komunikasi Nadiem yang elitis sebenarnya telag di singgung sejak dua bulan lalu. Namun, rupanya kritik itu tidak diperhatikan Nadiem.
“Kami sampaikan juga, ayo pak Mendikbud, kita punya banyak sekolah, kita coba ajak ke sana. Beliau respon suatu saat akan ke sana. Sampai sekarang belum,” terang Zuhri.
Sorotan atas komunikasi Nadiem juga disampikan, Wasekjen FSGI, Satriwan Salim. Ia menilai Nadiem terkesan menjaga jarak dengan publik. Nadiem juga sedikit berinteraksi Nadiem dengan media massa.
Menurutnya, Nadiem sangat perlu untuk melakukan banyak klarifikasi berkaitan dengan POP kepada khalayak melalui media massa. Ia harus menjelaskan tentang masuknya organisasi yang dinilai tidak kompeten namun masuk dalam POP Kemendikbud. Selain itu juga terkait tidak proposionalnya jumlah dan sebaran guru yang mendapatkan pelatihan dalam program POP.
“Ini tidak dibahas Mas Menteri ketika minta maaf atau pada taklimat media. Tidak ada dialog, tidak ada diskusi. Saya pikir bukan mencontohkan pendidikan yang baik kalau menutup dialog,” ucap Satriawan.
Bersalah Pada Negara
Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif NU menanggapi dingin klarifikasi dan permintaan maaf Nadiem. Ketua Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif, Arifin Junaidi mengapresiasi permintaan maaf Nadiem, namun menurutnya hal itu tidak memiliki arti apa-apa tanpa diimbangi dengan langkah yang konkrit.
Ia menegaskan, permintaan maaf yang disampaikan Nadiem tidak kan mempengaruhi keputusan LP Ma’arif NU untuk mundur dari POP Kemendikbud. Arifin menegaskan, pihaknya tidak bersedia bergabung kembali dengan tersebut.
“Menurut pandangan saya, tidak ada kesalahan Mas Menteri kepada Muhammadiyah, NU dan PGRI. Karena kesalahan Mas Nadiem itu justru kepada bangsa dan negara serta dunia pendidikan kita, jadi bukan kepada kami,” kata Ketua Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif, Arifin Junaidi (29/7/2020).
Arifin menambahkan, LP Ma’arif NU pun telah membuat program internal serupa. Bahkan sejak Juni kemarin pihaknya telah mengadakan pelatihan untuk 800 kepala sekolah di lingukungan NU. Bahkan, jumlah tersebut akan bertambah mencapai 3.200 peserta sebab program dilanjutkan hingga bulan Oktober mendatang.
“Jadi sebelum kami diajak ke POP, kami juga telah melaksanakan program penggerak sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Jadi kalau tidak ikut POP Mas Menteri pun kami tetap melaksanakan program penggerak. Pelatihan kepada kepala sekolah, pelatihan kepada guru tetap kami laksanakan bergabung atau tidak bergabung dengan program Mas Menteri, tidak ada pengaruhnya,” ungkap Arifin.
Muhammadiyah juga ketidakmauan kembali bergabung dalam program POP Kemendikbud. Muhammadiyah menegaskan, pengunduran diri muhammadiyah dari POP Kemendikbud, bukan semata-mata karena persolan masuknya Tanoto Foundation dan Yayasan Putera Sampoerna.
“Ya, terima kasih sudah minta maaf, ya. Tapi permasalahan kita kan bukan hanya Tanoto dan Sampoerna,” ucap Ketua Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, Kasiyarno (29/7/2020).
Dikdasmen Muhammadiyah enggan bergabung ke POP ialah masuknya organisasi lain yang dinilai tidak kompeten. Dimana modul pelatihan yang diberikan tidak memiliki korelasi yang tepat dengan sasaran pelatihan, ironisnya organisasi tersebut masuk dalam kategori gajah dengan alokasi anggaran dana hibah Rp 20 miliar per tahun. Organisasi yang dimaksud ialah Yayasan Nurhidayah dengan materi pelatihan Baby Method English untuk jenjang guru SMP.
“Yang organisasi abal-abal bisa dapat [kategori] gajah. Enggak memenuhi syarat lah. Seperti halnya Bahasa Inggris untuk bayi itu kan tidak memenuhi syarat. Inggris untuk bayi domainnya bukan di sini, POP kan untuk guru dan kepala sekolah,” jelas Kasiyarno.
Kasiyarno pun meminta agar Mendikbud melakukan evluasi program. Ia juga meminta Mendikbud Nadiem untuk memperjelas pernyataannya terkait rencana evaluasi yang akan dilakukan oleh Kemendikbud. Salah satu poin yang perlu dievaluasi ialah penentuan persyaratan yang jelas sekaligu menyampaikan hasil evaluasi ke publik secara terbuka.
“Yang diumumkan kemarin harus dikoreksi dulu. Termasuk sistemnya juga diperbaiki, konsepnya seperti apa, kemudian disosialisasikan ke masyarakat,” ucap Kasiyarno.
Dikutip dari cnnindonesia.com (29/7/2020), Organisasi Perguruan Guru Republik Indonesia (PGRI) juga tidak ingin kembali bergabung dengan POP Kemendikbud. PGRI meminta evaluasi menyeluruh atas program tersebut.
“Kalau PGRI berharap tahun depan diadakan ulang rekrutmen baru dengan mengedepankan asas keterbukaan, transparansi, dan track record-nya jelas siapa yang dapat,” tutur Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi (29/7/2020).
Unifah juga menyebut program pelatihan serupa pernah dilakukan oleh Kemendikbud di tahun 2013. Namun konsep dan persiapan pada tahun tersebut dinilainya cukup matang. Ketika itu Kemendikbud sangat menjamin adanya keterbukaan informasi sehingga tidak sampai berujung pada munculnya polemik.
“Kalau dulu diumumkan dengan publik. Orang bisa melamar. Terus daerah diberi kewenangan juga untuk merekrut. Dari segi struktur programnya jauh lebih rigid. Dan ukurannya bisa dilihat gitu,” jelasnya.
Unifah menambahkan, pemerintah tetap berkeinginan melaksanakan POP, maka perlu dilakukan ialah relokasi anggaran. Terutama untuk mendukung kegiatan belajar mengajar di tengah situasi pandemi Covid-19. Ia menilai program pembelajaran jarak jauh (PJJ) dan situasi krisis pendidikan di tengah pandemi lebih mendesak untuk ditangani.
Penulis: Kukuh Subekti