IslamToday ID — Tim Advokasi untuk Demokrasi menilai netralitas kepolisian telah hilang. Bahkan, pengamat kepolisian menilai Kapolri gagal dalam memahami hukum dan membuat polisi menjadi alat gebuk pemerintah.
Hal itu dilihat dari terbitnya Surat Telegram Rahasia (STR) Kapolri Idham Azis yang dikeluarkan tiga hari jelang pengesahan Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta KErja, Jum’at (2/10/2020)
“Seluruh jajaran di wilayah tidak memberikan izin unjuk rasa dan kegiatan yang menimbulkan keramaian massa. Antisipasi harus dilakukan di hulu dan lakukan pengamanan terbuka serta tertutup.” Tulis Kapolri dalam STR tersebut.
Tim Advokasi untuk Demokrasi yang terdiri dari LBH Masyarakat, YLBHI, KontraS, LBH Jakarta, LBH Pers, LBH Muhammadiyah , LBH Ansor, Amar Law Firm, KASBI, KPBI, Paralegal Jalanan, WALHI, JATAM, Imparsial, ICJR menilai, telegram tersebut menunjukan hilangnya netralitas kepolisian.
“Telegram tersebut menunjukkan hilangnya netralitas kepolisian dalam menjalankan tugasnya sesuai UU Kepolisian. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dengan melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum,” kata mereka dikutip dari laman resmi kontras.org (6/10/2020).
Tim Advokasi untuk Demokrasi juga menilai surat telegram tersebut membuka peluang penyalahgunaan fungsi kepolisian (abuse of power). TMenurut mereka, Polisi harus independen dan tidak diskriminatif dalam menegakkan hukum. Oleh karena itu Surat Telegram Kapolri No:STR/645/X/PAM.3.2./2020 tertanggal 2 Oktober 2020 semestinya batal demi hukum dan tidak diberlakukan.
Tim Advokasi untuk Demokrasi mengingatkan agar Polisi tidak mengulangi kesalahan yang sama dalam penanganan massa yang terlibat aksi demonstrasi. Sebab, sebelumnya, penanganan aksi reformasi dikorupsi yang justru mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia dan jatuhnya korban jiwa. Hingga saat ini insiden berdarah itu belum tuntas pengusutannya.
Kepolisian juga diminta untuk tidak menjadikan Covid 19 sebagi alasan untuk menghalangi atau membubarkan unjukrasa. Sebab unjukrasa merupakan pelaksanaan hak menyampaikan pendapat dimuka umum. Pembatasan hak untuk menyampaikan pendapat dimuka umum hanya boleh dilakukan atas dasar UU. Sementara hingga saat ini tidak ada UU yang melarang tetap dilaksanakannya hak menyampaikan pendapat ditengah pandemi.
“Karena itu jangan kemudian ketika rakyat sebagai pemilik kedaulatan turun ke jalan mengkritik pemerintah dan DPR, kepolisian berlaku diskriminatif,” ungkap mereka dalam rilis tersebut.
Alat Negara Bukan Alat Gebuk Pemerintah
Pengamat Kepolisian dari Institut for Security an Strategic Studies (ISeSS), Bambang Rukminto mengkritik kebijakan Polri dalam menyikapi aksi penolakan terhadap Omnibus Law Ia menilai polisi telah kebablasan. Menurut BAmbang tidak seharusnya polisi memposisikan diri sebagai alat gebuk pemerintah, sebab polisi merupakan alat negara
“(Polisi) bukan menempatkan diri sebagai alat pukul pemerintah yang berhadap-hadapan dengan masyarakat,” kata Bambang (6/10/2020).
Bambang berpendapat keluarnya Surat Telegram Kapolri merupakan sebuah kesalahan besar yang dilakukan kepolisian. Selain itu,ia menilai Kapolri gagal memahami hukum. Bambang menegaskan, bahwa hukum tertinggi di Indonesia adalah UUD 1945. Dalam pasal 28 masyarakat memiliki hak untuk berserikat dan berkumpul di muka umum terlepas dari situasi pandemi.
“Surat Telegram tersebut justru akan memicu kehebohan tersendiri. Harusnya yang dikedepankan dari larangan tersebut, terkait dengan protokol kesehatan, bukan soal penolakan Undang Undang Cipta Lapangan Kerja,” jelas Bambang.
Ribuan Polisi Dikerahkan
Di Bekasi, ribuan personil polisi dikerahkan untuk menghalau aksi penolakan terhadap UU Cipta Kerja. Mulanya, pihak kepolisian hanya menerjunkan sekitar 800 personil, namun kemudian menambah kekuatan personil menjadi 1000 orang untuk menghalau unjukrasa. pada hari Rabu (7/10) .
“Ada 1000, ada tambahan sedikit,” kata Kapolres Metro Bekasi Kombes, Hendra Gunawan pada Rabu (7/10/2020).
Hal yang sama di juga terjadi di Makassar. Polrestabes Kota Makasar bahkan mempersiapkan 1.574 personel kepolisian untuk mengamankan aksi demonstrasi penolakan Omnibus Law di Kota Makasar. Tim tersebut merupakan gabungan dari Polresta Makasar, Polda Sulawesi Selatan dan TNI Kodim 1408/BS Makasar.
Di Provinsi Sumatra Barat, Polda Sumbar pun menerjunkan 950 personel kepolisian untuk mengamankan aksi demonstrasi penolakan omnibus Law. Mereka merupakan personel gabungan dari Polda Sumbar dan Polresta Padang. Sama seperti kepolisian di daerah lain mereka juga mengikuti intruksi dari Kapolri untuk tidak mengeluarkan izin keramaian kepada para pengunjuk rasa.
“Kami tidak berikan izin keramaian namun untuk aksi akan kita lakukan pengamanan,” tutur Kabid Humas Polda Sumbar Kombes Pol Satake Bayu pada Rabu (7/10/2020).
Di kota Sukabumi, Polresta Sukabumi mempersiapkan 1000 personel gabungan kepolisian untuk mengamankan aksi demonstrsi penolakan Omnibus Law pada Rabu (7/10/2020). Mereka berasal dari anggota TNI dan Polresta Sukabumi.
Sementara di Jakarta, Polda Metrojaya sejak Senin (5/10) telah mempersiapkan personel sebanyak 9.346 personel. Mereka diterjunkan untuk menghadang para pengunjuk rasa agar tidak melakukan aksi di tengah pandemi Covid-19. Pihak kepolisian berargumen kondisi Jakarta yang sedang dalam situasi PSBB tidak diizinkannya terjadi pengumpulan massa.
“Dengan kondisi PSBB Jakarta, sehingga tidak diberikan izin untuk mengemukakan pendapat di muka umum khususnya di depan DPR,” kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Kombes Yusri Yunus (5/10/2020).
Penulis: Kukuh Subekti