IslamToday ID — Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam pernyataan resminya menyesalkan keputusan DPR dan Pemerintah dalam pengesahan Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja. Pasalnya dalam pengesahan UU tersebut, PBNU menilai proses legislasi UU Omnibus Law terkesan terburu-buru, tertutup dan tidak terbuka dengan aspirasi publik.
Pembahasan 76 pasal dari 79 pasal yang diusulkan seharusnya dilakukan dengan sikap kehati-hatian, ketelitian, kesabaran serta melibatkan berbagai elemen pemangku kepentingan. PBNU menilai sikap DPR dan Pemerintah tersebut adalah sebuah praktek kenegaraan yang buruk.
“Di tengah suasana pandemi, memaksakan pengesahan undang-undang yang menimbulkan resistensi publik adalah bentuk praktek kenegaraan yang buruk,” kata Ketua Umum PBNU, Said Aqil Sirodj (09/10/2020).
PBNU pada dasarnya menghargai setiap upaya pemerintah dalam memenuhi hak-hak warga negaranya, baik dalam hal pekerjaan maupun dalam penghidupan yang layak.
Namun upaya-upaya tersebut sebaiknya tidak dinodai dengan keinginan untuk mengkomersilkan semua aspek kehidupan masyarakat. Salah satunya yang paling krusial adalah aspek pendidikan seperti yang tercantum dalam pasal 65 UU Omnibus Law.
“Ini akan menjerumuskan Indonesia ke dalam kapitalisme pendidikan. Pada gilirannya pendidikan terbaik hanya bisa dinikmati orang-orang berpunya,” tutur Said.
Selain mencemaskan masalah pendidikan, PBNU juga mencemaskan beberapa aspek lain seperti ketenagakerjaan, lingkungan, pangan, sentralisasi dalam pemberian sertifikasi halal.
Dalam aspek ketenagakerjaan, demi kepentingan investasi pemerintah diminta untuk tetap memberikan perlindungan terhadap hak-hak para pekerja.
Penerapan pasar tenaga kerja fleksibel dengan sistem Pekerja Kontrak Waktu Tertentu (PKWT) dinilai hanya akan merugikan tenaga kerja Indonesia.
Selain itu, diubahnya UU No.13/2003 tentang ketenagakerjaan dengan pasal 81 UU Omnibus Law Cipta Kerja, pemerintah juga menghapus pasal jangka waktu paling lama tiga tahun bagi pekerja PKWT.
Dengan dihapusnya ketentuan pasal 59 dari UU Ketenagakerjaan akan berdampak pada status pekerja hanya sebagai pekerja kontrak selama dia bekerja. Belum lagi masalah pesangon, dan juga uang bonus, hal tersebut tentu berdampak pada hilangnya hak hidup layak bagi pekerja.
“Pengurangan komponen hak-hak pekerja…mungkin menyenangkan investor tetapi merugikan jaminan hidup layak bagi kaum buruh dan pekerja,” jelasnya.
PBNU juga mengkritisi perihal pemberian sejumlah hak insentif dan diskresi kepada para pengusaha tambang. Alih-alih memperbaiki UU Mineral dan Batu Bara (Minerba), pemerintah justru makin memberikan karpet merah kepada mereka.
UU Omnibus Law memberikan wewenang kepada menteri terkait untuk mengeluarkan kebijakan yang memudahkan para pengusaha tambang untuk mengeksplorasi tambang Indonesia hingga habis. Tidak hanya itu pemerintah juga memberikan dispensasi penggunaan jalan umum untuk kepentingan tambang.
Dalam hal ketahanan pangan pemerintah diminta untuk tidak mengesampingkan peran ketahanan pangan yang selama ini dijalankan oleh para petani lokal. Sebab pemerintah melalui pasal 64 UU Cipta Kerja mengizinkan impor sebagai salah satu sumber pangan.
“Ini akan menimbulkan kapitalisme pangan dan memperluas ruang perburuan rente bagi para importir pangan,” ungkap Said Aqil Siradj.
Terakhir kebijakan yang juga mendapat kritikan pedas dari PBNU adalah sentralisasi sertifikasi halal. Pasal 48 dalam Omnibus Law merubah beberapa ketentuan dalam UU No.3/2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Sentralisasi fatwa halal dikhawatirkan akan mengganggu perkembangan industri syariah di Indonesia.
PBNU juga melihat terdapat paradigma bias industri dalam sertifikasi halal. Hal ini terlihat dari ketentuan calon auditor halal yang disyaratkan dalam Pasal 14 yang terdiri atas sarjana bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, farmasi, kedokteran, tataboga, atau pertanian. Ketentuan tersebut dinilai mengabaikan mereka yang latar belakang pendidikanya sarjana syari’ah.
“Seolah hanya terkait proses produksi pangan, tetapi mengabaikan mekanisme penyediaan pangan secara luas,” tandasnya.
Said Aqil dalam akhir suratnya mengungkapkan bahwa PBNU akan membersamai pihak-pihak yang berusaha mencari keadilan dengan menempuh jalur konstitusional.
Dalam hal ini melakukan judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Upaya ini dinilai sebagai jalur terbaik di tengah ikhtiar memotong mata rantai penularan Covid-19.
“Upaya hukum adalah jalur terbaik dan terhormat dalam mencari keadilan dibanding memobilisasi massa,” tegas Said.[IZ]