IslamToday ID — Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy mengakui bahwa sebuah rancangan undang-undang pasti memiliki titik lemah ketika telah disahkan menjadi undang-undang.
Menurut Muhadjir, kelemahan itu juga berlaku terhadap Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja yang mendapat kritikan luas dari berbagai elemen masyarakat.
Menko PMK mengatakan tak ada yang sempurna bila berkaitan dengan produk hukum yang dibuat manusia.
“Produk undang-undang pasti ada titik lemah, iya, lah. Ada kekurangan iya, tidak ada yang sempurna,” jelas Muhadjir Effendy saat memberi sambutan dalam acara Pertemuan Nasional Manajemen Fasilitas Kesehatan 2020 yang disiarkan melalui YouTube, Rabu (14/10).
Menurut Muhadjir, walaupun memiliki kelemahan, bukan berarti produk undang-undang itu tak bisa digunakan. Ia berujar seiring waktu kekurangan dan kesalahan yang ada dalam undang-undang itu bisa diperbaiki.
Mentan Mendikbud ini pun mengatakan kelemahan produk legislasi bisa diperbaiki lewat peraturan yang lebih rendah.
“Paling tidak bisa diatur dalam peraturan yang lebih rendah baik itu peraturan pemerintah, peraturan presiden dan peraturan lain,” jelasnya.
Muhadjir pun meyakini Undang-undang Cipta Kerja ini justru bisa mengatasi berbagai ketimpangan sosial yang ada di masyarakat.
Oleh karena itu, Muhadjir mengimbau agar semua pihak dan pelaku kepentingan bersedia men-sosialisasikan undang-undang ini sesuai dengan bidang dan klaster masing-masing.
“Agar mereka yang belum paham bisa segara paham agar yang termakan hoaks mulai sadar bahwa selama ini kepercayaannya sesat,” tandasnya.
Bentuk Revolusi Mental
Muhadjir Effendy menegaskan bahwa Omnibus Law Cipta Kerja merupakan revolusi mental dalam bentuk produk hukum.
Menurut Menko Muhadjir melalui UU Cipta Kerja, revolusi mental dilakukan Presiden Jokowi secara struktural.
“Dalam konteks Kemenko PMK Undang-undang Cipta Kerja ini adalah sebuah revolusi mental, dengan pendekatan struktural,” jelas Muhadjir saat memberi sambutan dalam acara Pertemuan Nasional Manajemen Fasilitas Kesehatan 2020 yang disiarkan melalui YouTube, Rabu (14/10).
Muhadjir pun memaparkan bahwa terdapat dua pendekatan untuk mengubah mental seseorang, komunitas, atau masyarakat. Pertama, menggunakan pendekatan penyadaran yakni dengan mengetuk kesadaran orang atau masyarakat agar mau berubah.
Pendekatan kedua dengan metode struktural, yakni dengan cara agak sedikit dipaksa, salah satunya dengan menerbitkan aturan atau alat-alat lainnya.
“Dalam pengalaman, menyentuh kesadaran itu perlu waktu yang lama jika tanpa dibarengi dengan pendekatan struktural,” tukasnya.
Menurut Muhadjir, berdasarkan pengalaman tersebut, kedua model pendekatan harus bergerak bersama.
“Merevolusi mental masyarakat kita, mental kita semua. Dari berbagai macam ketidakmajuan menjadi orang yang mau berubah menuju ke mental yang maju,” pungkasnya.
Menko PMK ini pun mencontohkan upaya revolusi mental lewat Omnibus Law Cipta Kerja. Salah satunya adalah mengubah sistem atau mental birokrasi Indonesia yang berbelit-belit.
“Mental birokrasi yang masih mengolor-ngolor urusan. Memperpanjang, mempersulit prosedur, otomatis di balik itu juga pasti ada biaya tinggi, bahkan disitulah praktik korupsi sebetulnya bersembunyi,” ujarnya.
“Dengan Undang-undang Ciptaker ini akan dipotong dan tentunya ketika ada pemotongan pasti ada reaksi-reaksi,” tandasnya.
Perlu diketahui, Jargon ‘Revolusi Mental’ dikemukakan pertama kali oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak masa kampanye Pilpres 2014 lalu. Usai terpilih, Jokowi menuangkan kebijakannya dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 12 Tahun 2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental yang ditandatangani pada Desember 2016 lalu.[IZ]