IslamToday ID — Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) menolak dikait-kaitkan dengan aksi anarkis yang mewarnai unjuk rasa menolak disahkannya RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
“KAMI menolak secara kategoris penisbatan atau pengaitan tindakan anarkis dalam unjuk rasa kaum buruh, mahasiswa dan belajar dengan Organisasi KAMI.” ujar Presidium KAMI dalam pernyataan sikapnya Rabu (!4/10/2020).
Sebaliknya KAMI mendesak Polri untuk mengusut tuntas aksi anarkisme yang mewarnai protes atas disahkannya RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
Pasalnya, KAMI mencium ada indikasi keterlibatan pelaku professional yang menginfiltrasi massa dan melakukan tindakan anarkis.
“Polri justru diminta untuk mengusut tuntas, adanya indikasi keterlibatan pelaku profesional yang menyelusup ke dalam barisan pengunjuk rasa dan melakukan tindakan anarkis termasuk pembakaran (sebagaimana diberitakan oleh media sosial),” imbuh Presidium KAMI
Dalam pernyataan sikap yang ditandatangani Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo, Din Syamsuddin dan Rochmad Wahab itu, Presidium KAMI menegaskan, secara kelembagaan KAMI belum ikut serta dalam aksi penolakan atas disahkannya RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
Namun demikian, KAMI memberi kebebasan kepada para pendukungnya untuk bergabung dan membantu pengunjuk rasa atas dasar kemanusiaan.
KAMI juga mendukung mogok nasional dan unjuk rasa kaum buruh sebagai bentuk penunaian hak konstitusional.
“secara kelembagaan belum ikut serta, kecuali memberi kebebasan kepada para pendukungnya untuk bergabung dan membantu pengunjuk rasa atas dasar kemanusiaan,” ujar Presidum KAMI.
Pernyataan sikap dan klarifikasi tersebut disampaikan menyusul ditangkapnya
Sejumlah tokoh KAMI. Tokoh KAMI yang ditangkap di Medan yakni Juliana, Devi, Wahyu Rasari Putri dan Khairi Amri yang merupakan Ketua KAMI Medan. Sementara itu, empat orang yang ditangkap di Jakarta antara lain, Anton Permana, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dan Kingkin Anida.
Lima orang di antaranya sudah ditetapkan sebagai tersangka penghasutan dan hoaks serta ditahan. Mereka dijerat dengan Pasal 45 A ayat (2) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terkait penyebaran informasi yang memicu kebencian dan permusuhan terhadap kelompok tertentu. Ancamannya 6 tahun penjara dan denda Rp1 miliar. [AS]