IslamToday ID — Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Yusri Yunus menegaskan, keikutsertaan pelajar dalam aksi demontrasi menolak Omnibus Law Cipta Kerja, tidak bisa dikaitkan dengan pencatatan di Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Ia mengatakan SKCK tidak bisa dikeluarkan jika mereka melakukan pelanggaran hukum, sedangkan aksi demonstrasi memang diperbolehkan dalam perundang-undangan.
“Kalau SKCK itu tidak ada hubungannya,” ujar Kombes Pol Yusri Yunus seperti dilansir okezone.com Kamis (15/10/2020).
“Makanya jangan dikaitkan dulu dengan itu, salah itu. Kecuali sudah dipidana seperti resedivis itu baru. Tapi kalau ini jangan dikaitan dengan itu,” tegasnya.
Ia menambahkan, polisi hanya melakukan pendataan abagi terhadap pelajar yang mengikuti demonstrasi menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja. Para pelajar yang diamankan juga diminta untuk membuat pernyataan tidak mengulangi aksinya lagi.
“sekarang semua pelajar yang kita amankan ini kan kita buat pernyataan. Pernyataan dengan perjanjian tidak mengulangi lagi,” kata Yusri saat dikonfirmasi wartawan,
Bantahan juga disampaikan Kapolres Metro Bekasi Kota, Kombes Pol Wijonarko. Ia membantah isu tentang dimasukannya nama pelajar yang terlibat demonstrasi penolakan Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law/ Cipta Kerja ke dalam Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Ia menegaskan, bahwa para pelajar yang ditangkap di Polres Metro Bekasi hanya akan diberikan pembinaan. Sebab para pelajar yang terlibat dalam aksi tersebut belum melakukan tindak pidana, sehingga hanya perlu diberi pembinaaan.
“Ini kan masih tahap ya belum ada kegiatan pidana ya. Oleh karena itu, mereka sifatnya pembinaan,” ujarnya, Rabu (14/10/2020).
Sebelumnya, seperti dilaporkan republika Polres Metro Tangerang Kota memastikan bahwa para pelajar yang melakukan aksi demonstrasi di wilayah Kota Tangerang akan tercatat dalam SKCK. Hal itu ditegaskan oleh Kapolres Metro Tangerang Kota, Komisaris Besar Polisi Sugeng Hariyanto. Menurutnya catatan tersebut bisa mempengaruhi saqat kelak mencari pekerjaan, sebab catatan dari pihak kepolisian menjadi pertimbangan perusahaan. Oleh sebab itu, dia mengimbau masyarakat, terutama para pelajar, untuk tidak terlibat dalam aksi demonstrasi semacamnya.
“Mereka masuk ke database polisi, dan menjadi catatan tersendiri saat mengurus SKCK,” kata Sugeng di Mapolres Metro Tangerang Kota, Rabu (14/10/2020).
“Makanya saya mengimbau pelajar tolong dipikirkan kembali apa yang dilakukan menjadi catatan polisi,” imbuhnya Sugeng
Pernyataan itu dilontarkan Sugeng lantaran demonstrasi menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja di Jalan Daan Mogot, Tangerang, yang terjadi pada Kamis (8/10/2020) lalu diwarnai aksi anarkis. Enam orang ditetapkan sebagai tersangka, empat di antaranya berstatus sebagai pelajar.
LBH Jakarta: Bentuk Kesewenang -wenangan
Ancaman mempersulit penerbitan SKCK bagi para pelajar yang terlibat dalam aksi tolak RUU Omnibus Law di kecam dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana menilai ancaman sebagai bentuk kesewenang-wenangan. Bahkan LBH Jakarta menilai ancaman itu melanggar hak konstitusional warga negara,yang dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945. Selain itu Arif menilai ancaman itu menunjukan bahwa kepolisian tidak independen dalam merespon aksi unjuk rasa penolakan RUU Cipta Kerja.
“Langkah ini semakin menguatkan dugaan Kepolisian tidak independen dalam merespon aksi unjuk rasa masyarakat terhadap pengesahan UU Cipta Kerja pasca terbitnya telegram Polri bernomor STR/645/X/PAM.3.2./2020,” kata Arif (15/10/2020).
Arif mengingatkan, agar aparat tidak menjadi alat tekan pemerintah, misalnya menghalang-halangi masyarakat untuk menunaikan hak konstitusionalnya. Ia mengingatkan agar kepolisian kembali menjalankan aturan sesuai hukum yakni melindungi masyarakat. Arif menegaskan upaya menghalangi kegiatan mengemukakan berpendapat di muka umum, berekspresi,termasuk aksi unjuk rasa adalah bentuk pelanggaran administratif dan diskriminatif, serta melanggar hak asasi manusia dan hak anak.
“Semestinya baik aparatur Pemerintah Negara maupun aparat penegak hukum seperti Kepolisian RI terikat pada aturan hukum yang ada, dan khususnya ketentuan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dimana penyelenggaraan pemerintahan harus mendasarkan diri pada prinsip kepastian hukum, perlindungan HAM, asas-asas umum pemerintahan yang baik, serta bersifat non-diskriminatif dan imparsial,” terangnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Komisioner KPAI, Jasra Putra. Ia meminta aparat kepolisian untuk memperlakukan para pelajar dengan baik.
“Menghindari praktik kekerasan, penganiayaan, intimidasi, misalnya ancaman tidak diberikan SKCK, yang kontra produktif dengan prinsip pembinaan dalam aspek sanksi yang mendidik,” pinta Jasra (15/10/2020).
Penulis: Kukuh Subekti