ISLAMTODAY ID –Pemerintah mengakui komunikasi publik terkait UU Cipta Kerja tergolong buruk. Pengakuan tersebut tersirat dari pernyataan Presiden Jokowi dalam rapat terbatas, Senin (19/10/2020).
Dalam rapat tersebut Jokowi ia tidak ingin program vaksinasi Covid-19 dilakukan dengan tergesa-gesa. Menurut Jokowi jika komunikasi terkait vaksin covid-19 tidak baik, maka akan berakhir buruk seperti UU Cipta Kerja yang diprotes masyarakat.
“Soal vaksin Covid-19, ke depan saya minta jangan tergesa-gesa, karena sangat kompleks. Menyangkut nanti persepsi di masyarakat. Kalau komunikasinya kurang baik, bisa kejadian kayak UU Cipta. Dijelaskan detail, jangan sampai masyarakat demo lagi,” tutur Jokowi seperti dikutip dari tempo.co.id (21/10/2020).
Pengakuan akan buruknya komunikasi terkait UU Cipta Kerja juga disampaikan Kepala Kantor Staf Presiden Jenderal TNI (Purn) Moeldoko. Ia menyampaikan bahwa presiden memberi teguran terkait buruknya komunikasi terkait UU Cipta Kerja.
“Kami semua ditegur presiden, komunikasi publik kami sungguh sangat jelek,” kata Moeldoko.
Pola Komunikasi
Buruknya pola komunikasi pemerintah dan publik juga pernah disinggung oleh dosen Komunikasi Politik FISIP UHAMKA, Verdy Firmantoro. Verdy dalam artikelnya yang dimuat di republika.co.id (8/10/2020) mengungkapkan ada lima problem komunikasi dalam kasus RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
Pertama, masalah keterbukaan. Proses perumusan dan pelibatan pihak-pihak terkait kurang transparan, bahkan prosesnya cenderung elitis serta kesempatan bagi semua pihak memberi masukan sebelum disahkan terbatas.
Kedua, masalah keberpihakan. Keberpihakan ini soal standing position pemerintah dan DPR RI yang dinilai justru lebih pro terhadap kalangan pemodal.
Ketiga, masalah distorsi persepsi. Hambatan komunikasi di era disrupsi media digital semakin memperkeruh tingkat pemahaman informasi yang komprehensif.
Keempat, masalah konteks atau situasi. Situasi pandemi dianggap belum tepat untuk mengesahkan secara sepihak UU Cipta Kerja.
Kelima, masalah kompetensi komunikasi. Kompetensi komunikasi pejabat publik dinilai belum optimal terbukti dengan sejumlah blunder bahkan mekanisme komunikasi publik yang sering bermasalah.
Menurut Verdy asas keterbukaan dan ruang publik merupakan bagian dari adanya jaminan yang jelas bagi partisipasi seluruh warga masyarakat. Ia berpendapat, jika keterbukaan, keberpihakan, distorsi persepsi, konteks atau situasi dan kompetensi komunikasi belum memiliki kejelasan bisa menyebabkan adanya penyimpangan dan ketidakpastian.
Menurutnya, pemerintah dan DPR harus sama-sama mengedepankan aspek keseimbangan dengan mengutamakan keberpihakan mereka terhadap rakyat.
“Keseimbangan hanya bisa tercapai jika keberpihakaan pemerintah maupun DPR RI jelas, terutama mengarusutamakan rakyat. Itulah yang disebut “Salus populi suprema lex esto” bahwa keselamatan rakyat sebagai hukum tertinggi,” tegasnya
Menurutnya, masalah komunikasi tidak bisa dianggap sepele. Dengan mengutip pendapat dari, Verdy menjelaskan bahwa James W. Carey (2009), ia menjelaskan bahwa komunikasi bukan sekedar ekstensi pesan (extension of message) dan penyampaian informasi (imparting information), melainkan upaya menjaga atau mengatur masyarakat (maintanace of society) dan representasi kepercayaan bersama (representation of shared beliefs).
“Tujuan akhir komunikasi itu saling pengertian (mutual understanding), dengan pemerintah dan DPR RI mendialogkan jalan tengah persoalan Omnibus Law dan mengakomodir kepentingan rakyat, di situlah hakikat titik keseimbangan terjadi,” jelas Verdy.
Sebagai tambahan informasi, UU Omnibus Law Cipta Kerja menuai polemik, bahkan sejak masih berupa RUU. Proses penyusunan RUU Omnibus Law terkesan ditutup-tutupi dan kurang melibatkan partisipasi publik.
Sejumlah pihak menilai hanya elemen tertentu yang dilibatkan oleh pemerintah dalam hal ini ialah para pengusaha. Bahkan demi menjaga keraharisan substansi RUU Cipta Kerja mereka diminta menandatangani sebuah form, surat pernyataan bermaterai yang isinya agar mereka tidak membocorkan substansi RUU Omnibus Cipta Kerja.
Sikap ini berlanjut hingga tahun 2020, pemerintah bahkan cenderung bersikeras melanjutkan pembahasan di tengah pandemi Covid-19 dan mengabaikan berbagai aspirasi dan masukan dari berbagai elemen masyarakat seperti akademisi, buruh, mahasiswa dan tokoh-tokoh kharismatik lainnya di Indonesia.
Berbagai pandangan, pendapat dari para pakar, akademisi, tokoh tak mampu menghentikan langkah pemerintah untuk melakukan pengesahan RUU Omnibus Cipta Kerja pada (5/10) lalu. Padahal, banyak protes unjuk rasa penolakan telah dilakukan bahkan berlangsung merata di seluruh tanah air.
Masyarakat juga memanfaatkan dunia maya untuk memprotes disahkannya RUU Cipta Kerja, hal ini terlihat dari banyaknya tagar yang penolakan terhadap RUU Cipta Kerja.
Tagar-tagar yang menandai penolakan RUU Cipta Kerja bermunculan di sosial media seperti: #MosiTidakPercaya, #BatalkanOmnibusLaw, #JegalSampaiBatal, #RUUCilaka, #GagalkanOmnibusLaw #ReformasiDikorupsi, #TolakOmnibusLaw.
Penulis: Kukuh Subekti