(IslamToday ID) – Proses pemberhentian kepala daerah tetap berdasar pada UU No 23 Tahun 2014 tentang Kepala Daerah. Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menilai Instruksi Mendagri No 6 tentang Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19 tidak dapat dijadikan dasar pencopotan kepala daerah.
Yusril mengatakan berdasarkan UU Pemerintahan Daerah, pemilihan kepala daerah diserahkan secara langsung kepada rakyat melalui Pilkada yang dilaksanakan oleh KPU RI dan KPU di daerah.
”KPU adalah satu-satunya lembaga yang berwenang menetapkan pasangan calon sebagai pemenang dalam Pilkada. Walau kadangkala KPU harus menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap apabila penetapan pemenang yang sebelumnya telah dilakukan dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi,” katanya seperti dikutip dari Kompas, Jumat (20/11/2020).
“Pasangan manapun yang ditetapkan KPU sebagai pemenang, tidak dapat dipersoalkan, apalagi ditolak oleh Pemerintah,” lanjutnya.
Presiden atau Mendagri tinggal menerbitkan keputusan tentang pengesahan pasangan gubernur atau bupati dan wali kota terpilih dan melantiknya. Dengan demikian, Presiden tidaklah berwenang mengambil inisiatif memberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur,” terangnya lagi.
Ia pun mengatakan Mendagri juga tidak berwenang mengambil prakarsa memberhentikan bupati dan wali kota beserta wakilnya.
yusril menuturkan semua proses pemberhentian kepala daerah, termasuk dengan alasan melanggar Pasal 67 huruf b jo Pasal 78 ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf d yakni tidak melaksanakan kewajiban untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan Penegakan Protokol Kesehatan, tetap harus dilakukan melalui DPRD.
“Jika ada DPRD yang berpendapat demikian, mereka wajib memulainya dengan melakukan proses pemakzulan (impeachment). Jika DPRD berpendapat cukup alasan bagi kepala daerah untuk dimakzulkan, maka pendapat DPRD tersebut wajib disampaikan kepada Mahkamah Agung untuk dinilai dan diputuskan apakah pendapat DPRD itu beralasan menurut hukum atau tidak,” paparnya.
Lebih lanjut Yusril menuturkan untuk tegaknya keadilan, maka kepala daerah yang akan dimakzulkan itu diberi kesempatan oleh Mahkamah Agung untuk membela diri. Untuk itu, lanjut Yusril, proses pemakzulan itu akan memakan waktu lama, mungkin setahun atau lebih.
“Yang jelas Presiden maupun Mendagri tidaklah berwenang membertentikan atau “mencopot” kepala daerah karena kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Sebagai konsekuensinya, pemberhentiannya pun harus dilakukan oleh rakyat melalui DPRD,” katanya.
Ia menambahkan, kewenangan Presiden dan Mendagri hanyalah terbatas melakukan pemberhentian sementara tanpa proses sebagaimana diatur dalam Pasal 68 Ayat 2 UU Pemerintahan Daerah. Hal itu bisa terjadi bila ada pengusulan oleh DPRD dalam hal kepala daerah didakwa ke pengadilan dengan ancaman pidana di atas lima tahun. Atau didakwa melakukan korupsi, makar, terorisme, kejahatan terhadap keamanan negara atau kejahatan memecah-belah NKRI.
“Kalau dakwaan tidak terbukti dan kepala daerah tadi dibebaskan, maka selama masa jabatannya masih tersisa, Presiden dan Mendagri wajib memulihkan jabatan dan kedudukannya,” lanjut Yusril.
“Dan berdasarkan UU No 15 Tahun 2019, sudah tidak mencantumkan lagi Inpres sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan. Ini untuk mengakhiri keragu-raguan tentang status Inpres yang sangat banyak diterbitkan pada masa Presiden Suharto,” sambung Yusril. [wip]