(IslamToday ID) – Adanya upaya penggusuran lahan pertanian yang dilakukan oleh anak perusahaan Sinarmas Group, PT Wira Karya Sakti (WKS) diungkap oleh Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika.
“Mereka mencoba menggusur, merusak tanah-tanah pertanian, ladang masyarakat yang sudah ada. Pisang, ketela, segala macam tanaman hortikultura dan sayuran,” kata Dewi seperti dikutip dari CNN Indonesia, Sabtu (5/12/2020).
Ia mengatakan bahwa penggusuran dilakukan dengan dua alat berat berupa ekskavator untuk menggilas lahan pertanian milik Serikat Tani Tebo (STT) di Dusun Sungai Landai, Jambi, pada Rabu (2/12) lalu.
“Peristiwa kemarin, tanggal 2, dan itu ada pengawalan dari tentara juga yang mengawal proses masuknya alat berat. Ada sekitar dua alat berat,” paparnya.
Menurut Dewi, duduk perkara konflik antara PT WKS dengan petani Tebo bermula sejak 2007 silam. Saat itu, perusahaan berusaha memasuki area lahan pertanian. Lahan itu tumpang tindih dengan izin hutan tanaman industri (HTI) yang mereka dapat dari pemerintah.
Upaya perusahaan mengambil alih lahan diadang dengan penolakan petani menyerahkan tanah pertanian mereka. Polemik ini berbuntut pada kasus meninggal Indra Pelani, salah satu petani yang ditemukan sudah tidak bernapas setelah diculik oleh pihak PT WKS pada 2015.
Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) kemudian membuat tim investigasi untuk mengusut kasus ini. Namun, alih-alih menyelesaikan duduk perkara konflik agraria, yang dituntaskan hanya unsur pidana dari tindakan tersebut.
“Yang dituntaskan pidana penculikan dan pembunuhan petani Tebo yang dilakukan oleh security PT WKS. Yang dikenai level bawahnya, bahkan security swasta yang disewa WKS. Sama sekali tidak menyentuh top management PT WKS, apalagi diselesaikan konflik agraria,” tutur Dewi.
Ia pun tak heran jika sampai hari ini konflik antara keduanya masih muncul. Penyelesaian konflik yang dijanjikan Presiden Joko Widodo, sambung dia, memang belum terlihat.
Penyelesaian konflik agraria sendiri menjadi salah satu visi Jokowi melalui agenda reformasi agraria. Dewi mengartikan pendekatan ini akan melepas klaim perusahaan dan retribusi tanah kepada petani.
Namun pada kasus PT WKS, katanya, hal tersebut tak terjadi. Ia mengatakan perusahaan tersebut mengantongi izin HTI untuk 289 ribu hektar lahan di Jambi. Lokasinya bukan cuma di Tebo, tapi juga di Batanghari dan Tanjung Jabung Barat. Di kedua lokasi tersebut, juga ada konflik sosial.
“Buat kami justru sebaiknya segera saja cabut izin HTI PT WKS karena dalam sejarahnya di manapun beroperasinya PT WKS, pasti selalu ada sejarah kelam, baik itu tewasnya petani, Indra Pelani. Jadi ada pelanggaran HAM yang dilakukan,” katanya.
Lebih lanjut, Dewi juga menyayangkan KLHK tidak ketat mengevaluasi pemberian izin. Menurutnya, konflik agraria di lapangan umumnya bermula dari ketidaksinkronan data yang pemerintah dengan kondisi lapangan.
Buntutnya, KLHK kerap memberikan izin lahan kepada korporasi dengan asumsi area tersebut adalah hutan. Pada kenyataannya, area tersebut merupakan permukiman milik warga setempat.
“Sampai sekarang, sudah ada 20 ribu lebih desa di Indonesia diklaim sebagai kawasan hutan, termasuk yang semacam ini. Karena dianggap kawasan hutan, masyarakat dianggap ilegal,” tuturnya. [wip]