ISLAMTODAY ID — Pakar Hukum Pidana, Universitas Al-Azhar Indonesia, Prof. Dr. Suparji Ahmad menyarankan, agar Habib Rizieq Shihab (HRS) mengajukan praperadilan atas penetapan status tersangka dan penahanan.
Pernyataannya Suparji Ahmad ini menanggapi perihal penahanan HRS hari ini, atas dugaan kasus melanggar Pasal 160 atau 216 KUHP.
“HRS dapat menguji penetapan tersangka melalui praperadilan, agar semuanya berlangsung secara proporsional dan tidak kontraproduktif,” pungkasnya saat dikonfirmasi, Sabtu (12/12).
Suparji Ahmad sangat tidak menyarankan adanya unjuk rasa atas penahanan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) itu. Menurutnya, lebih baik jika HRS mengajukan praperadilan.
“Lebih baik mengajukan praperadilan, unjuk rasa dikhawatirkan dapat menimbulkan hal-hal yang kontraproduktif,” jelasnya, dikutip dari Republika.
HRS sendiri resmi ditahan di Polda Metro Jaya Ahad (13/12) dinihari. Menanggapi hal tersebut, menurut Suparji, tentunya polisi memiliki alasan tersendiri. Alasan objektifnya, karena kasus dengan ancaman pidana di atas lima tahun penjara maka tersangka harus ditahan.
“Alasan obyektif yaitu minimal ancaman hukuman 5 tahun penjara, alasan subyektif penyidik, karena dikuatirkan (tersangka) melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan mengulangi perbuatannya,” kata Suparji Ahmad.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus membenarkan, perihal penahanan HRS di Mapolda Metro Jaya. Kedatangan HRS, kata Yusri, adalah untuk menyerahkan diri bukan karena memenuhi panggilan kepolisian.
Sementara hal itu dibantah Sekretaris DPP Front Pembela Islam (FPI) Munarman. Ia menganggap pernyataan tersebut sebagai sebuah dagelan, karena HRS sendiri datang sendiri ke penyidik Polda Metro Jaya untuk dilakukan pemeriksaan. Memang, kata dia, sejak awal ingin hadir tapi yang bersangkutan sedang pemulihan.
“Lalu soal status beliau yang dinyatakan ditangkap. Pertama-tama lucu saja ditangkap tapi di kantor polisi. Kedua beliau datang tadi itu sebagai sifat ksatria dan menunjukkan bahwa beliau warga negara yang taat hukum,” jelas Munarman.
Resmi Ditahan 20 Hari
Imam Besar Front Pembela Islam, Habib Rizieq Shihab (HRS) dilaporkan resmi ditahan di Polda Metro Jaya pada Ahad (13/12) dini hari.
Tindakan penahanan dilakukan usai HRS menjalani pemeriksaan sejak pukul 11.00 WIB oleh tim penyidik Polda Metro Jaya. Pemeriksaan terhadap HRS ini terkait dengan kasus kerumunan massa pada saat akad nikah putrinya di Petamburan, Jakarta Pusat.
Sekitar pukul 00.23 WIB, Ahad (13/12), HRS keluar dari pintu belakang Gedung Ditreskrimum Polda Metro Jaya dengan tangan terikat. Beliau tampak mengenakan pakaian gamis beserta rompi oranye, HRS dibawa ke mobil tahanan kepolisian. Ada hal yang menarik saat HRS dibawa ke mobil tahanan, ia sempat mengangkat kedua tangannya yang terikat, dilansir dari Republika.
Polda Metro Jaya telah menetapkan HRS dan lima orang lainnya sebagai. Namun dalam kasus kerumunan massa itu HRS dijerat dengan dua pasal sekaligus, berbeda dengan lima tersangka lainnya yang hanya diancam pasal Kekerantinaan.
Dalam kasus ini, HRS tidak memenuhi panggilan pemeriksaan sebanyak dua kali sebagai saksi.
Sebagai penyelenggara acara, HRS dijerat Pasal 160 dan 216 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Namun untuk lima tersangka lainnya hanya dikenakan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan saja.
Selain HRS kelima tersangka lainnya adalah Haris Ubaidilah (HU), Ali Alwi Alatas (AA), Maman Suryadi (MS) Ahmad Sabri Lubis (AS), dan Idrus (I).
Adapun bunyi Pasal dari 160 KUHP adalah “Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
Sementara itu pada Pasal 216 ayat (1) KUHP menyebutkan,”Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak Rp 9.000″.[IZ]