(IslamToday ID) – Amnesty Internasional Indonesia mengkritik keras Maklumat Kapolri yang melarang penyebaran atribut FPI yang dinilai seperti larangan penggunaan simbol Nazi di Eropa.
Nazi adalah partai politik bentukan Adolf Hitler yang kemudian menyulut Perang Dunia II pada 1939-1945 silam.
“Kenapa pemerintah ramai-ramai, seolah beri pesan ke publik ini pelarangan (FPI) dalam skala pembubaran. Kenapa? Karena atribut, simbol, dan sebagainya dalam Maklumat Kapolri dilarang, bahkan masyarakat juga enggak boleh, ini sudah seperti melarang simbol-simbol Swastika-nya Nazi,” kata Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid dalam diskusi yang digelar di kanal YouTube Historia, Rabu (6/1/2020) seperti dikutip dari RMOL.
Ia mengatakan banyak negara-negara Eropa melarang penggunaan simbol Swastika Nazi hingga saat ini. Ada pula negara yang mensyaratkan mekanisme peradilan terlebih dahulu sebelum melarang penggunaan simbol Nazi.
Di Jerman sendiri, kata Usman, organisasi Nazi tidak dilarang. Usman mengatakan bahwa pemerintah Jerman akan kesulitan melakukan kontrol jika organisasi Nazi dilarang.
Larangan hanya diberlakukan dengan catatan tertentu. Misalnya jika ada sekelompok orang memobilisasi diri menggunakan simbol Swastika Nazi, melakukan kekerasan, dan ujaran kebencian terhadap etnis Yahudi.
“Yang dilarang apa? Ketika mereka memobilisasi diri dengan simbol-simbol Swastika itu. Dan membunyikan ujaran-ujaran, anjuran kekerasan yang merendahkan Yahudi. Nah, dalam situasi itu pelarangan diberlakukan,” kata Usman.
Sementara itu, aliansi organisasi masyarakat sipil menilai Maklumat Kapolri telah melanggar konstitusi dan membatasi hak asasi manusia (HAM).
“Meski maklumat tersebut pada dasarnya semata-mata sebagai perangkat teknis implementasi kebijakan, namun beberapa materinya justru telah memicu kontroversi dan perdebatan, terutama dari aspek pembatasan hak asasi manusia,” kata Ketua YLBHI Bidang Advokasi, Muhamad Isnur dalam keterangan resminya, Sabtu (2/1/2021).
Beberapa organisasi yang ikut menandatangani keterangan resmi ini meliputi YLBHI, KontraS, LBH Pers, dan lembaga advokasi ELSAM.
Beberapa substansi maklumat yang disoroti meliputi larangan mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI.
Menurut Isnur, akses terhadap konten internet merupakan hak atas informasi yang dilindungi oleh UUD 1945 dan sejumlah peraturan perundang-undangan, seperti Pasal 14 UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
“Oleh karenanya dalam melakukan setiap tindakan pembatasan terhadap hak-hak tersebut, harus sepenuhnya tunduk pada prinsip dan kaidah pembatasan, sebagaimana diatur Pasal 28J ayat (2) UUD 1945,” jelas Isnur.
Ia menambahkan setidaknya ada tiga syarat untuk memastikan legitimasi kebijakan pembatasan, yang dikenal sebagai three part test (tiga uji elemen).
Pertama, diatur oleh hukum (prescribed by law) atau harus melalui undang-undang atau putusan pengadilan. Kedua, untuk mencapai tujuan yang sah (legitimate aim). Dan terakhir, pembatasan benar-benar diperlukan (necessity) dan dilakukan secara proporsional (proportionality).
Isnur menilai tiga prinsip itu untuk memastikan tidak ada pelanggaran asasi warga negara dalam setiap pembatasan. [wip]